CHAPTER 8. AWAL MULA BENCANA

1899 Kata
Helcia berusaha mengendalikan detak jantungnya yang kian cepat tatkala Orestes memandangnya dengan dingin. Tiada emosi pada wajah pria itu semakin membuat Helcia merasa tertekan. “Bukan. Bukan saya.” Ujar Helcia. Orestes membungkukan tubuhnya sedikit agar wajah mereka bisa sejajar, dengan cepat Helcia menarik tudung mantelnya hingga menutupi kening dan matanya. “Lantas mengapa anda bersembunyi?” “Saya juga tengah memperkirakan tempat berdirinya orang yang melempar kuda Tuan dengan batu. Dan orang itu sudah tidak berada di tempatnya ketika saya berjalan ke tempat ini.” Helcia mengalihkan pembicaraan mereka agar Orestes tidak bertanya lebih lanjut tentang wajahnya. “Begitukah?” “Mhm.” Bisik Helcia pelan. “Kalau begitu, Maaf atas kesalah pahaman saya.” Tidak ada jawaban lebih lanjut dari Helcia, wanita itu langsung menghela nafas lega ketika Orestes membalikan tubuhnya untuk kembali ke gerombolan prajurit. Dia juga sebenarnya tidak begitu perduli dengan orang yang telah melemparinya batu. Lagipula, Orestes sudah terbiasa menerima kebencian orang lain kepadanya. Namun, Athian bukanlah orang yang murah hati ataupun tidak perduli. Dia sama sekali tidak bisa memaafkan seseorang yang menaruh kebencian kepada tuannya. Oleh sebab itu, tanpa mengindahkan perintah Lucas agar tenang. Athian berlari secepat hembusan angin dan mengarahkan pedang tepat ke leher Helcia. TRANG! Detik itu juga, Orestes menarik bilah pedang dari sarungnya. Menangkis pedang Athian yang dalam beberapa senti lagi mengenai permukaan kulit Helcia. Sorot mata Orestes menatap Athian dengan dingin dan tajam, seolah hendak menguliti Letnannya itu, “Apa aku pernah memerintahkanmu untuk membunuh?” Athian sontak termangu kaku, aura yang dikeluarkan oleh Orestes mampu menekannya sampai tidak kuasa bergerak sedikitpun. “Tidak, Tuanku. Anda tidak memberikan perintah apapun.” Ujar Athian dengan takut. Situasi antara Athian dan Orestes bukanlah sesuatu yang pantas untuk dipertontonkan di khalayak umum. Sehingga, Lucas berjalan ke tengah mereka, menurunkan dua pedang yang saling beradu itu agar keduanya bisa lebih tenang. “Masalah hari ini, biarkan aku yang menanganinya.” Lucas menatap Athian dengan pandangan serius, pertanda bahwa dirinya sama sekali tidak mau Athian ikut campur. Athian menyarungkan pedangnya dan menghembuskan nafas kasar, “Terserah kamu saja.” Dengan memalingkan wajah, Athian pergi melewati Lucas yang kini menghadap Orestes, “Tuan, Athian mungkin bersalah akibat tidak mematuhi perintah anda. Namun, kita tidak bisa mempercayai ucapan orang asing begitu saja. Saya ingin menginterograsi Nona ini lebih jauh.” Sepertinya memang Helcia terlalu cepat merasa lega. Hanya sekedar ucapan tanpa bukti tentu saja tidak akan membuat Letnan Lucas yang dikenal begitu teliti percaya begitu saja. Namun, Orestes menggeleng pelan, “Tidak perlu. Itu bukan dia.” Lucas, “Tuan, bagaimana anda merasa yakin?’ Orestes berjalan menjauhi Helcia, kemudian berbisik lirih, “Karena dia bilang seperti itu.” Helcia mematung di tempatnya, Dia sangat terguncang akibat hampir mengalami kematian untuk kedua kalinya. Bila saja Orestes tidak menahan pedang Athian tepat waktu, mungkin kepalanya sudah melayang jauh dari tubuh Helcia. Kesadarannya mulai kembali tatkala Helcia mendengar suara teriakan dari penduduk Kota yang saling sahut – menyahut. “Api! Api! Ada yang terbakar!” Sontak Helcia menolehkan pandangannnya, menatap ke arah kepulan asap hitam yang menjulang sampai ke langit. Lokasi dari kebakaran itu tidaklah jauh, sehingga Helcia masih bisa mendengar suara percikan api yang menghanguskan bangunan. Dari jauh, Helcia melihat ada salah seorang pengawal keluarga Obelix yang berlari gusar menuju Orestes. Pria dengan peluh di wajahnya itu langsung bersujud dihadapan Orestes dan tidak berani memandang wajah Jenderal dingin tersebut. “Jenderal, maafkan kebodohan saya.” Ujar pengawal itu dengan takut sampai tubuhnya gemetar. Orestes, “Apa yang terjadi?” “Gudang penyimpanan gandum terbesar kita terbakar. Saya dan yang lainnya sedang berupaya memadamkan api, namun kemungkinan besar gandum – gandum itu sudah hangus terbakar.” Tanpa mendengarkan penjelasan dari pengawal itu lebih lanjut, Orestes langsung berlari menuju gudang penyimpanan gandum yang letaknya tidak jauh dari tengah kota. Gudang tersebut merupakan tempat penyimpanan terbesar yang ada di kota, sekiranya ada puluhan ton gandum yang disimpan untuk persiapan musim dingin di dalam gudang tersebut. Jika gudang itu hangus terbakar, maka Kota Canace bisa dilanda kelaparan selama musim dingin berlangsung. Untuk menanam gandum kembali pun akan sulit, mengingat musim dingin akan datang dua bulan lagi. Helcia mengerutkan kening, nampaknya dia pernah menuliskan kejadian ini didalam n****+. Dua bulan sebelum terjadinya musim dingin, gudang penyimpanan makanan Kota Canace akan terbakar tanpa menyisakan sedikitpun bahan pangan. Menyebabkan Kota Canace berada di krisis yang sulit untuk ditangani. Karena Kota Canace berada dibawah kepemimpinan Duke Deorsa Obelix, Keluarga Obelix mendapatkan kecaman serius dari berbagai pihak akibat membuat rakyat mereka menderita dan kelaparan. Bahkan selama musim dingin, setidaknya selalu ada rakyat yang meninggal akibat tidak bisa mencari makan. Orestes telah membuat permohonan kepada pihak Istana untuk mengirimkan bantuan. Tapi, Raja berdalih bila makanan yang disimpan oleh Istana tidaklah cukup untuk dibagikan kepada seluruh rakyat Canace. Sejujurnya, bila dilihat dari segi politik. Pihak Istana mungkin merasa senang melihat Keluarga Obelix mendapatkan banyak kecaman. Karena, keluarga Hesperos dan Obelix sudah saling menancapkan taring mereka satu sama lain untuk mempertahankan posisi keluarga mereka agar tetap berada di puncak kejayaan. Akan tetapi, kini Helcia menyaksikan semua peristiwa itu secara langsung. Mengetahui akan ada banyak rakyat yang menderita di masa depan, namun tidak melakukan apapun untuk mencegahnya dapat membuat Helcia nampak jahat. Helcia menghela nafas gusar, kemudian mengikuti Orestes yang berlari menuju gudang penyimpanan. “Jenderal Orestes, kami pantas mati!” Deretan pengawal yang menjaga gudang bersimpuh di hadapan Orestes dengan mata berlinangan air mata. Orestes melihat kobaran api yang tengah menghancurkan gudang hingga hanya menyisakan kolom penopang, karung – karung berisikan gandum sudah hangus dengan cepat. Memadamkan api sekarang juga tidak akan membuahkan hasil apapun. Sebelum Orestes membuka suara, Athian sudah menatap mereka dengan dipenuhi amarah, “Bagaimana ini bisa terjadi?! Apa kalian tidur ketika melaksanakan tugas sampai begitu ceroboh membiarkan gudang terbakar!” Tanpa membendung emosinya lagi, Athian menendang seorang pengawal yang sedang berlutut sampai pengawal itu menubruk tanah dengan keras, “Aku bahkan tidak tahu harus memenggal kalian atau menyiksa kalian sampai mati!” Meskipun Athian mengeluarkan sumpah serapah, Lucas sama sekali tidak mencegahnya atau bersikap tenang. Letnan yang menjadi tangan kiri Orestes itu bahkan tengah mengepalkan tangannya dengan kuat sampai kuku jari melukai kulit. Walaupun amarah sudah memenuhi rongga dadanya, Lucas berusaha untuk menekannya agar tidak memperkeruh suasana. Lucas, “Tuan, Kota Canace memiliki tiga gudang penyimpanan. Namun, hanya mengandalkan dua gudang penyimpanan lainnya tidak akan cukup untuk menghidupi seluruh penduduk kota selama musim dingin.” “Lihatlah perbuatan kalian yang ceroboh! Akan ada banyak rakyat yang kelaparan akibat ketidakbecusan kalian!” Teriak Athian. “Maafkan kami, Letnan. Tapi, ketika kami sedang berjaga, ada sebuah panah api yang ditembakan ke gudang secara mendadak. Dalam beberapa detik saja, api langsung membesar dan menyebar ke seluruh gudang.” Pengawal lainnya turut menambahkan, “Itu sangat aneh, meskipun ada orang yang menembakan panah api, tidak mungkin api bisa menyebar dengan cepat seperti itu. Seolah – olah kami telah ditembak oleh meriam dibandingkan panah api kecil.” “Mungkinkah itu perbuatan penyihir?” “Tidak. Tidak. Bisa saja itu adalah bentuk murka tuhan kepada kita.” BRAK! Athian menendang ember kayu disampingnya sampai pecah, “Jangan berkata omong kosong! Beraninya kalian menyalahkan hal tak masuk akal seperti penyihir dan murka tuhan atas kecerobohan kalian ini.” Seluruh pengawal itu menatap Athian ketakutan dan langsung bersujud meminta pengampunan, “Ampuni kami, Letnan!” “Panah api? Tuan, bukankah itu berarti ada yang melakukan penyerangan kepada Canace?” Ujar Lucas terkejut. Orestes menghela nafas kasar, kemudian menatap para pengawalnya itu, “Cukup. Hal ini bisa diperdebatkan nanti. Sekarang, prioritaskan untuk memadamkan api agar tidak menyebar ke rumah penduduk.” “Tuan! Kita harus memenggal orang – orang ini sekarang atau mereka bisa kabur.” Kata Athian tidak terima. Namun, Orestes menatap Athian dengan tajam, “Apa aku harus mengatakan perintahku dua kali?” Athian tertunduk, “Tidak, Tuan.” Sedangkan Lucas hanya menghela nafas sekali, kemudian memerintah pengawal yang masih berlutut dihadapannya, “Seperti kata Jenderal, prioritaskan pemadaman api!” “Baik, Letnan!” Setelah mendengar perintah, para pengawal tersebut sontak berlarian untuk mengisi ember kayu dengan air. Api yang membakar gudang bukanlah hanya sebatas api kecil yang mudah untuk dipadamkan, mungkin akan membutuhkan waktu satu jam untuk memadamkan api sampai tuntas. Orestes memandangi penduduk kota yang melingkari gudang dan saling berbisik kepada orang disebelah mereka. Para penduduk itu nampak begitu khawatir karena merasa bila hidup mereka mungkin akan terancam ketika musim dingin turun. “Jika api tidak padam dalam waktu setengah jam, api juga akan membakar rumah kalian dalam waktu singkat. Karena itulah, daripada hanya menonton saja, lebih baik kalian ikut membantu.” Kata Orestes. Kalimatnya bukanlah kalimat perintah, bukan juga sebuah ancaman. Dia hanya berkata tanpa nada dengan harapan para penduduk itu tidak berkumpul didepan lokasi kebakaran hanya untuk menonton saja. Berkat ucapan Orestes, ada beberapa penduduk yang akhirnya memiliki inisiatif untuk membantu. Tapi, banyak juga yang melenggang pergi hanya karena berfikir bila tugas seperti itu harusnya dilakukan oleh pengawal atau prajurit saja. Helcia menatap kearah kobaran api dengan gusar. Sedari tadi, perasaannya sedang tidak begitu baik. Tidak melakukan apa – apa disaat mengetahui akan ada banyak orang yang meninggal nantinya, membuat Helcia merasa bersalah. Tapi, dia sendiri juga belum mempunyai solusi untuk mencegah penduduk kota kelaparan. Meminta bantuan kepada Istana tidak membuahkan hasil, meminta pertolongan dari wilayah lain pun juga pasti tidak akan ada gunanya. Akibat perang politik yang terjadi sepuluh tahun yang lalu, seluruh bangsawan menjadikan Obelix sebagai musuh. Perang politik itu tidak lain adalah perang untuk memperebutkan wilayah kekuasaan mereka. Dan keluarga Obelix mampu menekan bangsawan lain, hingga Kota Canace menjadi wilayah terluas di Socrates saat ini. “Obelix. Sepertinya kalian memang tengah dijatuhi kutukan dari bangsawan lain.” Ujar Helcia kepada dirinya sendiri. Matanya melirik ke arah menara jam yang membuatnya sadar bila dia sudah menghabiskan waktu setengah jam di Kota Canace, membuat Helcia sontak memegang keningnya yang mulai terasa sakit. Helcia harus memikirkan solusi sekarang atau tidak sama sekali. Dia tidak bisa mengandalkan keberuntungan untuk bertemu lagi dengan Orestes dilain waktu. Ketika musim dingin datang, Helcia biasanya akan menghabiskan waktu didalam rumah dan tidak diperbolehkan keluar sampai musim semi tiba. Seusai menghabiskan waktu beberapa menit dengan melamun, Helcia baru sadar bahwa kobaran api sudah mulai padam. Hanya tersisa sedikit percikan api yang tidak begitu terlihat. “Tuan, saya sudah mengecek bagian gudang yang belum terbakar parah. Tapi, sayangnya tidak ada sedikitpun gandum yang tersisa.” Lucas berlari kecil ke arah Orestes seraya memberikan laporan. Wajahnya yang selalu tenang kini nampak gusar. “Perintahkan prajurit kita untuk memperketat penjagaan di dua gudang tersisa. Jangan sampai kita kehilangan bahan pangan lebih banyak lagi.” Perintah Orestes. Lucas mengangguk kecil, “Kalau begitu, saya akan pergi memeriksa gudang di bagian barat Canace dan memberitahu Athian untuk pergi ke gudang sebelah timur.” Athian yang berdiri tidak begitu jauh dari mereka, tanpa sengaja mendengar pembicaraan Orestes dan Lucas, “Tuan Orestes, bukankah lebih baik kita menyelidiki dahulu siapa yang dengan berani membakar gudang. Bisa saja orang yang melempar anda dengan batu adalah orang yang membakar gudang.” Orestes mengalihkan pandangan ke arah gudang yang hangus terbakar, kemudian dia berkata, “Kalian pergilah, biarkan aku yang memeriksa tempat ini.” “Tuanku, anda baru saja kembali dari peperangan dengan Kerajaan Giorgia. Sebaiknya, anda segera beristirahat dan membiarkan kami mengurus segalanya disini.” Ujar Lucas khawatir. Pasalnya, Orestes merupakan orang yang berada di garis depan ketika terjadi pertempuran. Selama tiga bulan terakhir, pria itu belum tidur lelap dan lebih sering terjaga. Lucas hanya takut, bila tuannya akan jatuh sakit bila memaksakan diri. Namun, Orestes menjawab Lucas dengan gelengan kepala, “Jangan khawatirkan aku. Sebagai prajurit, kita tidak bisa beristirahat selagi rakyat sedang menderita.” Athian menepuk pundak Lucas sekali, “Sudahlah, Athian. Kau menasihatinya sampai mulut berbusa juga Tuan Orestes tidak akan mendengarkanmu. Sebaiknya kita segera pergi.” Perkataan Athian memang ada benarmya. Tuan mereka memang keras kepala, berdebat dengan Orestes hanya akan membuang waktu yang berharga. Lucas membuang nafas kecil, “Baiklah, Tuan. Saya dan Athian akan pergi.” “Mhm. Berhati – hatilah.” Kata Orestes. ••••• To Be Continued 3 Januari 2021
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN