Laki-laki Jahat

1027 Kata
"Bu... aku datang." Rea menyapa ibunya yang tengah menggoreng ayam di gerai mereka. Ibunya, Elsa Michaela tersenyum pada putrinya. "Kau sudah pulang? Bagaimana hari ini di sekolah?" tanya Elsa seperti biasanya. "Menyenangkan Bu." meski sebenarnya tidak begitu adanya. Rea kemudian memakai apron, tidak ingin membuat ibunya bekerja sendirian. Gadis itu dengan gerakan lincah mulai membantu sang ibu. Sore-sore begini, gerai mereka akan selalu ramai, oleh karena itu kedua orang tuanya harus bekerja cepat. Mereka tidak menggunakan jasa karyawan, karena mereka masih bisa mengatasi keramaian ini. "Rea, tolong ambil pesanan pelanggan Nak. Ayah masih harus mengambil stok daging dari gudang." ucap John, cinta pertama gadis manis itu. Rea mengangguk, "Ya Ayah." gadis itu kemudian keluar dari dapur dan mulai melayani pelanggan. Rea tidak tahu mengapa, rasanya ia seperti diawasi oleh seseorang. Gadis itu menoleh ke sembarang arah, mencari sosok yang mengawasinya sejak tadi. Dan benar saja, ketika ia membalikkan badan, manik hijaunya menangkap sosok yang paling dia takuti saat ini. Rea mematung seketika, maniknya terkunci pada mata elang yang siap menerkamnya kapan saja. Apalagi ketika bibir licik itu tersenyum, seolah menertawakan ketakutannya saat ini. Sosok itu adalah Adam, preman sekolah yang kini telah menjadikannya kacung di sekolah. Pria yang telah membuatnya tertindas hampir setiap harinya. Tiada hari baik selain gangguan dari anak muda itu. Rea bertanya-tanya, mengapa Adam ada di sini? Dan dari mana Adam tahu gerai ini? Rea menggeleng samar, bagi Adam mencari keberadaannya bukanlah hal yang sulit. Tapi, apa yang Adam lakukan di sini? Apakah Adam berniat membuat kekacauan di sini? "Rea?" panggilan ibunya menyadarkan Rea. Rea segera beranjak, tetapi maniknya masih belum lepas dari Adam. "Iya Bu?" "Antarkan pesanan ini ke meja nomor delapan." ucap Elsa. Elsa melihat dari dapur meja nomor delapan, gadis itu terpaku ketika sadar kemana dia akan mengantar pesanan ini. "Rea?" Rea tersadar dari lamunannya, "Iya Bu." mengambil pesanan, kemudian berjalan menuju meja dimana Adam duduk. Ketika dia hampir dekat, Rea sudah merasakan sorotan tajam itu. Oleh karena itu, Rea menundukkan wajahnya. "Pesanan datang. Selamat menikmati." ucap Rea, meski sebenarnya dirinya ketakutan. Setelah meletakkan pesanan, Rea dengan cepat berbalik meninggalkan Adam. "Tunggu!" Langkah Rea terhenti, gadis itu memejamkan matanya. Sudah menduga, Adam tidak akan melepaskannya begitu saja. Gadis itu, akhirnya terpaksa membalikkan tubuhnya. "Iya, ada yang bisa saya bantu?" ujar gadis itu dengan sopan. Terpaksa Rea membalas tatapan Adam. Adam tersenyum, senyum manis namun penuh tipu muslihat. Seolah masih belum cukup menindas Rea di sekolah, Adam juga masih ingin mengganggu kehidupannya. "Minumanku?" ucapnya singkat. Rea melihat meja yang memang masih belum tersedia minuman. "Maaf, saya akan mengambilkannya." Sebelum, Adam menahannya, Rea cepat-cepat meninggalkannya. Awalnya, Rea ingin Ibu atau Ayahnya menggantikannya mengantar minuman Adam. Tetapi kedua orang tuanya terlihat sibuk, oleh karena itu, mau tidak mau, Rea mengantar minuman Adam. "Minuman Anda Tuan." ucap Rea. "Terima kasih." "Selamat menikmati." Brak... Entah apa yang membuat Rea kehilangan keseimbangan, hingga tubuh mungilnya akhirnya terjatuh tepat di atas meja. Tubuhnya menimpa pesanan Adam, membuat semuanya hancur berantakan. Dalam seketika, Rea dan Adam menjadi pusat perhatian pelanggan lain. Rasanya, Rea ingin menangis. Dia tidak terjatuh sendirinya, tetapi lelaki di sampingnya menjebaknya. "Perhatikan jalanmu Nona kecil." Rea menjadi pusat perhatian semua orang, begitu juga dengan Ayah dan Ibunya yang segera berlari dari dapur, ketika melihat putri mereka membuat kekacauan. "Rea, kau tidak apa-apa Nak?" John membantu Rea berdiri, sementara Ibunya membereskan makanan yang berhamburan di bawah meja. "Aku tidak apa-apa Ayah. Aku hanya kurang hati-hati saja." ucap Rea. Kemudian langsung menundukkan kepalanya pada Adam. "Tuan, maafkan saya. Saya ceroboh. Saya akan mengganti makanan Anda segera, dan Anda tidak perlu membayarnya." cecar Rea, dengan perasaan penuh ketakutan. Rea takut, Adam melakukan sesuatu yang buruk pada orang tuanya. Adam tersenyum, namun Rea menganggap senyuman itu adalah senyuman paling mengerikan. "Tidak perlu. Aku tidak berselera makan lagi." Adam bangkit berdiri, meletakkan kedua tangannya di kantung celananya. "Tapi kalian pasti akan membayar ini." ucap Adam sebelum pergi begitu saja meninggalkan kekacauan itu. Ayah dan Ibu Rea kebingungan akan ucapan Adam, sementara Rea yang paham maksud dari ucapan itu, hanya bisa diam terpaku. Tidak cukupkah Adam menindasnya di sekolah? Haruskah kedua orang tuanya mengalami apa yang dia rasakan? *** "Hei..." Rea mengernyitkan keningnya, ketika merasakan seseorang menendang kursinya. Gadis yang tadinya menelungkupkan wajahnya di atas meja, menegakkan tubuhnya. Sosok bertubuh jangkung menjulang tinggi di depannya. "Mana tugasku?" suara berat Adam, menyapa Rea yang memiliki kantung mata di wajahnya. Rea mengambil sebuah buku dari laci mejanya dan memberikannya pada Adam. Adam tersenyum, menepuk dua kali puncak kepala gadis itu, "Kerja bagus." Setelah Adam pergi, Rea kembali menenggelamkan wajahnya di atas meja. Rea sangat mengantuk, karena tadi malam dia harus mengerjakan tugasnya dan milik Adam dalam waktu bersamaan. Alhasil jam tidurnya terganggu. Sudah beberapa kali Rea seperti ini, mengantuk dan tidak bersemangat di sekolah karena harus membuat salinan tugas Adam "Rea...." bukan Adam, melainkan sebuah suara lembut kembali menjemput Rea dari tidurnya. "Wil, ada apa?" jawabnya dengan wajah lesu. Wil tersenyum, lalu memberikan sebuah kotak bekal, "Dari Mamiku. Mami titip salam untukmu. Mami terus menanyakanmu karena kau tidak pernah lagi ikut kerja kelompok." Rea tersenyum paksa, "Terima kasih Wil. Sampaikan salamku untuk aunty Lia. Aku sibuk membantu Ayah dan Ibuku akhir-akhir ini. Aku janji akan ikut di kerja kelompok berikutnya." Wil mengangguk, "Aku mengerti. Kalau begitu aku pergi dulu." Rea memang sudah dekat dengan keluarga William, terutama Ibunya. Dalam seminggu, Rea dan teman-temannya selalu belajar bersama di rumah Wil, bergantian di rumah teman yang lain. Namun, akhir-akhir ini, Rea tak lagi ikut belajar bersama. Semua itu karena Adam, yang tidak puas menyiksanya di sekolah, tetapi juga di kehidupan luar sekolah. Adam mengawasinya, dan membuat Rea merasa sesak setiap saat. "Sepertinya senang sekali mendapat hadiah dari calon mertua." Rea hampir menjatuhkan kotak bekalnya, saat suara Adam tiba-tiba menyapa. Adam tersenyum sinis, membuat Rea gemetaran. "Buka!" perintahnya. Rea ragu, tetapi saat tatapan Adam menajam, mau tak mau gadis itu akhirnya membuka bekal pemberian William. Adam mengangkat alisnya, sangat menyukai permainan ini. "Makan!" Rea mengerutkan keningnya, "Aku bilang makan!" Sekali lagi, dengan penuh keterpaksaan, Rea menyendokkan makanan itu. Rea hampir memasukkan makanan itu ke mulutnya, tetapi gagal ketika sendoknya melayang dan terjatuh ke lantai. Rea terpaku, melihat Adam yang terlihat puas melihatnya menderita. "Bagaimana rasanya? Enak bukan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN