Sepuluh

1179 Kata
"Lo??! Ngapain di rumah gue?" "A-aku... " "Jangan galak-galak sama anak gadis orang, Kak!" sahut Andin menimpali. Dia sudah berdiri di samping Pelangi. "Aku yang minta Kak Pelangi main ke sini. Emangnya salah?" "Bukannya gitu, Dek. Kamu bisa aja main sa teman sekolah kamu. Kenapa harus ngajak dia ke sini?" "Kakak kenapa sih, aneh banget. Terserah aku dong mau main sama siapa." Pelangi memegang lengan Andin dan menggelengkan kepalanya. Pertanda dia tidak ingin kedua kakak beradik itu adu mulut hanya karenanya. Pelangi beralih menatap Jerry. "Sorry, Kak, kalau kedatangan aku di sini membuat Kak Jerry risih. Ini aku udah mau pulang kok. Tadi aku ke sini karena bengkelnya nggak jauh dari sini. Jadi sekalian mampir, pengen ketemu Tante Lidya dan Andin." "Ya udah. Sana buruan pulang!" Jerry melangkah masuk menuju kamarnya. "Iya, Kak." Andin menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan sikap ketus kakaknya. "Maafin Kak Jerry, ya, Kak. Dia emang suka begitu," ujar Andin merasa tidak enak dengan sikap kakaknya terhadap Pelangi. "Iya, nggak apa-apa, kok. Gue pulang dulu, ya!" "Loh... Pelangi mau ke mana? Pulang?" ujar Lidya yang baru saja datang dari arah warung. Dia baru saja menutup warungnya. Warung milik Lidya hanya buka dari pukul 08.00 pagi sampai sebelum maghrib saja. Jerry tidak mengizinkan mamanya membuka warung hingga malam hari. "Iya, Tante. Aku mau pulang. Rencananya dari tadi, tapi aku malah ketiduran." Lidya meraih tangan Pelangi. "Udah mau maghrib, nggak bagus maghrib di jalan. Yuk masuk lagi! Kamu makan malam dulu di sini, baru habis itu pulang." "Tapi, Tan... " "Nggak ada tapi-tapian. Jangan khawatir sama Jerry. Nanti Tante bilang kalau Tante yang minta kamu untuk enggak pulang dulu," ujar Lidya yang paham akan apa yang dipikirkan oleh Pelangi. Pelangi hanya pasrah ketika tangannya ditarik oleh Lidya masuk ke dalam rumah kembali. Andin tersenyum senang melihatnya. Dia penasaran bagaimana reaksi kakaknya saat tahu Pelangi belum pulang. Selesai mandi, langkah kaki Jerry terhenti mendengar canda tawa dari kamar Andin. Ah, masa dia masih di sini? Bukannya tadi udah mau pulang? Jerry mendekati kamar adiknya itu, lalu membuka pintunya. Andin dan Pelangi sontak berhenti tertawa ketika melihat Jerry bersidekap d**a di depan kamar. "Betah amat lo di sini. Kenapa nggak jadi pulang, hah?!" tanyanya ketus. "Jerry! Nggak boleh kayak gitu ngomong sama Pelangi." Lidya menyahut dari arah dapur—berjalan ke arahnya. "Mama yang nahan dia untuk pulang nanti aja." Jerry berdecak. Lidya dan Andin sama saja. Dua perempuan kesayangan itu tampak menyukai Pelangi. "Andin, ajak Pelanginya makan dulu. Baru habis itu pulang." Jerry hendak protes, namun Lidya kembali melanjutkan ucapannya. "Pelangi 'kan anak kost. Dari pada cari makan lagi nanti, mending sekarang makan malam bareng aja sama kita." "Yuk Nak, kita makan sama-sama," ucap Lidya pada Jerry. "Aku belum laper, Ma. Kalian duluan aja." "Makan sekarang, Jerry!" titah Lidya. "Karena habis ini, Mama minta kamu anterin Pelangi pulang. Baliknya, kamu bisa naik ojek online." Jerry membulatkan matanya. Mamanya ini bisa-bisanya menyuruh dia mengantarkan Pelangi pulang. Sungguh merepotkan sekali. "Nggak usah, Tan. Aku udah biasa kok, kadang bawa mobil malam-malam sendirian." "Tuh... Mama denger sendiri, 'kan? Dia udah gede, bisa pulang sendiri." Jerry menatap Pelangi sorot mata tajam. "Pokoknya kamu harus anter. Mama nggak mau tahu. Ayo... sekarang pada makan dulu!" Pelangi meringis. Dia tahu Jerry sangat keberatan mengantarnya pulang. Dan Pelangi juga tahu... kalau Jerry anti berurusan dengan perempuan. Tapi kenapa? *** "Sini kunci mobil lo!" "Nggak usah kalau Kak Jerry nggak mau anter. Aku bisa pulang sendiri, kok." Mereka berdua sudah berada di dekat mobil Pelangi. Walau pun terpaksa, Jerry tidak bise membantah permintaan mamanya. "Siniin... cepetan!" Jerry menengadahkan tangannya. Pelangi pun memberikan kunci mobilnya. "Kost-an lo di mana?" "Jalan Ciheulang Baru." Jerry tak heran sekelas Pelangi kos di tempat mewah itu—mengingat orang tua dari Pelangi dan Satria adalah orang berada. Apalagi Pelangi anak bungsu, pasti apa saja keinginannya bisa diturutin oleh orang tuanya. Kedua kakak dari Pelangi sudah bekerja juga. "Gue langsung balik," ujar Jerry ketika sudah tiba di depan kos-an Pelangi. "Iya. Terima kasih, Kak, udah mau anterin aku." "Hmmm." Pelangi menatap punggung Jerry yang mulai menjauh. Saat Pelangi ingin masuk memarkirkan mobilnya, mobil milik Mario berhenti tepat di belakang mobilnya. Mario langsung keluar dari dalam mobil. "Kamu dari mana malam-malam gini?" "Itu... aku habis dari rumah ibu-ibu yang waktu itu aku tolongin di pasar modern. Kamu ingat, 'kan? Aku pernah cerita sama kamu." Pelangi memang bercerita pada Mario mengenai Lidya, tapi tidak menceritakan semuanya. Minus Lidya yang tak lain adalah mama dari Jerry. Bukannya apa-apa, Mario itu tipe orang cemburuan. Bahkan dia beberapa kali berpesan kepada Meisya agar bilang padanya jika Pelangi digoda lelaki lain. Karena Pelangi sendiri tidak akan cerita jika ada yang mendekatinya. Dia anggap semuanya tidak penting. Mario adalah segalanya bagi Pelangi saat ini. Pelangi ingat sekali tujuannya kuliah di salah satu universitas negri yang termasuk 10 besar di Indonesia ini, salah satu alasannya biar bisa terus dekat dengan sang kekasih. Mario berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Kamu kenapa nggak telpon aku tadi? Aku bisa anterin kamu." "Aku nggak mau nyusahin kamu terus. Apalagi kamu pasti capek 'kan dari Bekasi?" Mario memang tadi siang mengabarkan kalau sudah balik dari Bekasi. Dia ingin menjemput Pelangi, namun gadis itu menolaknya karena dia tidak ingin menyusahkan Mario kali ini. Pelangi pun tidak cerita jika mobilnya tadi pagi mogok dan dibawa ke bengkel. "Iya juga, sih. Tapi demi kamu, secapek apapun pasti aku mau anterin." "Ck... bisa aja kantong kresek!" Pelangi kadang memang suka asal ceplos jika bersama orang terdekatnya. Mario terkekeh. "Benerin, Yang! Ke ujung dunia pun, aku bakal anter kamu. Asal kamu seneng." Pelangi tidak tersipu, sudah biasa mendengar gombalan receh Mario. *** Hari Sabtu, Pelangi masuk kuliah dikarenakan waktu hari Rabu ada dosennya yang berhalangan masuk, dan menggantinya dengan hari ini. Setelah jam kuliah berakhir, Pelangi menuju kantin sambil menunggu Mario menjemput. Namun, di perjalanan menuju kantin, dia melihat Jerry yang tengah bermain basket di lapangan. Pelangi mengurungkan niatnya ke kantin, dia memilih untuk duduk di bangku kayu panjang—di bawah pohon, yang letaknya tidak jauh dari lapangan. Mata Pelangi tidak berkedip melihat gerak-gerik Jerry saat men-dribble hingga melempar bola hingga masuk. "Keren!" gumam Pelangi. Terlalu asik mengamati Jerry, Pelangi tidak sadar kalau Mario sudah berada di dekatnya. "Sayang... " "Eh... kamu kapan nyampenya? Kok, nggak ngabarin?" "Udah dari tadi. Aku cariin kamu di kantin nggak ada, tahunya malah di sini. Ngapain di sini? Bilangnya nungguin di kantin." Pelangi menyengir dengan wajah tanpa dosanya. "Sorry, lupa ngabarin lagi. Aku nggak jadi ke kantin. Males sendirian, Meisya nggak bisa nungguin. Ya udah aku tunggu di sini aja, ngadem di bawah pohon." "Terus kenapa telpon aku nggak diangkat?" "Kamu nelpon, ya?" Pelangi buru-buru mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. "HPnya di-silent tadi. Maaf, ya!" Padahal ponsel Pelangi sudah dia aktifkan lagi nada deringnya usai jam kuliah. Dia hanya tidak mendengar ponselnya berbunyi. Mungkin terlalu fokus pada Jerry? Pelangi menggelengkan kepalanya. Akhir-akhir tidak tahu kenapa, dia sering kepikiran tentang Jerry. "Kamu kenapa geleng-geleng kepala?" tanya Mario heran. "Eng... nggak kenapa-napa. Yuk balik!" Mario merangkul Pelangi ke arah parkiran. Saat melewati lapangan baruan, ada seseorang yang melihat mereka berdua dengan pandangan yang sulit diartikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN