MPB ~ 04

1684 Kata
Udah panasnya ampun~ampun, masih pula dijemur di lapangan. Amel ngedumel dalam hatinya. Tampilannya pasti jelek banget.. udah kucel, kusut, lengket, ditambahi wajah masam yang dipasangnya. Pasti gak ada yang tertarik meliriknya! Namun gadis itu tak sadar, dia sedang jadi bahan perbincangan para seniornya. "Gemas deh ngelihat cewek itu. Kok ada sih makhluk seimut dia?! Dia seperti boneka bayi yang menggemaskan. Kalau dengan dandanan MOS begini yang lain kelihatan konyol, dia malah terlihat sangat cute," kata Bradly, si playboy tobat. Tapi tobatnya paling lama juga sejam doang, abis itu kambuh lagi. Atau mungkin tobatnya pas bobok doang. Ucapan wakil OSIS-nya membuat Vino memperhatikan si Amel yang sedang duduk berkipas~kipas di lapangan. Dandanan para siswa baru ini emang konyol, yang cewek disuruh kuncrit dengan jumlah sesuai tanggal lahirnya. Terus memakai baju junpsuit dengan kaus putih didalamnya, di leher mereka tergantung empeng bayi. Amel lahir tanggal 27, jadi dia kelihatan sangat lucu dengan kuncir rambut kecil~kecil sebanyak itu di kepalanya. Belum lagi Amel itu baby face, dengan pipi chubby-nya yang selalu mengundang orang untuk mencubit atau menciumnya. Tampilannya persis seperti boneka lucu yang menggemaskan. "Pengin peluk," ucap Bradley sambil meremas tangannya. Vino melirik tak suka. Meski Amel suka ngerjain dia, tapi dia juga tak rela Amel menjadi mainan playboy tobat sejam ini! "Bradley, coba kamu dekati Dedy. Sepertinya dia butuh bala bantuan," perintah Vino sambil menunjuk Dedy yang sedang membagikan selebaran formulir. "Oke Vin, sekalian gue mau cari kesempatan berkenalan sama si imut Amel." Vino mendengus dingin menanggapinya. Sementara itu Amel asik mengipas~ngipas ketiaknya. Peluh mulai membanjiri wajahnya. Dia emang rentan terhadap sinar matahari. Amel melirik Idah yang terus menatap ke satu tempat. "Idah, kamu ngelihat apaan sih?" tanya Amel kepo. "Kak Vino, dia tampan banget ya," puji Idah malu~malu. "Kakaknya lebih ganteng tauk!" cibir Amel spontan. "Kak Vano kan? Dia juga ganteng, tapi kak Vino lebih menarik. Dia dingin dan berkharisma, Mel!" "Eitz! Kamu sepertinya tahu banyak tentang keluarga mereka. Emang kenal?" "Aku stalker sosmed kak Vino. Tapi cowok itu hampir gak pernah update status. Fotonya juga gak ada. Jadi, aku ikutan stalker sosmed kak Vano. Justru dari sana aku mendapat lumayan banyak info tentang kak Vino." Jadi cewek ini stalker-nya si kulkas. Apa sih menariknya si kulkas lempeng? Membosankan begitu! "Amel, kak Vino ngelihat kesini!" pekik Idah senang. Yaelah, baru juga dilihatin. "Idah, baru dilihatin aja kamu udah histeris. Aku biasa aja tuh sama dia, malah kami udah sering bobok bareng." Idah membelalakkan matanya. "Serius? Kamu gak ngibul?" "Buat apa aku bohong? Dia itu pengantinku sejak kecil," ucap Amel sambil tertawa geli. Dia teringat akan foto pernikahan pura-puranya yang konyol. Vino dengan daster kedodoran dan kuncir tiganya. Hahaha.. lucu banget! "Hah? Kalian sejak kecil udah dinikahkan? Kalian dijodohkan? Siapa yang menjodohkan?" tanya Idah shock. "Kak Vano yang atur pernikahannya," jawab Amel polos. "Kamu sendiri mau dijodohin begitu saja?" "Emang kenapa gak mau? Seru lagi! Lucu, si kulkas.. eh, Vino itu lucu banget wajahnya saat kejadian itu." Amel tertawa terbahak~bahak. Dia tak sadar percakapan ambigu-nya sudah didengar juga oleh Bradley dan beberapa anggota OSIS lainnya. Bradley memaki dalam hati. s**t! Baru saja dia pengin modusin cewek imut itu udah diduluin oleh Vino. Sudah begitu Vino acuh saja, seakan tak mengakui affairnya dengan si cewek menggemaskan ini. Bradley semakin kesal saat tahu Si Vino melambaikan tangannya, bagaikan tuan besar memanggil budaknya, pada si Amel. "Kenapa sih panggil~panggil?" gerutu Amel begitu tiba di hadapan Vino. Dia terus berkipas~ngipas. Pipi chubby-nya nampak menggemaskan dengan semburat warna merah karena kepanasan. Pantas semua teman cowoknya membicarakan tentang Amel. Bayi besar ini berpotensi membuat orang gemas ingin memeluknya, mencubit, dan mencium pipi gadis itu. "Panas, hah?" pancing Vino. "Udah tahu nanya, iyalah panas!" sewot Amel. "Terus kalau panas, mau apa?" "Berendam air dingin, tapi gak mungkin kan disini. Masuk kulkas.. gak mungkin juga kan disini. Yang bisa ya cuma kipas~kipas." "Ya sudah, laksanakan," perintah Vino. "Hah? Apaan sih? Gak ngerti!" "Kipasin aku, masih gak paham?" ucap Vino mencemooh. Amel mendecih kesal, "enak aja! Kipas sendiri dong. Emang aku ini budakmu?" "Ya sudah, sini kipasmu!" Vino menarik kipas yang dipegang Amel, tentu saja gadis itu gak mau melepasnya begitu saja. Mereka jadi adu otot berebut kipas. Alhasil, Vino yang menang. Ia menarik kipas itu sekuat tenaga hingga Amel yang tak rela melepas kipasnya ikut tertarik kearah Vino. Gadis berpipi tembam itu terjerembab jatuh di pangkuan Vino yang sedang duduk di bangku beton, di bawah pohon. "Ih kamu! Dasar tukang rebut!" omel Amel kesal. "Salahmu pelit!" olok Vino. Amel membalas olokan Vino dengan memasukkan empeng bayi yang tergantung di lehernya kedalam mulut Vino. Empeng bayi milik Amel langsung menancap sempurna di mulut Vino! Amel tergelak menyaksikan pemandangan kocak itu, sedang Vino? Jangan ditanya, mukanya berubah masammm.. Mereka memang sudah terbiasa berulah semacam itu jika berada di rumah, tapi mereka lupa kalau mereka sedang ada di sekolah! Semua mata menatap takjub pemandangan aneh itu. Vino, si pangeran es sedang memangku cewek dan sepertinya asik bercanda mesra dengan cewek itu. Ckckck.. sontak semua orang jadi penasaran dibuatnya. Terutama Bradley. Ia langsung mendekat dan menegur pasangan tak tahu diri itu, menurut pandangannya menggunakan kacamata dengan title ‘jeaolus’. "Woi ingat, ini sekolah. Kalau m***m di rumah aja!" Amel baru tersadar kalau dia berada di pangkuan Vino, ia meloncat hendak berdiri. Namun ia lupa empeng yang tergantung di lehernya lagi menancap di mulut Vino. Sekali lagi tubuhnya jatuh menimpa tubuh Vino, gawatnya kali ini bibirnya terbentur keras ke bibir Vino yang baru melepas empeng di mulutnya tadi. Sentuhan di bibir mereka tak terelakkan lagi! Vino dan Amel sama~sama terbelalak, sama~sama terpaku hingga tak ada yang berinisiatif melepas kontak bibir diantara mereka. Selama ini memang mereka akrab. Sentuhan fisik juga sudah biasa, tapi kalau kontak bibir baru kali ini. Tentu saja pengalaman pertama ini membuat mereka shock. "Vino! Apa yang elo lakukan?!" teriak Bradley gusar. Amel segera tersadar, ia menjauhkan wajahnya dari wajah Vino dan berteriak manja, "kamu mencuri ciuman pertamaku, Vino! Ayo balikin ciumanku! Gak rela! Gak rela!" Ia memukul-mukul d**a Vino dalam kondisi masih di pangkuan Vino. Tentu saja itu terlihat sangat intim bagi yang melihatnya. Salah satu siswi anggota OSIS akhirnya menegur saking gerahnya. "Gue tahu kalian udah tunangan. Kalau di rumah sih terserah elo berdua mau bertingkah seperti apa. Tapi please, ini di sekolah. Tolong jaga kelakuan kalian berdua!" tegur Renny tegas. Spontan Amel dan Vino menatap cewek itu bingung. "Tunangan??" *** Vania mengamati Vano yang sedang bersandar ke pilar teras belakang kantor. Gayanya slengean, tengil, namun entah mengapa terlihat menarik sekali. Seksi dan maskulin sekaligus. Vania berdebar melihatnya. Shit, Vania. Dia itu brondong! Brondong yang mendapatkan virgin-nya dan ia juga yang merebut perjaka tuh bocah. Vania menggeram dan mengacak rambutnya kesal. Vano mendengar suara itu, ia lalu menghampiri Vania sambil tersenyum penuh arti. "Yaelah, ngapain pakai ngintip segala sih, Yang? Lihat langsung saja, napa." "Gue gak ngintip, tauk! Terus jangan panggil gue ‘Yang’. Lo masih bocah, gue itu jauh lebih tua dibanding elo. Tolong kalau manggil yang pantas saja. Juga, gue boss lo!" omel Vania. "Idih Yang, lo lagi PMS? Sensi amat sih. Dengar ya.. pertama, gue bukan bocah lagi sejak lo ngerebut perjaka gue. Kedua umur gak nentuin kedewasaan seseorang. Ketiga, lo sudah dengar di rekaman gue kan.. sebelum gue menyetujui permintaan lo untuk menyentuh lo, gue udah tegasin.. lo itu milik gue. Ingat kan?" Vania mati kutu dibuatnya! Bocah ini sinting. "Gila lo!" maki Vania sebal. "Iya, gue memang gila. Tapi cuma ke elo, Yang. Bukan pada cewek lain. Lo mesti mensyukuri itu." Vania mendengus kasar. Yang waras mengalah, pikirnya dalam hati. "Lo ngapain disini? Ini bukan weekend." "Gue kesini bukan kerja. Gue mau jemput cewek gue." Vano mengerling penuh arti. "Siapa dia? Disini tinggal gue yang ngelembur sampai malam." "Masih nanya! Cewek gue ya elo lah," kekeh Vano seraya menowel hidung mancung Vania. "Enak saja main ngaku~ngaku jadi cowok gue, Bocah!" dengus Vania. "Lho kan ada buktinya, mau dengar hasil rekaman gue?" timpal Vano tenang. Arghhhh! Vania jadi frustasi. Khilafnya dia cuma sekali, tapi buntutnya panjang dan berulah mulu! "Gue bisa pulang sendiri," tukas Vania dingin. "Bisa, tapi gak boleh." "Apa hak lo ngelarang gue?" sentak Vania kesal. "Gue itu.. cowok elo. Kurang jelas?!" "Jelas banget, dan salah! Kalau lo pengin punya pacar, cari dong di sekolah lo. Jangan ngerecokin gue mulu!" sarkas Vania. "Mereka masih kalah seksi sama elo, Tan," sahut Vano kurang ajar. "Jangan panggil gue ‘Tan’. Emang gue seTAN?" "Kalau begitu jangan panggil gue ‘bocah’. Gue kan udah gak perjaka lagi!" Vania menggeram, dia gemas segemas-gemasnya menghadapi makhluk d***o satu ini. "Tan, pulang yuk. Kita makan dulu. Gue laper," ajak Vano tiba~tiba. "Kerjaan gue belum kelar. Lo pergi aja sendiri. Siapa yang nyuruh lo kemari?!" ketus Vania. Tanpa berkata apapun, Vano menghampiri ruangan Vania. Ia membereskan meja kerja Vania. "Eh, mau apa lo?!" sentak Vania galak. "Bantu lo beres~beres. Yuk udah, kita balik." Vano mengambil tas tangan Vania dan menyeret cewek itu meninggalkan kantor. Vania berusaha berontak, namun tenaga Vano terlalu kuat. Ia hanya bisa pasrah saat Vano memasukkannya ke mobil sport Porsche cowok itu. "Mobil lo mewah. Dibeliin sama tante girang yang miara elo kan?" sindir Vania. "Udah dua kali lo ngomong kayak gini. Sekali lagi lo ngomong hal ini, gue cium lo!" ancam Vano sambil menstarter mobilnya. "Pasti iyalah, gak usah menyangkal! Mana sanggup lo beli sendiri. Kok mau sih tante girang itu beliin lo mobil semewah ini tanpa imbalan apa.." Citttt.. Vano mengerem mobilnya mendadak. Dan ia menerjang Vania dengan ciuman kasarnya. Vania gelagapan dibuatnya. Bocah ini bahkan tak memberi kesempatan ia menarik napas. Setelah Vania terenggah-enggah barulah Vano melepas ciumannya. Bibir Vania selalu berasa manis, seperti candu yang memikatnya. Vano mengelus bibir Vania yang bengkak karena ulahnya. Sesaat Vania terbuai dalam suasana aneh ini, namun begitu melihat Vano mulai bergerak hendak menciumnya, Vania menampar Vano keras. PLAKK!! Vano tersenyum menantang meski bibirnya sobek sedikit karena tamparan gadisnya. "Lo udah nampar gue sekali, itu sama artinya lo hutang gue ciuman sepuluh kali!" Spontan tangan Vania bergerak akan menampar cowok didepannya lagi, kali ini dengan sigap Vano menangkap tangannya. "Nyaris aja lo hutang duapuluh kali ciuman pada gue," kata Vano dengan suara beratnya. Arggghhh!! Vania sungguh frustasi menghadapi bocah tengil satu ini! Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN