Setengah berlari Zayn menuju kamarnya di lantai atas. Sejak percakapannya dengan Albert siang tadi, pria itu tak bisa fokus dengan pekerjaannya. Rasanya dia sudah tidak sabar untuk dapat segera berjumpa dengan Irene. Terlebih saat ada pekerjaan mendadak yang mengharuskan dia untuk tinggal di kantor lebih lama lagi, jadilah Zayn semakin uring-uringan.
Zayn berusaha menetralkan degup jantungnya yang berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, lalu setelah dirasa debaran di dadanya mulai berangsur membaik, Zayn pun segera memasuki kamarnya.
Sepi.
Tak ada sosok Irene di dalam sana.
Zayn beralih menuju balkon, barangkali saja Irene ada di sana, tapi hasilnya nihil. Zayn kembali mengayunkan kakinya, kali ini tujuannya adalah kamar mandi. Namun, lagi-lagi tempat itu juga kosong.
Pria itu lantas berpikir sejenak. Sewaktu ia masuk ke rumah tadi, Hera mengatakan kalau Irene ada di atas. Semua tempat sudah Zayn sisir, tapi tak juga ia temukan keberadaan istrinya.
"Ah, ya. Mungkin dia ada di ruang ganti," monolognya sambil berjalan menuju walk in closet begitu Zayn menyadari masih ada satu ruangan yang luput dari pencariannya.
Sementara di dalam, Irene tengah mencoba lingerie yang siang tadi ia beli.
"Baju macam apa ini, hanya orang gila saja yang memakainya," gumam Irene.
Gadis itu terus memutar tubuhnya di depan cermin.
"Sama sekali tidak pantas. Memakai baju tapi tidak bisa menutupi tubuh, sama saja bohong. Ck, hanya orang gila saja yang memakainya," lagi-lagi Irene terus merutuk.
'Jika kau mengatakan kalau dirimu gila, maka aku berani jamin kalau kau adalah wanita gila tercantik yang pernah aku temui di dunia ini,' Zayn membatin.
Sudah beberapa kali pria itu memanggil istrinya tapi Irene tak kunjung menyahut, jadilah dia membuka pintu yang ternyata kebetulan tidak dikunci.
Zayn sendiri begitu terkejut melihat Irene yang kala itu sedang memakai baju transparan berwarna hitam. Terlihat sangat seksi.
Yang dikatakan Irene memang ada benarnya, baju itu memang tidak mampu menutupi tubuhnya karena Zayn dapat melihat dengan jelas bentuk tubuh istrinya.
Irene pun memutuskan untuk melepas lingerienya, tapi sebelum itu dia sempat memutar tubuhnya sekali lagi dan ...
"Zayn! Sejak kapan kau di situ!" Irene merasa malu setengah mati saat ia mendapati suaminya sedang berdiri di ambang pintu sambil menatapnya penuh arti.
"Ak, aku baru saja sampai," ucap Zayn terbata.
"Cepat pergi! Aku mau ganti baju! Irene melempari Zayn dengan baju-baju yang ada di lemarinya.
"Iya aku pergi. Dasar cerewet."
"Apa katamu! Kau pasti sengaja mau mengintipku kan," tuduhnya.
"Ck, mana ada. Kau sendiri yang lupa menutup pintunya, dan kau juga tidak menyahut saat aku memanggilmu. Jadi jangan salahkan aku," tampik Zayn.
"Sudah cepat pergi!"
Begitu Zayn menutup pintu, dia pun bergegas masuk ke kamar mandi. Dia perlu mandi untuk menghentikan gejolak yang mulai menggerogotinya gara-gara kejadian tadi.
Di dalam, Irene terus menggerutu. Ini semua memang salahnya karena lupa mengunci pintu sebelum dia masuk tadi. Irene berpikir Zayn akan pulang malam seperti sebelum-sebelumnya, tapi ternyata tebakannya salah.
.
.
Gugusan bintang masih menghampar di langit yang menghitam, menemani angin malam yang berhembus semilir meniupkan surai panjang Irene. Gadis itu membiarkan kulit lengannya yang telanjang terus dicumbu hawa dingin yang mulai membuatnya terusik.
Selepas makan malam, Zayn kembali lagi harus berkutat dengan pekerjaannya. Pria yang tengah fokus menatap layar komputer lipatnya itu duduk di balkon dengan didampingi Irene.
"Zayn," panggilnya.
"Apa?" masih tak mengalihkan pandangannya dari layar persegi di depannya.
"Apa pekerjaanmu masih banyak?" tanya Irene hati-hati.
"Tinggal sedikit lagi. Kenapa memangnya?"
"Aku mau bicara sesuatu yang penting, tapi tunggu kamu selesai saja."
"Katakan saja! Aku masih bisa bekerja sambil mendengarkan ucapanmu," kata Zayn.
"Tidak! Nanti saja," tolak Irene.
"Serius?"
"Ya. Aku akan menunggumu selesai saja, takut menganggu konsentrasimu," ujar gadis itu.
"Baiklah."
Selang sepuluh menit kemudian.
Zayn melepas kacamatanya lalu beralih menatap istrinya.
"Kau bisa bicara sekarang," tutur pria itu lembut. Ya, meskipun raut wajahnya terlihat datar dan biasa-biasa saja. Namun, ada kehangatan tersendiri bagi Irene.
"Bisa tidak kau jangan menatapku seperti itu," pinta Irene.
"Seperti itu, bagaimana maksudmu?"
"Kau terlihat serius dan menakutkan."
"Benarkah? Apa aku terlihat seperti akan memakan orang?" tanya Zayn, menyelipkan sedikit candaan.
"Aku serius, Zayn!" protes gadis itu.
"Lalu, apa kau pikir aku sedang main-main?"
"Ah, sudahlah! Selalu seperti ini jika bicara denganmu. Kalau tidak menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi, ya sudah pasti jawabanmu hanya membuatku jengkel saja," gerutu Irene.
"Baiklah. Kita serius sekarang, kau mau bicara apa?"
Mendengar kata-kata Zayn yang mulai melunak pun membuat hati Irene luluh. Ia menatap lurus ke depan, membuat tatapan keduanya saling bertubrukan.
"Se ... sebelumnya aku mau minta maaf," cicit Irene.
"Untuk apa? Memangnya kesalahan apa yang telah kamu perbuat?"
"Siang tadi, Tiffany memintaku untuk menemaninya berbelanja dan aku ...,"
"Aku tahu. Kau sudah meminta izin padaku dengan mengirim pesan tadi siang," sambar Zayn.
"Aku belum selesai bicara!"
"Iya, iya ... maaf. Begitu saja marah," goda Zayn, "Lanjutkan!" imbuhnya.
"Hari ini aku menggunakan kartu kredit pemberianmu."
"Lalu," desak Zayn.
Padahal pria itu sudah mengetahui jawabannya, tapi dia memilih untuk diam dan menunggu Irene menjelaskan padanya.
"Kau jangan marah ya," bujuk Irene.
"Tidak. Aku tidak akan marah padamu."
"Janji," Irene menyodorkan jari kelingkingnya, membuat Zayn tertegun.
'Apa dia memintaku untuk berjanji kelingking seperti anak kecil?'
Tak sabar, Irene meraih jari kelingking Zayn lalu menautkan dengan jari kelingkingnya.
"Janji jangan marah ya," ulang Irene.
"Iya."
"Aku memakai uangmu sebanyak ini."
Irene menyodorkan beberapa lembar struk p********n yang dia dapatkan sepanjang waktu yang dia habiskan di salah satu pusat perbelanjaan.
"Tidak masalah," ujar Zayn.
"Kau bahkan belum melihatnya."
"Aku sudah tahu," jelas Zayn.
"Tahu apa?"
"Total pengeluaranmu hari ini."
"Apa! Kau tahu dari mana? Bagaimana kau bisa tahu."
Saking penasarannya, Irene sampai memajukan tubuhnya agar lebih dekat dengan Zayn.
"Itu soal mudah. Yang jelas aku tahu, jika kau menggunakan kartu itu, membelanjakannya untuk apa, aku akan tahu semuanya."
"Jadi kau juga tahu benda apa saja yang aku beli?"
Zayn mengangguk, "Salah satunya baju yang kau bilang biasa dipakai orang gila, dan parahnya kau tidak tahu kalau aku pun bisa dibuat gila gara-gara baju itu."
Zayn terkekeh melihat wajah istrinya yang merah padam. Menurut Irene, tadi itu adalah kejadian memalukan yang sangat ingin ia lupakan. Namun, Zayn malah kembali mengingatkannya.
"Zayn!" pekik Irene.
Kali ini, pecah sudah tawa Zayn. Ia mencubit gemas kedua pipi Irene.
"Jangan marah! Sekarang mana dasi yang kau beli untukku? Aku ingin melihatnya."
Tanpa banyak bicara, Irene menyodorkan sebuah kotak berukuran kecil yang sejak tadi ia sembunyikan.
Zayn menatap sehelai kain bercorak yang ada di hadapannya. Matanya jeli memeriksa setiap bagian kain tersebut tanpa melewatkan satu bagian pun.
"Bagaimana bisa kau mengetahui seleraku dengan baik?" tanya Zayn.
"Sungguh," sahutnya, kaget.
"Iya. Ini adalah dasi paling indah yang pernah aku lihat. Modelnya sederhana tapi elegan, warnanya juga bagus."
"Padahal aku hanya asal-asalan saja memilihnya tadi. Hatiku mengatakan kalau kau akan menyukainya dan untunglah kau memang benar-benar menyukainya. Jika tidak, mungkin kau akan memarahiku atau mungkin yang lebih parahnya memberikan hukuman padaku."
"Bagaimana bisa kau memiliki pemikiran seperti itu," Zayn mencebik.
"Siapa yang tahu." Irene menggendikan bahunya.
Zayn terkekeh. Dia kemudian mencubit hidung Irene, hal yang biasa Zayn lakukan ketika Irene membuatnya gemas.
"Sudah malam, sebaiknya kita tidur," bisik Zayn.
"Apa katamu!" Irene terperanjat, pikiran gadis itu mulai tak karuan. Mendengar Zayn berkata demikian membuat bulu kuduknya meremang.
"Hanya tidur, OK! Sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan." Zayn mengerling nakal, pria itu paham betul mengenai apa yang sedang hinggap di kepala Irene saat ini.
Irene mendesah lega. Keduanya pun berjalan beriringan, sampai tiba-tiba Zayn kembali mengucapkan kalimat yang membuat hatinya bergejolak hebat.
"Hanya untuk beberapa hari saja. Aku tidak janji setelah tamu tak diundangmu itu pergi," goda Zayn.
Irene menjerit dalam hati. Tak dapat ia bayangkan seperti apa raut wajahnya saat ini.
***
Fajar menyingsing di ufuk timur, hamparan langit yang menghitam telah berganti menjadi gumpalan awan putih yang bersiap menyambut kedatangan dewa langit ketika menaiki singgasananya.
Cahaya keemasan yang berpendar itu masih terasa cukup menghangatkan ketika berpadu dengan desau angin yang membawa titik-titik embun di pagi hari.
"Sudah jam enam, Zayn. Aku harus mengingatkanmu untuk segera bersiap pergi ke kantor karena kau selalu lupa waktu jika sudah berada di sini," ucap Irene begitu dirinya memasuki ruang olah raga.
"Hm, baiklah. Beri aku waktu sepuluh menit untuk mengeringkan keringat dulu."
"Ini jusmu! Pakaian kerja sudah aku siapkan, aku akan kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan."
"Sudah kukatakan untuk jangan terlalu lelah. Ada banyak pembantu di rumah ini, kenapa mesti turun tangan sendiri," tegur Zayn tak suka.
"Aku harus memastikan setiap makanan yang masuk ke dalam perutmu, Kakek dan juga Mommy. Sekarang akulah yang bertanggungjawab atas apa yang terjadi di rumah ini."
"Tapi bukan berarti kau harus mengerjakan tugas seorang pembantu!" tegas Zayn lagi.
"Ya baiklah, Tuan Zayn. Aku akan mendengarkan perintahmu. Aku tidak akan melakukan apapun selain hanya melihat mereka mengerjakan tugasnya saja, tidak masalah kan?"
Zayn mengangguk.
Keduanya pun kembali dengan kesibukannya masing-masing.
Irene yang tak pernah lelah belajar untuk menjadi istri yang baik, demikian pula Zayn yang berusaha menjalankan tugasnya sebagai seorang suami.
"Hati-hati di jalan," pesan Irene saat mengantar keberangkatan suaminya ke kantor.
"Ya. Kau juga jangan nakal! Jadilah istri yang baik selama aku pergi. Ingat kataku, jangan terlalu banyak mengerjakan tugas rumah."
"Ya."
Irene sebal jika setiap saat suaminya selalu mengingatkannya akan satu hal itu.
"Oh ya hampir lupa, mulai lusa kau sudah bisa masuk kelas merangkai bunga. Albert sudah mendaftarkanmu ke sana, kau tidak keberatan kan?"
"Aku malah senang, di rumah tidak melakukan apa-apa juga membuatku bosan," balas Irene dengan senyum yang selalu dia persembahkan untuk suaminya.
"Ya sudah, aku berangkat. Kau bisa pergi berbelanja lagi jika kau bosan di rumah."
"Kau menyindirku!" sinisnya, tak terima.
"Mana berani aku melakukannya. Sudahlah, kau selalu saja marah. Sepertinya aku selalu salah bicara jika denganmu."
"Kau sendiri yang mulai!" seru Irene.
"Aku sudah terlambat," pungkas Zayn.
Pria itu meraih kepala Irene dan mengecup keningnya sebelum akhirnya mobil yang ditumpangi pria itu bergerak menjauh.
Zayn segera memasuki ruang kerjanya begitu ia tiba di kantor dan seperti biasa, Albert sudah stand by di sana.
"Anda sudah datang, Tuan," sapa Albert.
"Seperti yang kau lihat. Duduklah! Kenapa berdiri terus?"
Albert pun mendaratkan bokongnya di kursi.
"Jam berapa pertemuan dengan Mr Yang dari Korea?"
Biasanya, Albert akan langsung membacakan susunan jadwal Zayn begitu pria itu menduduki kursi kebesarannya. Namun, kali ini agak berbeda. Albert cenderung menjadi pendiam. Walaupun pada dasarnya pria itu memang irit bicara, tapi kali ini terasa jauh berbeda.
"Kenapa diam? Ada masalah?" Zayn yang baru saja selesai menyampirkan jasnya di tempat khusus, pun beralih menatap Albert.
"Kekacauan terjadi, Tuan," kata Albert setelah lama membisu.
"Masalahnya?"
Albert menyodorkan tumpukan koran harian pagi ini, membuat kedua alis Zayn saling bertaut.
Penasaran, Zayn pun mulai membaca sepintas koran-koran tersebut. Pria itu nampak sangat terkejut mendapati potret dirinya terpampang jelas di halaman utama. Bukan hanya pada satu jenis koran saja, melainkan dapat ia jumpai di semua lembar depan koran yang terbit pagi ini.
Zayn mendengus kesal. Ia meremas koran terakhir yang dilihatnya. Matanya merah dengan rahang yang mengetat menahan amarah.
'Ada yang tidak beres,' batinnya.
Bersambung ....