Rea menatap nanar, maniknya berkaca-kaca, tidak sanggup menahan tangisnya. Untuk pertama kalinya Rea mengeluarkan air matanya selama Adam menindasnya.
Rea menengadah, membalas manik hijau yang tidak berani ia tatap dulu. Rea sungguh tidak tahan lagi. Kesabarannya telah habis.
"Kenapa?" suara gadis itu bergetar. "Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa salahku padamu?" isak Rea putus asa.
Berharap Adam berbelas kasih, justru tangis Rea menjadi penyemangat baginya untuk semakin menindasnya. Adam cukup geram pada Rea yang tidak pernah menangis memohon ampun padanya, seperti korbannya yang lain. Dan hari ini, dia berhasil membuat gadis malang itu menangis.
"Kau tidak memiliki kesalahan apapun Nona. Hanya saja, memang sudah nasibmu untuk menjadi kacungku." kata Adam tanpa perasaan sedikit pun.
"Aku membencimu!" teriak Rea.
"Kau pikir aku peduli?" untuk yang pertama kalinya, Adam melewati batasnya dengan menangkap dagu gadis itu, menekannya dengan kuat. "No. Aku tidak peduli sama sekali Nona. Terima saja nasibmu." menghempaskan wajah Rea dengan kasar.
***
Sejak saat itu, Adam semakin tidak segan lagi menindas Rea. Satu sekolah kini telah tahu bahwa Rea adalah kacung si preman sekolah. Tidak ada lagi yang berani berteman atau mengganggunya, bahkan Sheril sekali pun yang notabenenya teman dekat gadis itu.
Termasuk William juga, yang dulunya selalu menyapa gadis pujaannya, kini tak lagi bahkan enggan bertemu pandang dengan Rea.
Rea sendiri, tanpa teman seorang pun di sekolah. Setiap hari, Rea harus mengikuti Adam kemana pun, dan hanya tunduk pada pria itu.
"Lihat siapa yang datang." Rea dan Adam baru saja masuk ke sebuah ruangan khusus di sisi barat sekolah. Dimana di dalam ruangan ada empat orang siswa laki-laki, yang Rea tahu adalah anak dari para donatur sekolah ini.
Adam duduk di sebuah sofa single, sementara Rea berdiri di belakangnya sambil menundukkan kepalamu. Rea menjadi pusat perhatian para putra konglomerat itu.
"Adam, tega sekali kau menjadikan gadis manis ini menjadi kacungmu." sanggah Nicole, pria bermata biru yang merupakan keturunan Jerman.
Adam seolah tuli, pria itu fokus pada ponsel mahalnya, tanpa peduli ucapan teman-temannya.
Adam, beserta empat sahabatnya, Nicole, Smith, Drake dan Royce, merupakan preman sekolah St. Fransiskus yang diketuai oleh Adam. Semua orang di sekolah menakuti kelima orang ini. Karena orang tua mereka adalah pemilik saham terbesar di sekolah.
"Ck, memangnya sejak kapan Adam peduli dengan orang lain?" Drake menyahut.
"Kemari Nona manis, jangan berdiri di sana." ucap Nicole pada Rea. Sementara Rea yang memeluk tas milik Adam, tidak menurut sama sekali.
"Jangan takut, kemarilah." ujar Nicole. Tetapi masih mendapat respon yang sama dari Rea. Dia hanya akan tunduk pada Adam.
"Hei dude, apa yang kau lakukan pada gadis malang ini?" Royce bicara pada Adam yang asik sendiri.
Nicole akhirnya menarik Rea, lalu memaksanya duduk di sofa tepat di sebelah Smith. "Duduk saja. Jangan takut pada Adam, kami ada di sini melindungimu." kata Nicole, mengabaikan tatapan tajam dari Adam.
"Jangan menatapku begitu." menunjuk Adam.
"Siapa namamu?" orang yang dari tadi tidak banyak bicara, dan hanya mengamati Rea begitu intens, menyapa gadis itu.
Rea tidak menjawab, gadis itu melirik Adam yang menatapnya dengan tajam.
Smith mengambil tangan kanan Rea tanpa izin, "Smith, panggil aku Smith." Smith melihat name tag Rea.
"Namamu Rea?"
Adam menatap Smith dengan tatapan tak biasa. Smith, siapa pun tahu bahwa Smith adalah anggota paling dingin di kelompok ini, terutama pada wanita.
Namun hari ini, seorang Smith yang terkenal dingin pada wanita, kini menunjukkan effortnya pada kacung milik preman sekolah. Oleh sebab itu, Adam merasa terusik.
Meski Rea sama sekali tidak menanggapi, tetap saja Adam tidak suka mainannya diusik, biar pun itu sahabatnya sekali pun.
"Adam, kenapa tidak kau bawa Rea saja nanti malam? Kalau dilihat-lihat, gadis ini lumayan juga, meski sebenarnya dia berasal dari keluarga menengah." ucap Nicole pada Adam.
Adam menyipitkan pandangannya, kemudian melihat ke arah Rea yang menatap bingung padanya juga.
"Jangan macam-macam Adam! Aku pikir Rea bukan gadis semacam itu!" sanggah Smith, seolah tahu apa yang ada dalam pikiran teman-temannya.
Adam mengangkat alisnya, menatap rendah gadis lugu itu. "Why not? Siapa yang tahu, kalau sebenarnya gadis ini adalah gadis liar yang bersembunyi di balik wajah polosnya?" kata Adam.
"Adam!" Smith menyela.
"Diam Smith, jangan ikut campur urusanku. Dia milikku!" ucap Adam tegas pada Smith.
Smith terdiam, pria itu menatap tajam Nicole yang juga senang akan keputusan Adam.
"Awas saja kalau sampai terjadi apa-apa!"
***
"Masuk!" sebuah mobil sport berwarna merah merona, tiba-tiba berhenti di hadapan Rea. Adam ada di dalam sana, menatapnya dingin.
Rea menggeleng, "Aku mau pulang. Aku harus membantu ibuku." tolak Rea halus.
"Dalam hitungan ketiga, jika kau belum masuk, kupastikan usaha orang tuamu hancur hari ini juga!" ancam Adam.
Rea mengigit bibirnya, dengan keterpaksaan, gadis itu masuk ke dalam mobil Adam.
"Pakai seat beltnya!"
Rea yang belum pernah menaiki mobil mewah sebelumnya, kebingungan, maniknya dengan polos menatap Adam.
Adam berdecak, "Dasar kampungan!" umpatnya. Dengan setengah hati, pria itu memasang seat belt gadis itu.
Ketika Adam begitu dengan dengannya, Rea menahan nafasnya. Aroma maskulin yang bercampur dengan parfum mahal menyeruak di di indra penciumannya.
"Kenapa kau sangat miskin?!" setelah selesai, Adam melajukan mobilnya.
Rea tidak sakit hati mendengarnya, ucapan Adam yang kasar sudah menjadi hal biasa baginya.
"Hei jawab aku! Kenapa kau sangat miskin?!" sentak Adam, karena Rea mengabaikannya.
"Kau ingin aku jawab apa?" ucap Rea.
Adam menatap gadis itu sengit, kemudian kembali fokus ke jalan. Adam bisa melihat kesedihan dalam mata polos nan lugu itu.
Rea tidak tahu kemana Adam membawanya. Tetapi ketika mobil memasuki sebuah gerbang rumah megah bak istana, Rea tidak dapat menyembunyikan kekagumannya.
Sebuah gedung putih raksasa, yang dikelilingi oleh taman asri, serta hamparan bunga-bunga yang luas mengelilingi rumah itu.
Karena terlalu menikmati pemandangan rumah itu, Rea tidak sadar, Adam telah keluar dari mobil.
"Hei! Kau ingin di sana selamanya?" Adam membuka pintu mobil, menyadarkan Rea dari rasa kagumnya.
Rea segera membuka seat beltnya, tetapi dia kesulitan. Membuat Adam kembali berdecak kesal.
"Membuka ini saja tidak bisa. Dasar kampungan!" gerutunya sambil membuka sabuk pengaman Rea.
Rea mengikuti langkah Adam yang panjang memasuki rumah megah itu. Sesuai dengan ekspektasi Rea, dari luar saja rumah itu sudah memikat hatinya, apalagi di dalamnya. Rea merasa seperti berada di surga.
"Adam, kau sudah pulang?"
langkah Adam terhenti, begitu pun Rea ketika seorang wanita muncul dari sebuah ruangan. Seorang wanita paruh baya berpenampilan glamor dan mewah, dengan segala aksesoris mahal yang tidak terhitung harganya.
"Mommy."
Rea menundukkan kepalanya ketika wanita cantik itu menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Wanita itu menilai Rea.
"Siapa gadis ini?"