4. Bos Tak Tersentuh

1028 Kata
Selesai melakukan tanda tangan kontrak, Fairel memutuskan untuk kembali lebih cepat. Karena dirinya masih memiliki banyak pekerjaan lain. Membuat Daiyan hanya bisa menurutinya saja. Sebab, lelaki itu juga mengetahui bahwa beberapa hari belakangan ini Fairel memiliki pekerjaan yang jauh lebih besar daripada biasanya membuat lelaki itu harus lembur dan melupakan banyak kegiatan malamnya. “Pak, sehabis ini ada acara makan siang di Hotel Nusantara untuk melakukan pengembangan properti di perumahan pinggiran Kota Samarinda,” ucap Parveen menatap sejumlah agenda yang sudah tersusun rapi di ipad milik perusahaan. Tentu saja ia baru mendapatkan benda tersebut ketika mengurus banyak berkas di bagian personalia dan HRD. “Batalkan. Siang ini saya tidak akan pergi ke mana pun,” balas Fairel dengan begitu santainya membuat Parveen menatap tidak percaya. “Pak, tapi ini perjanjian dari minggu lalu. Kalau dibatalkan begitu saja, sepertinya akan terlihat kurang sopan,” sanggah Parveen menghadang langkah lelaki tampan yang kini tampak mengernyitkan keningnya begitu dalam. “Sekretaris Parveen, sepertinya kamu harus banyak belajar dalam melihat situasi,” sindir Fairel melewati gadis cantik yang ada di hadapannya tanpa beban. Tentu saja hal tersebut membuat Parveen semakin menatap tidak percaya. Apalagi ini pertama kalinya ia bekerja pada bos yang begitu semena-mena terhadap orang lain. Namun, ia sudah tidak memiliki kekuatan lagi, selain menuruti permintaan Fairel. Akhirnya, demi kesejahteraan berada di kantor, Parveen pun menuruti permintaa sang bos. Ia langsung menghubungi perusahaan yang bersangkutan untuk mengundurkan kembali agenda acara mereka. Meskipun mendapat balasan kurang mengenakkan sekaligus begitu menyindir, Parveen harus tetap menenangkan para kolega tersebut agar mereka tidak membatalkan kerja sama begitu saja. Sebab, kalau mereka membatalkan, maka tamatlah riwayat hidup Parveen di tangan bosnya sendiri. Kemudian, mobil mewah yang dikemudikan oleh Parveen itu pun keluar dari pekarangan kantor besar bergerak di berbagai bidang bisnis. Meskipun perusahaan aslinya adalah perusahaan batu bara, tetapi mampu menguasai kerajaan bisnis sampai apa pun tersedia. Ketiganya memang saling membantu membuat bisnis begitu berkembang hingga ke plosok belahan dunia yang jarang sekali dihuni oleh siapa pun, tetapi mampu menyesuaikan diri terhadap pasar dan ruang lingkupnya. Sesampainya di basement, Fairel keluar begitu saja dan melenggang masuk ke arah lobi untuk melihat kinerja bawahannya yang jarang sekali terekspose. Akan tetapi, hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah. Sedangkan Parveen langsung menjalankan mobil milik bosnya kembali memasuki parkiran bawah tanah yang hanya dihuni beberapa bagian eksekutif perusahaan. Membuat gadis itu bisa menemukannya dengan mudah, sebab sudah tergantung papan nama yang lengkap dengan nomor polisi pada bagian plat. “Parveen, kamu sekretaris barunya Pak Fairel, ‘kan?” celetuk salah satu wanita membawa cup cukup besar di tangannya. “Iya, ada apa?” tanya Parveen tersenyum ramah, lalu mengkode pada wanita cantik di sampingnya untuk berjalan. Sebab, ia masih harus bekerja membuat dirinya tidak bisa meninggalkan tanggung jawabnya. “Tolong antarkan berkas ini, ya,” pinta seorang wanita asing bertubuh tinggi dengan kaki jenjang mulus tak berbulu. Parveen menerima beberapa map tersebut dengan sopan, lalu mengangguk. “Baik, Kak. Terima kasih.” “Panggil gue Shanika. Kita seumuran kok, tapi memang gue masuk lebih lama di sini.” “Baik, Shanika.” Setelah itu, Parveen dan seorang karyawan ramah bernama Shanika itu pun melenggang pergi ke arah yang berlainan. Tentu saja mereka berdua memiliki tujuan yang berbeda, sehingga tidak mungkin melangkah bersamaan. Langkah kaki Parveen yang dibaluti high heels tidak terlalu tinggi itu pun tampak dengan pelan menaiki tangga satu per satu menuju lantai di atasnya. Tentu saja di kantor ini menggunakan elevator hanya untuk berurusan dengan para petinggi perusahaan. Sesampainya di sebuah ruangan tertutup rapat, Parveen menyempatkan diri mengetuk pintu tersebut dengan pelan, lalu membukanya secara hati-hati. Kemudian, ia melihat seorang lelaki tengah berdiri menghadap jendela besar yang menampilkan sisi Kota Jakarta begitu luar nan padat. “Permisi, Pak, saya ingin memberikan berkas yang tadi dititipkan oleh Shanika dari Tim Marketing,” ucap Parveen meletakkan benda tersebut di atas meja dekat dengan beberapa berkas lainnya yang terbuka, tetapi sama sekali belum ditanda tangani. Hal tersebut sedikit mengusik Parveen yang ingin membantu lelaki itu. “Taruh saja di sana, dan jangan lupa tutup pintu. Oh ya, satu lagi, jika nanti kamu ke kantin makan siang. Tolong bawakan saya juga,” balas Fairel tanpa membalikkan tubuhnya sama sekali. “Baik, Pak. Tapi, apakah boleh saya membawa berkas ini untuk disortir ulang? Sepertinya Pak Fairel cukup kewalahan selama beberapa hari mengerjakan semua berkas sendirian.” Parveen meringis pelan dan berharap bahwa bosnya bisa menyetujui usulan tersebut. Mendengar perkataan sekretaris barunya yang terasa sangat pengertian membuat Fairel membalikkan tubuhnya, lalu mengernyit dalam menatap wajah Parveen yang ternyata menunduk ke bawah. Seakan gadis itu tidak berani menatap dirinya yang sejak tadi membalikkan tubuh. Fairel melangkah mendekat, lalu mendudukkan diri di kursi kebesarannya membuat Parveen melirik sesaat ketika tanpa sengaja melihat tangan kekar yang terhiasi arloji mahal menyusun sesuatu. “Baiklah. Tolong kamu tinjau ulang dan berikan saya keputusannya melalui email. Karena saya tidak akan lembur malam ini,” titah Fairel memberikan setumpuk berkas lumayan banyak di tangannya. Parveen mengangguk mantap dan menerima pemberian berkas tersebut. Tanpa tangan mereka berdua saling bersentuhan membuat sengatan listrik terasa menyetrum begitu saja. Spontan Parveen dan Fairel melepaskan satu sama lain, tetapi sikap salah tingkah masih terlihat jelas dari wajah gadis cantik yang baru beberapa jam masuk kerja. “Kalau begitu, saya undur diri dulu, Pak,” pamit Parveen kikuk dan terburu-buru keluar dari ruangan. Sedangkan Fairel hanya terdiam tak bersuara, seakan lelaki itu tidak mendengar apa pun dari gadis yang ada di hadapannya. Namun, ketika Fairel mendengar suara pintu tertutup, lelaki itu pun menggeleng keras mengusir suara gadis yang mulai mengisi otaknya. “Astaga, Rel, lo udah berkata ‘tolong’ hari ini dua kali hanya karena Parveen? Sebelumnya, lo enggak pernah seperti ini! Ayo, sadar! Jangan pernah melupakan bahwa lo itu sebagai bos yang galak dan tidak tersentuh,” keluh Fairel pada dirinya sendiri sembari memijat pangkal hidung lelah. Kemudian, lelaki itu menatap ponselnya yang berada di atas meja. Ia mengembuskan napasnya panjang. Ternyata masih ada beberapa menit lagi, sebelum Parveen datang membawa pesanan. Namun, sebelum itu, Fairel menyempatkan diri mengetikkan sesuatu di ponselnya untuk mengirimkan pada seseorang. Sampai senyum miring terbit di wajah tampan lelaki yang begitu mapan. Bahkan sudah menjadi dambaan bagi semua orang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN