Bab 5: Tidak Tahu Arah

1052 Kata
Semua berhenti di satu titik, pancuran air yang membuat keributan dalam keheningan. Tatapan mereka semua sangat ambigu lantaran bingung sekaligus merasa asing satu sama lain. Cerita karangan River mengenai nenek moyang, meskipun membingungkan banyak orang, akan tetapi sepertinya dipercayai dengan cepat. Mengingat bukan sekali ini saja para penduduk dibingungkan oleh analisis seorang profesor yang mereka percaya. Rana sendiri sebagai orang normal, tentu tidak terima dikatakan sebagai nenek moyang. Dia adalah wanita muda yang belum ditumbuhi uban serta kulit keriput. Tidak tahukah orang-orang bagaimana dia melakukan ritual perawatan secara rutin selama ini? "Sekali lagi aku tekankan bahwa aku bukanlah nenek moyang! Bahkan, anak kecil saja tahu kalau aku masih tergolong sebagai wanita muda!" River mendekati wanita asing, lalu berbisik, "Apa salahnya untuk setuju? Di situasi ini, kau seharusnya mengikuti arusnya, bukan melawan arus. Itu hanya akan membuang-buang tenaga." Rana mengernyitkan alis, memindai pria di sampingnya dari atas sampai bawah. "Apa yang kau katakan? Sampai kapan pun, aku tidak akan menyetujuinya. Kau seharusnya menggunakan matamu dengan baik. Aku bukanlah nenek-nenek." Para penduduk saling melemparkan pandangan. Mereka seharusnya juga tahu akan hal itu. Wanita yang masih duduk di pancuran tidak terlihat seperti orang yang bisa disebut sebagai nenek moyang. Dan lagi, mustahil ada nenek moyang yang dapat hidup di tahun 2089 ini. Kemungkinan besar mereka semua sudah mati atau digunakan sebagai bahan penelitian. River merendahkan tegaknya, lalu berbisik kembali, "Kau harus mengikuti perkataanku jika ingin selamat. Lihatlah makhluk yang berkumpul mengelilingimu sekarang. Tidakkah kau takut dengan mereka? Bisa saja setelah ini tubuhmu dijadikan bahan percobaan." Rana memilih untuk tidak mendengar. Dia berusaha turun dari pancuran air yang tingginya kira-kira satu meter untuk dia bisa turun, lalu berjalan sambil terus mencari-cari sesuatu dengan raut wajah khawatir. "River, apa yang sedang nenek moyang kita lakukan?" Seketika Rana membalikkan badan, lalu berteriak, "Aku bukanlah nenek moyang!" Tidak ada yang terjadi setelah teriakan yang mampu mendiamkan para penduduk, kecuali memperhatikan gerak-gerik orang asing yang begitu membingungkan. Entah apa yang sedang wanita asing itu cari, dari mereka tidak ada satu pun yang tahu. Sementara River sejak tadi tersita perhatiannya pada sebuah benda. Dia mengamati dengan saksama, bersamaan dengan para penduduk yang seperti tertarik jiwanya. Mereka semua seperti terhipnotis pada benda yang diangkat River ke udara. Rana yang menyadari bahwa benda itu adalah miliknya segera mengambilnya, menyembunyikannya ke balik kemeja. Mereka yang hilang kesadaran tadi telah pulih kembali, kebingungan akan situasi tadi yang tidak dimengerti sama sekali. Kenapa mereka seperti orang linglung? Hanya Rana yang tahu akan jawabannya, dia tahu kalau bola bekel yang dibawa memiliki kekuatan untuk menarik perhatian orang lain, bahkan sampai menghipnotis siapa saja ketika melihatnya. Dia yang masih belum mengerti akan bola bekel tersebut tidak ingin jika ada orang lain menyentuhnya. Nyatanya bukan hanya Rana saja. River, seorang profesor yang dikatakan cerdas oleh para penduduk di kota itu juga menyadari ada sesuatu yang ganjil. Namun, dia tidak ingin mengatakan kecurigaannya untuk saat ini. "Aku melihat kalau kau sedang mencari-cari sesuatu sejak tadi. Apa itu bola yang kau simpan?" tanya River, berusaha mengulik informasi. Rana mengeratkan pegangannya pada bola bekel, ragu untuk mengatakan kegundahan hati. Di sisi lain, jika melihat keadaan sekeliling yang begitu asing, dia juga tidak tahu harus menyelesaikan permasalahannya bagaimana. Dia tahu, kalau dia membutuhkan bantuan. "Aku mencari kakakku," ucap Rana lambat-lambat. "Ah, jadi kau membawa kakakmu ke mari?" River mulai menguasai pembicaraan. "Apa dari kalian ada yang melihat?" tanyanya pada penduduk. Mereka semua menggelengkan kepala, tidak tahu. Hanya ada satu orang yang penduduk temukan. Itu pun karena pancuran yang rusak, menumpahkan air tanpa henti sehingga membasahi halaman kota meski baru setinggi satu ruas jari. River mengulurkan tangannya. "Aku adalah River." Rana tidak mengendurkan pegangannya pada bola bekel. Dia tidak bergerak sedikit pun lantaran berpikir bahwa sekarang bukan waktunya untuk saling berkenalan. Bisa saja makhluk aneh yang mengepungnya saat ini adalah orang jahat. "Kalau begitu, haruskah aku memanggilmu dengan sebutan 'Nona Manis' untuk selanjutnya?" River menarik tangannya, lalu tersenyum. Sesungguhnya panggilan itu adalah sesuatu yang menggelikan. Rana tidak nyaman, akan tetapi dia bersikeras untuk tidak memberitahukan identitasnya. Lebih baik begitu untuk mengamankan diri dari orang-orang asing. "Aku ingin kalian membantuku untuk mencari—" River melirik ke arah wanita yang berjarak dua meter di sampingnya, berusaha memberikan isyarat. Rana sendiri juga tahu apa yang harus dia lakukan. "Seorang wanita dengan rambut sepanjang bahu. Dia hamil besar saat ini." "Apa? Itu hal yang gawat, meninggalkan wanita hamil seorang diri," ucap seorang penduduk, dianggukkan oleh penduduk lainnya. "Kalian sudah mendengarnya. Jadi, bantu aku untuk menemukannya," ucap River. Para penduduk berpencar melakukan pencarian. River sendiri membawa wanita terdampar menuju tempat tinggalnya walau memerlukan sedikit usaha lagi untuk meyakinkan. Tidak hanya penduduk setempat yang merasa aneh, Rana juga sama. Dia tidak berpikir ada di sebuah lokasi yang menunjukkan kenyataan. Hewan berjalan, kendaraan terbang, jalanan panjang seperti menuju langit, ada banyak lagi hal aneh di sana. "Kau pasti sangat terkejut. Duduklah. Potato akan memberikan minuman untukmu." "Potato?" "Dia adalah robot." Tidak lama kemudian, Potato muncul dengan ekspresi tidak senang di wajahnya. Itu dideskripsikan dengan alis buatan yang menurun seperti sedang marah. Jalannya juga tidak mulus, padahal baru diberi pelumas oleh pemiliknya. Potato selalu melakukan pemberontakan saat sedang marah. "Aku bukanlah robot, tapi manusia. Hanya fisiknya saja yang berbeda." Meskipun begitu, Potato tetap menyuguhkan teh andalannya. River tersenyum. "Jangan meniru Pushi ketika marah. Kau sudah pasti adalah robot yang aku ciptakan dengan tanganku sendiri." Potato memutar roda kakinya hingga tubuhnya dapat menghadap lurus pada tamu mereka. "Selamat datang. Saya adalah Potato." Rana yang tidak pernah melihat robot berbicara, pastinya sangat tergugah sampai tidak mengedipkan mata. Melihat ekspresi itu, River semakin menganalisis tentang kejadian aneh yang terjadi di kota mereka ini. "Potato, biarkan dia menempati kamarku untuk sementara waktu." Rana langsung bangkit dari duduknya. "Apa yang kau katakan? Di sini bukanlah tempatku dan aku harus pulang ke rumah bersama kakakku sekarang." River melipatkan tangan di d**a dan menyipitkan mata. "Bagaimana? Apa kau tahu caranya?" Rana tahu bahwa lingkungan mereka jauh berbeda, akan tetapi dia juga tidak akan memilih tinggal di rumah orang asing. Jadi, dia mengertakkan gerahamnya dan memutuskan untuk keluar dari rumah itu. Dia pasti bisa menemukan rumah mereka kembali. "River, lakukan sesuatu. Tamu kita pergi tanpa meminum tehnya." Potato tampak panik dan mondar-mandir. Tidak ada yang dilakukan River. Dia melangkah ke ruangan penelitiannya bersama kerut di dahi. Kalau analisisnya tidak salah, berarti benar bahwa Rana bukan berasal dari dunia Stardust.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN