Lima

1181 Kata
Jum'at sore ini Pelangi pulang ke Jakarta. Dia meminta Mario mengantarkannya ke rumah kakaknya, Satria. Sudah tidak sabar rasanya ingin bertanya pada kakaknya itu. Sejak Satria menikah, Pelangi memang sering menginap di tempat kakak yang paling dekat dengannya tersebut. Mulai dari Satria tinggal di apartemen, sampai beberapa bulan belakangan pindah ke rumah yang baru dibeli lalu direnovasi kakaknya. Pelangi juga dekat dengan kakak iparnya, Shasa. Makanya dia sering menghabiskan waktu di rumah Satria dibandingkan di rumah orang tuanya sendiri. Alasannya karena di rumah sepi, jarang ada teman ngobrol karena Anggun—mamanya yang wanita sosialita jarang berada di rumah. Sedangkan dengan kakak tertuanya yang bernama Guntur, dia tidak begitu dekat. "Yuhuuuu... Pelangi is coming!" seru Pelangi saat tiba di rumah Satria. Mario hanya mengantarnya sampai depan pagar rumah, Pelangi tidak menawarkannya untuk mampir kali ini. Kasihan sekali nasib Mario, sudah menyetir jauh dari Bandung ke Jakarta, namun tidak disuruh singgah. Paling tidak diberikan minuman, Pelangi malah menyuruh Mario segera pergi biar cepat sampai di rumah lelaki itu. Kata Pelangi, "Buru sana cepetan pulang, Mamamu udah rindu berat!" Baru Mario hendak menjawab, Pelangi keburu turun dari mobilnya, dan melenggang memasuki pagar rumah kakaknya. Mario hanya geleng-geleng kepala dibuatnya. Untung sayang. Begitu asisten rumah tangga Satria membukakan pintu untuknya, Pelangi langsung masuk menuju ruang tamu. Satria sedang duduk di sana sendirian, sibuk dengan ponselnya. Satria mengangkat kepalanya mendengar suara nyaring Pelangi. Dia berdecak. Bukannya tidak senang dengan kehadiran sang adik, tapi Satria seringkali merasa adiknya itu pengganggu. Tiap kali berkunjung, Shasa, istrinya tersebut akan sibuk dengan Pelangi. Entah apa yang mereka berdua ceritakan, seolah bahan pembicaraan Pelangi tidak ada habisnya. Tak jarang Shasa meninggalkan dirinya sendirian di kamar dan tertidur bersama Pelangi di kamarnya. Wajar saja kalau Satria kesal, 'kan? Sekarang sedikit mendingan, saat Satria sudah mempunyai baby Al—buah cintanya bersama Shasa yang baru berusia 3 bulan. Jadi Pelangi tidak melulu mengajak istrinya curhat, Pelangi beralih pada si kecil yang menggemaskan. Tapi... jika baby Al sedang tidur, Pelangi mulai mencari obrolan lagi dengan Shasa. "Ngapain lo ke sini, Dek?" tanya Satria ketus. "Ya elah, Kak. Nggak seneng banget lo dikunjungi sama adik sendiri." Pelangi mengerucutkan bibirnya. Dia merebahkan badannya, duduk di sofa sebelah Satria. "Emang! Lo itu ganggu aja kalau di sini. Nggak bisa diem, ngoceh terus!" "Yaa... gimana dong, Kak. Udah bawaan dari oroknya sih, gue begitu." Pelangi celingukan mengedarkan pandangannya ke segala arah di dalam rumah. "Ponakan ganteng dan kakak cantik gue mana?" "Anak gue lagi tidur. Shasa lagi mandi." Satria yang baru menyadari kalau Pelangi membawa koper kecil ke rumahnya, lalu bertanya, "Lo dari Bandung langsung ke sini? Nggak pulang ke rumah dulu?" "Males ah, di rumah pasti sepi. Di sini 'kan seru, ada Kak Sha dan  ponakan ganteng gue." "Tapi lo udah kasih tahu Papa dan Mama kalau mau ke sini?" Pelangi menyengir, "Belum." "Kebiasaan lo! Bentar... gue telpon Mama dulu." "Apa kata Mama?" tanya Pelangi setelah Satria mematikan sambungan teleponnya. "Besok Mama dan Papa ke sini nengokin cucunya, sekalian mau jemput lo." Pelangi memutar bola matanya. Dia sengaja pulang hari Jum'at sore biar bisa menginap 2 malam di rumah kakaknya itu. Kenyataannya, besok mamanya akan datang menjemput. "Lo anak perempuan satu-satunya, Dek. Wajar lah Mama kangen sama lo. Masa jarang-jarang pulang, sekalinya pulang malah ke rumah gue." Pelangi hanya bisa pasrah. Kemudian dia ingat apa tujuannya datang ke rumah Satria. "Kak." "Apa?" tanya Satria tanpa menoleh. Dia kembali fokus dengan ponselnya. "Gue mau tanya dong." "Hmmm." "Teman lo waktu itu, kok nggak pernah kelihatan lagi? Umm... maksud gue, waktu lo nikah juga, gue nggak ngeliat dia dateng." Satria mengernyit. Dia meletakkan ponselnya di atas meja, lalu memutar badannya menghadap Pelangi. "Teman gue yang mana yang lo maksud?" "Itu... yang anterin gue sama Kak Guntur ke rumah sakit." "Jerry maksud lo?" tebak Satria. "Iya, Kak Jerry." "Ada apa lo tiba-tiba nanyain dia?" Satria menyipitkan matanya, "Inget, lo udah punya Mario. Jangan macam-macam, apalagi sampe suka sama temen gue. Mario itu udah baik banget, gue udah restuin kalau dia jadi adik ipar gue." "Issh... apaan, sih? Gue cuma nanya doang kali!" Pelangi kembali mengerucutkan bibirnya. "Gue serius nanya, lo masih komunikasi sama Kak Jerry itu?" Satria menggelengkan kepalanya. "Habis wisuda dia menghilang gitu aja. Nomor HPnya juga nggak bisa dihubungi. Gue sama teman yang lain pernah ke rumahnya, tapi kosong. Kata tetangganya, keluarga Jerry udah nggak tinggal di situ lagi." Mendengar jawaban dari Satria, Pelangi lantas berpikir, apa Jerry itu anak pertamanya Tante Lidya? Kemarin dia lupa lagi bertanya setelah kedatangan Andin, anak keduanya Tante Lidya. Saking serunya mengobrol dengan Andin, dia jadi melupakan tujuan kedatangannya ke rumah kecil itu. Satria menghela napasnya. "Jerry itu sahabat terbaik gue. Dia ngelakuin banyak hal buat gue. Tapi sampe sekarang gue belum sempat balas semua kebaikan dia. Itu orang entah menghilang ke mana." Pelangi tersenyum. Dia menepuk bahu Satria pelan. "Gue tahu di mana dia, Kak. Gue ketemu sama Kak Jerry, di Bandung." *** Selagi ada meminta bantuan dan dapat upah yang lumayan, Jerry akan dengan senang hati membantu. Seperti biasa, Sabtu ini dia ditelpon oleh temannya yang punya bengkel untuk bantu-bantu. Bengkel temannya sering ramai di saat weekend. Bayaran yang didapat oleh Jerry pun lumayan, bisa buat uang beli bensin motornya dan beli makan jika tidak makan di rumah. Saat sedang beristirahat di dalam bengkel, Jerry mengecek ponselnya. Dia mengerutkan alisnya melihat pesan dari nomor yang tidak dikenal. Biasanya, Jerry akan mengabaikan jika ada nomor tidak dikenal menghubunginya. Bahkan, pesannya pun tidak pernah dia buka. Namun, kali ini, entah ada angin apa, Jerry malah membuka pesan w******p yang muncul di layar ponselnya. 08566338xxxx Hi kak, ini Pelangi Save nomor aku, ya! Btw kak Jerry lg ngapain weekend bgini? Jerry mendengus kesal. Apa adik sahabatnya itu lupa kalau dia mengatakan jangan menghubunginya kalau tidak penting? Jerry hanya membaca pesan itu tanpa berniat membalasnya. Sedangkan di seberang sana, Pelangi mengerucutkan bibirnya. Sombong banget, sih! Chat gue di read doang, kayak koran! Pelangi menyeringai ketika mendapatkan sebuah ide. Bukan Pelangi namanya kalau menyerah begitu saja. Pelangi tidak suka diabaikan, catat itu! Pelangi mencoba mengirim pesan sekali lagi kepada Jerry. Kemudian dia menghitung mundur menunggu respon dari Jerry, "Sepuluh... sembilan... delapan... tujuh... enam... lima... empat... tiga... " Belum ada 10 detik, ada panggilan telpon w******p dari Jerry. Pelangi melebarkan senyumnya. "Yess!" "Hallo?" ucap Pelangi lembut. "Gue udah bilang jangan kasih nomor HP gue sama siapa pun. Lo ngerti nggak, sih?" bentak Jerry di seberang sana. "Buat Kak Satria, masa nggak boleh juga? Kalian 'kan sahabatan." Padahal Pelangi sama sekali belum memberi nomor ponsel Jerry kepada Satria. Dia Cuma ingin tahu bagaimana reaksi Jerry saja, tebakannya benar. "Termasuk kakak lo juga, jangan kasih! Nyesel gue kasih nomor sama lo. Maksud gue itu, lo hubungin gue kalau ada kesulitan dengan materi kuliah aja." "Kak Jerry... emang kenapa kalau Kak Satria tahu nomornya Kakak? Kenapa Kak Jerry kayak menghindar gitu? Apa Kak Satria punya salah sama Kak Jerry?" "Lo nggak perlu tahu!" Lalu Jerry menutup telponnya. Pelangi menggerutu sebal. "Main matiin sembarangan aja. Itu cowok kenapa sih, aneh banget?" "Siapa yang aneh, Dek? Kamu habis telponan sama siapa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN