Bab 12: Kebenaran Rasa

1028 Kata
*** Acara pernikahan Randy dan mempelai wanitanya yang bernama Zilvia berlangsung cukup meriah. Orang tua pria itu mengeluarkan banyak uang untuk pernikahan Randy. Mereka benar-benar ia ingin membuktikan bahwa mereka bisa menciptakan pernikahan meriah. Untuk mendukung berlangsungnya kemeriahan acara pernikahan itu. Orang tua Randy mengambil uang pinjaman di Azzam, sahabat Khadija, sekaligus bos Khadija. Setelah Harold berselisih paham dengan Randy. Azzam menjadi prioritas bagi keluarga itu. Seolah-olah Azzam-lah suami Khadija bukannya Harold. Azzam menjadi sosok yang paling disoroti. Mereka benar-benar memberikan perhatian lebih kepada Azzam sebagai wujud terima kasih mereka karena lelaki itu bersedia membantu mereka. Azzam diperlakukan seperti selayaknya menantu kesayangan di keluarga itu. Padahal Azzam tidak menikahi siapa pun dalam keluarga itu. "Ayo, Azzam. Jangan sungkan. Anggap sebagai acara pernikahan keluarga sendiri," ucap Rina menyambut Azzam. Azzam datang bersama Khadija beserta anak-anak wanita itu. Tak hanya mereka saja, juga ada lima karyawan Azzam yang lain. Mereka sengaja datang rombongan di acara pernikahan Randy. "Iya, Tante." Azzam tersenyum hangat. Lelaki itu sangat setia menunggu proses acara pernikahan itu sampai selesai. Khadija duduk di kursi tamu, menyambut hangat para tamu yang hadir di pernikahan kakaknya. Khadija bertanggung jawab menyapa semua orang. Khadija merasa cukup lelah setelah hampir satu jam menyambut tamu. Dia duduk di samping Azzam karena lebih nyaman berada di dekat sahabatnya itu. "Kau tampak membutuhkan ini," ujar Azzam sembari memberikan sapu tangan berwarna coklat polos kepada Khadija. Khadija menoleh ke arah Azzam. Ada perasaan senang ketika Azzam memperhatikan dirinya. Khadija perlahan-lahan menerima pemberian sapu tangan itu. Sapu tangan itu bisa digunakan Khadija menghapus keringat di wajahnya. Dia sudah terbiasa dengan semua perhatian itu, dan Khadija tahu bahwa hubungan mereka hanya sebatas teman. Sebab Khadija sudah memiliki keluarga. Ada Harold yang begitu mencintainya. Lalu ada Zul dan Zander yang melengkapi rumah tangga mereka. Mereka telah menjadi keluarga bahagia apapun yang terjadi. "Terima kasih," kata Khadija dengan mata fokus memandang ke arah depan. Menyaksikan Randy dan Silvia menyambut kedatangan tamu mereka di atas pelaminan. "Bagaimana perasaanmu melihat abangmu menikah?" Azzam memecah keheningan di antara mereka dengan cara melontarkan sebuah pertanyaan. Penting bagi mereka untuk tetap berkomunikasi. Khadija menunjukkan ekspresi penuh haru. Setiap adik pasti bahagia jika kakaknya menikah begitu pun dengan Khadija. Dia merasa tenang bahwa di masa depan akan ada wanita yang memperhatikan keadaan Randy. Khadija bahkan khawatir tidak ada yang bisa bertahan dengan kakaknya. Ternyata masih ada wanita yang mau bertahan bahkan menikah dengan pria itu. "Bahagia. Itu sudah pasti. Aku senang bang Randy akan segera menikah," ujar Khadija tulus. Dia bukannya munafik berada di tengah-tengah dari pilihan yang ada. Dia mendukung suaminya. Namun, tidak bisa mengabaikan fakta kalau ia juga adik dari Randy. Posisi Khadija sekarang hanya bisa menjadi penengah. Dia hanya bisa berharap semua pihak bisa memahami keputusan dirinya. Posisi Khadija sekarang serba salah. Dia salah jika menjauhi Harold, dan juga salah jika menjauhi kakaknya. Dia ditakdirkan berada di tengah-tengah keadaan. Situasi yang benar-benar menyiksa dirinya. "Pasti sulit menghadapi kenyataan bahwa suamimu berkonflik dengan abangmu." Azzam paham betul bahwa situasi itu benar-benar menyiksa. Dia yakin, itu akan sangat menyiksa Khadija. "Ya. Tapi, aku akan melalui semua itu. Harold selalu mengajarkan aku untuk tetap kuat ketika berada di situasi rumit mana pun." Khadija jujur. Kejujuran itu menciptakan ekspresi tidak senang di wajah Azzam. Hanya sebentar ekspresi itu tampak. Bahkan, Khadija tidak sempat menyaksikan ekspresi tidak senang itu. Khadija terlalu serius menyaksikan kakaknya menikah, dan juga Azzam terlalu pandai mengubah ekspresi di wajahnya. Dia bisa mengubah ekspresinya dengan sangat cepat. Dua keahlian yang berhasil menyembunyikan satu kebenaran. Sebuah kebenaran tentang rasa. "Kau memang kuat," bisik Azzam. Azzam mengelus punggung Khadija melalui sentuhan tangan yang begitu lembut. Sementara Khadija hanya membiarkan. Hampir saja ia menangis, dan merusak riasan wajahnya. Beruntung sekali karena Azzam sempat memberikan dirinya sapu tangan. Berkat sapu tangan itu, ia bisa menahan tangis yang akan merusak riasan wajahnya. "Tunggu. Apakah itu wartawan di sana?" bisik Azzam menduga-duga. Ada wartawan di luar gedung yang memotret meskipun tidak diizinkan masuk ke gedung itu. Mereka memcuti-curi foto pernikahan tanpa izin. Khadija membalikkan wajah ke arah pintu gedung. Menyaksikan, ada sekitar tiga kameraman dari tiga platform berbeda. "Itu memang wartawan." Khadija cukup trauma dengan artikel tidak baik yang sebelumnya membuat keluarganya heboh. Beruntung mereka bergerak cepat menghapus artikel yang mencoreng nama baik keluarga mereka itu. "Aku akan meminta mereka pergi. Mama pasti akan syok jika melihat ada pencari berita seperti itu lagi." Khadija memilih melakukan aksi dari pada berdiam diri tanpa melakukan sesuatu. Khadija sudah berdiri dari tempatnya duduk saat menyadari seseorang baru saja masuk ke dalam gedung. Orang itu adalah Raffi, manajer Harold. Pagi hari sebelumnya, Harold mengatakan bahwa dirinya tidak akan hadir. Namun, tetap akan mengirim utusan. Harold benar-benar mengirimkan utusan. Harold mengirimkan Raffi ke acara pernikahan itu. Raffi membawa sebuah kado pernikahan. Khadija menebak itu hadiah Harold untuk Randy dan Silvia. "Kau harus bicara pada Raffi dulu," decit Azzam. Khadija sepakat. Dia menganggukkan kepalanya. Sambil menantikan Raffi yang tampaknya memang sedang melangkahkan kaki ke arah wanita itu. Raffi tersenyum lebar dan dibalas dengan senyuman yang sama oleh Khadija. "Maaf terlambat," kata Raffi. Raffi memberikan bungkusan kado mungil di tangannya kepada Khadija. Ukurannya kecil, dan Khadija menebak kalau hadiah Azzam merupakan sebuah arloji atau semacamnya. Raffi memiliki cukup banyak uang, dan itu tidak bisa diragukan lagi. "Enggak apa-apa, Kak. Silakan ambil jamuannya, Kak. Aku mau bicara sama kakak nanti." Raffi mengangguk. Dia naik ke atas panggung dulu untuk mengucapkan selamat kepada Randy dan Silvia. Setelah itu, Raffi mengambil kudapan secukupnya lalu duduk di samping Khadija. Jika Khadija ingin berbicara berarti itu adalah sesuatu yang penting. Raffi hanya perlu mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Khadija. "Jadi, kamu mau bicara apa?" tanya Raffi serius. Pria itu menunda untuk menyantap hidangan yang sudah ia ambil. Dia lebih tertarik meminum air mineral yang sudah disediakan. Pria itu menantikan kata-kata Khadija selanjutnya. "Ada wartawan di luar, Kak. Apa yang harus aku katakan? Mereka pasti menanyakan Harold." Khadija menampakkan ekspresi cemas luar biasa. Salah bicara sedikit saja, maka artikel aneh akan muncul keesokan paginya. Oleh karena itu, penting bagi Khadija untuk mengetahui apa saja yang perlu ia ungkapkan dan tidak ungkapkan. Itu benar-benar sangat penting baginya. "Tidak usah cemas. Aku sudah mengurusnya. Jangan terlalu mengurusi mereka," jelas Raffi . Instagram: Sastrabisu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN