Adam mengencangkan genggamannya saking geramnya pada gadis ini yang mana membuat Rea meringis.
"Tanganku, lepaskan. Kau menyakitiku." berusaha menarik tangannya.
Namun Adam tak menurut. Anak muda itu justru mendorong Rea cukup kasar hingga Rea terduduk di kursi Sheril.
"Auu... kenapa kau mendorongku?" sungut gadis itu, tapi tak sedikit pun membuat Adam iba.
Seolah tak cukup membuat Rea terkejut dengan sikap kasarnya, Adam kini menarik rambut halus gadis itu dengan kasar. Rea meringis kesakitan. Air mata mengembun di pelupuk matanya.
Rea adalah gadis lembut yang selalu mendapat perlakuan baik dari orang tua mau pun teman-temannya. Dan ketika mendapat perlakuan kasar seperti ini, batinnya terkejut.
Melihat itu, Adam tersenyum sinis, "Baru segini saja kau sudah menangis. Bagaimana nanti saat aku akan melakukan hal lebih dari ini?"
"Kenapa kau menjambakku? Lepaskan. Sakit..." pintanya.
"Tidak. Aku akan menunjukkan siapa aku sebenarnya padamu dan menyadarkan posisimu!" bukannya melepaskan, Adam malah semakin mengencangkan rambut Rea.
"Sakit...." rintihnya.
"Memohonlah." titah Adam.
Air mata Rea mengalir deras, "Aku mohon lepaskan aku. Sakit...." ucapnya.
"Sepertinya aku harus mengajarimu cara memohon yang benar!" ucap Adam. Masih dengan perlakuan kasar, Adam memaksa Rea, menariknya hingga kini berlutut di depan kakinya.
Masih belum melepaskan rambut Rea ia berkata, "Cium kakiku, dan memohonlah dengan benar."
Mendengar itu, Rea menatap Adam dengan nanar. Seumur hidupnya, dia belum pernah bertemu orang sejahat yang ada di depannya ini. Rea merasa dia tidak perlu melakukan ini. Dia tidak melakukan kesalahan apapun, jadi ia memang tidak pantas melakukannya.
Rea menggeleng dan itu membuat emosi Adam semakin tersulut. Pandangan anak muda itu tertuju pada botol minum yang terletak di atas meja. Adam mengambilnya dan tanpa ragu menyiramkan minuman itu pada Rea di bawahnya.
Rea gelagapan, ketika kepalanya disiram oleh Adam. Sungguh, dia tidak akan melupakan peristiwa ini seumur hidupnya.
Rea menangis seseunggukan, batinnya terkejut akan perlakuan kasar Adam. Tadi pagi, ia diberangkatkan oleh Ibunya dengan damai. Sungguh ia tidak menyangka hal buruk ini menimpanya.
Adam tersenyum puas, memperlakukan orang seperti binatang adalah another level of happiness baginya. Rea terlalu menyenangkan baginya untuk dipermainkan, karena gadis itu berasal dari keluarga biasa yang tidak akan bisa melawan dirinya.
Tanpa berniat berlama-lama di sana, Adam beranjak meninggalkan Rea. Tetapi sebelum itu, Adam mengambil tas milik Rea, membukanya dan menghamburkan isinya di atas lantai.
"Barang murahan ini tidak pantas ada di sini." ketusnya, kemudian pergi begitu saja meninggalkan Rea.
Di pintu keluar, Adam menemukan Sheril dan siswa lain yang menyaksikan bagaimana Rea diperlakukan. Adam melihat Sheril tajam, "Buat dia mengerti posisinya di sekolah ini!" kecamnya, kemudian pergi.
Setelah Adam pergi, para siswa akhirnya bernafas lega. Sheril dan siswa lain masuk ke dalam kelas. Melihat betapa menyedihkannya siswa teladan mereka saat ini.
Sheril membantu Rea berdiri, "Rea, kau tidak apa-apa?"
Namun tanpa dijawab pun, semua sudah menebak. Rea terkejut batin atas apa yang menimpanya barusan.
Melihat betapa mengenaskannya teman baiknya itu, Sheril langsung memeluk gadis lemah itu. Mereka tahu, Rea adalah gadis lembut yang tidak tahu betapa kejamnya dunia. Rea terlalu polos untuk mendapat perlakuan seperti tadi.
Rea terisak di pelukan Sheril, dan Sheril berusaha menenangkannya. Sementara beberapa siswa lain membantu membereskan barang-barang Rea yang dihamburkan oleh si preman sekolah.
Di hari pertamanya sekolah, baru kali ini Rea pulang tanpa semangat. Rea masuk ke dalam kamarnya, tanpa mencari ibunya yang mungkin sedang berada di dapur.
Rea menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur kecilnya yang hanya bisa memuat dirinya. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di bantal dan menangis terisak.
"Rea, kau sudah pulang?" rupanya ibunya mendengar kepulangannya.
Rea menetralkan suaranya, tidak ingin ibunya tahu bahwa dia menangis.
"Iya Bu. Bu, aku harus mengerjakan tugas sekolahku, ibu pergi saja duluan ke gerai." sahutnya tanpa ingin membuka pintu.
"Tentu saja sayang. Kalau begitu, kau di rumah saja, kerjakan tugasmu."
"Hati-hati Bu."
"Ya, sayang."
Setelah ibunya pergi, Rea mengusap air matanya. Biasanya sepulang sekolah, dia akan menyusul orang tuanya ke gerai untuk membantu.
Ponselnya berbunyi, menyadarkan Rea dari lamunannya. Rea membuka sebuah pesan dari nomor baru.
"Hai kacung, bagaimana kabarmu?!"
Rea langsung melempar ponselnya. Gadis itu ketakutan, karena ia tahu siapa pemilik nomor itu. Kini Rea telah mengerti, setelah Sheril menjelaskan semuanya saat di sekolah.
Rea akhirnya tahu siapa Adam sebenarnya dan juga bagaimana nasibnya ke depannya di St. Fransiskus.
Mengetahui bahwa Adam adalah seorang penindas, yang tidak segan memperlakukan orang seperti binatang, tentu Rea dilanda ketakutan.
Seperti tadi, ketika kelas sesi kedua dimulai, Rea tak lagi berani menatap manik hijau pria itu. Beruntung Adam tidak mengganggunya setelah itu.
Tetapi siapa yang tahu besok?
***
Rea masuk ke dalam kelasnya pagi ini. Kelas sudah ramai, karena memang Rea sedikit terlambat dari rumah. Ketika Rea melihat sosok preman sekolah sudah ada di sana, menyorotnya dengan tatapan tajam, Rea segera menundukkan kepalanya.
Biasanya Rea selalu menyapa teman-temannya, begitu juga dengan yang lain. Dan ada yang kurang, biasanya William selalu menghampirinya dan melontarkan kata-kata manis untuknya. Tapi sekarang, William malah duduk di kursinya tanpa berminat menyapanya.
Rea duduk di kursinya dengan perasaan takut.
"Hei." Adam menendang kursinya dari belakang. "Siapa yang menyuruhmu duduk!"
Rea menggigit bibirnya, gadis itu kemudian berdiri.
"Sepatuku kotor, bersihkan mereka untukku!" titahnya.
Rea memejamkan matanya, dia masih membelakangi Adam. Meski hatinya memberontak, tapi tak urung tangannya mengambil beberapa lembar tisu dari tasnya. Kemudian berlutut di samping Adam.
Tangan mungilnya dengan perlahan, menyemir sepatu kulit yang sebenarnya tidak kotor sama sekali. Adam mempermainkannya.
Tidak ada yang berani membela Rea, karena mereka tahu, sekali membuat Adam marah, tentu ia akan bernasib sama seperti Rea.
***
Sudah seminggu, sejak Adam pindah kelasnya, tak sebentar pun, Rea merasakan tenang. Setiap hari, Adam memperlakukannya dengan buruk.
Pria itu merendahkan harga dirinya dengan membuatnya melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Tidak hanya itu, tugas Rea bertambah karena dia juga harus mengerjakan tugas-tugas Adam.
Rea masih belum berani melawan Adam, karena memang dia tidak memiliki kekuatan. Pernah, Rea berniat melaporkannya pada guru, tetapi Sheril menghalanginya.
Sheril menjelaskan, jika dia melakukan hal itu, maka nasib kedua orang tuanya juga akan dipertaruhkan. Adam memiliki kekuasaan di kota San Fransisco. Tentu untuk membuat pedagang kecil seperti orang tuanya hancur, bukanlah hal yang sulit.
Rea tidak mau hal itu terjadi pada ayah dan ibunya. Mereka merintis usaha itu dengan susah payah. Rea tidak ingin hanya karena kebodohannya, usaha orang tuanya hancur.