Bagai disambar petir di siang bolong, Viola sampai perlu mencerna ucapan pria di hadapannya selama beberapa saat. Calon suami? Hal konyol macam apa ini?
"Calon suami? Maaf, kayaknya kamu salah orang. Kamu juga salah ruangan. Kamu seharusnya nggak masuk ke sini," kata Viola.
Bagaimana mungkin Viola memercayai kemustahilan ini? Calon suaminya adalah Bram alias Bramasta Wijaya. Kenapa ada orang gila yang mengaku-ngaku menjadi suaminya di saat-saat seperti ini? Waktu terus berjalan, sebentar lagi seharusnya Viola sah menjadi istri Bram. Ia tidak habis pikir kenapa harus buang-buang waktu berhadapan dengan orang gila dulu.
"Aku tahu ini sulit dipercaya. Wajar juga kalau kamu menganggapku gila. Tapi satu hal yang pasti, aku adalah calon suamimu dan sebentar lagi kita akan menikah. Aku yakin kamu kaget banget dengan fakta ini, itu sebabnya aku ngajak kamu bicara empat mata dulu sebelum menghadap para hadirin."
"Ini dari acara TV mana? Pasti bagian dari prank, kan? Sumpah nggak lucu dan nggak sopan banget. Ini hari bahagia aku sama Bram. Tolong jangan rusak dengan hal-hal sampah kayak gini. Sekarang tolong pergi dan biarkan aku bicara sama Bram."
"Bram? Apa kamu lupa kejadian yang menimpa kamu tadi pagi, sampai-sampai kamu pingsan," balas Reyhan. "Bram yang kamu sebut-sebut itu ... dia pasti menghilang, kan?"
Viola menggeleng. "Enggak membalas chat bukan berarti menghilang. Buktinya kami tetap akan menikah. Kamu lihat sendiri penampilanku yang udah siap begini."
"Penampilanmu yang udah siap begini karena mau menikah sama aku, bukan dengan pria bernama Bram itu," tegas Reyhan.
Viola menggeleng cepat. "Kamu pasti pria nggak waras."
"Kita harus bicara. Itu sebabnya aku datang ke sini untuk berbicara empat mata."
"Kamu pikir aku percaya hal konyol yang kamu katakan? Sama sekali nggak! Ini bukan negeri dongeng yang tiba-tiba mengklaim sembarang orang untuk diajak menikah." Viola mulai emosi.
"Ya Tuhan, aku serius. Waktu kita nggak banyak. Kita harus bicara sekarang. Jadi stop membicarakan calon suamimu yang menghilang alias kabur, atau jasa WO penipu yang kamu sewa."
Viola menggeleng. Apa yang membuatnya pingsan tadi pagi terucap lagi. "Enggak mungkin."
Viola bergerak mundur untuk menjauh dari Reyhan yang semakin lama semakin mendekat padanya.
"Apa yang aku katakan adalah fakta. Kamu ditipu WO abal-abal, bahkan calon suamimu kabur. Dugaan sementara, aku rasa mereka bekerja sama."
"Kamu pasti lagi bikin cerita n****+. Kamu...."
"Tolong biarkan aku bicara dulu, supaya kamu ngerti situasi sebenarnya," potong Reyhan.
Viola terpaksa diam. Lagi pula, ia harus bagaimana? Sebagian dari dirinya yakin itu tidak benar. Namun, sisanya lagi merasa kalau apa yang Reyhan bicarakan bukan sekadar lelucon.
"Seharusnya kamu dan Bram menikah hari ini, tapi terancam batal karena Bram menghilang. Seandainya Bram nggak menghilang pun kemungkinan kalian nggak bisa menikah di gedung ini karena jasa WO yang kamu sewa itu penipu. Aku bisa bilang begitu karena gedung ini udah disewa sama aku dan calon istriku. Ya, hari ini seharusnya kami menikah. Semua persiapan sudah beres, tapi calon istriku menghilang," jelas Reyhan lugas. Sebenarnya pria itu sedang menceritakan kisah sedih. Namun, bisa-bisanya ia menjelaskannya seolah sedang presentasi. Sama sekai tidak tedengar nada kecewa kesedihan.
"Dalam kata lain, nasib kita sama. Entah kebetulan macam apa hari pernikahan kita waktu dan tempatnya sama. Konyolnya lagi, calon suamimu kabur, dan calon istriku juga menghilang," sambung Reyhan.
Sejenak Viola mencerna penjelasan Reyhan. Ia tidak tel-mi untuk memahami perkataan pria itu. Sungguh, Viola paham. Hanya saja, apa ini nyata?
"Oke, mari anggap apa yang kamu katakan itu benar. Kita sama-sama sial karena pasangan kita menghilang. Tapi, apa masuk akal kalau kamu bilang aku ini calon istrimu? Kita bahkan nggak saling kenal. Seharusnya kita menemukan mereka dan menikahi pasangan masing-masing. Entah ide gila dari mana kamu ingin kita menikah."
"Kita saling kenal. Aku tahu kamu Viola dan aku tadi udah menyebutkan namaku. Panggil aja Reyhan."
"Astaga. Bukan itu maksudku. Pernikahan bukan lelucon. Kamu nggak bisa tiba-tiba ngajak menikah wanita yang kebetulan kamu temui sekalipun bernasib sama. Lagian aku masih nggak percaya kalau Bram sejahat itu. Dia pasti punya alasan kenapa menonaktifkan ponselnya."
"Coba cek lagi. Apa dia balas chat kamu. Bila perlu telepon dia sekarang, kamu harus tahu gimana respons-nya."
Viola pun langsung melakukan apa yang Reyhan katakan. Namun, jangankan mengetahui respons Bram. Chat Viola sebelumnya saja bahkan masih centang satu. Di telepon pun masih tidak bisa dihubungi.
"Sekarang lihat. Coba sini aku lihat nomor calon suamimu." Reyhan mengambil ponsel dari saku jasnya. Ia lalu menekan nomor Bram untuk menghubunginya.
Hal yang membuat Viola terkejut adalah ... panggilan Reyhan terhadap Bram tersambung. Itu artinya, Bram bukan tidak bisa dihubungi, melainkan memang sengaja menghindari Viola dengan menutup akses komunikasi dengan wanita itu.
"Halo, ini siapa?" Suara Bram di ujung telepon sana mulai terdengar. Mendengar itu, Viola tidak bisa mengingkari kalau yang didengarnya benar-benar suara Bram.
Tanpa menjawab, Reyhan langsung memutuskan sambungan teleponnya dengan Bram.
Pria itu kemudian menatap Viola. "Kamu ngerti artinya apa? Ponsel dia bukan dinonaktifkan, tapi nomor kamulah yang sengaja diblokir. Terbukti dia kabur dan pastinya dia sekongkol sama WO fiktif yang kamu sewa. Modus penipuan lama."
Seketika tubuh Viola lemas. Meskipun sempat sedikit curiga, sampai tadi ia masih menyangkal kalau Bram sejahat itu. Namun, bukti terlalu nyata untuk disangkal. Viola ingat betul bahwa WO tersebut merupakan rekomendasi dari Bram.
Itu artinya beberapa bulan ini Viola sudah memercayakan hatinya pada pria yang salah. Sungguh, Viola sama sekali tidak menyangka akan tertipu oleh manisnya cinta Bram yang ternyata palsu. Seketika dirinya merasa bodoh.
Viola terduduk di kursi depan cermin. Kalau sudah begini, ia harus berbuat apa? Ketakutan yang membuatnya syok tadi pagi kini menjadi nyata. Apa yang harus ia katakan pada orangtua, keluarga besar, kerabat dan semua tamu undangan? Sudah pasti Viola akan sangat malu.
"Sekarang mari lupakan tentang Bram dan WO fiktifnya dulu. Lupakan juga berapa pun uang kamu yang udah mereka bawa lari," kata Reyhan lagi. "Kita sama-sama gagal menikah, bukankah kita berada dalam situasi yang sama?"
Reyhan menambahkan, "Apalagi kita udah sebar undangan. Kalau kita nggak jadi menikah, bukan cuma kita aja yang malu, tapi harga diri keluarga terutama orangtua kita juga akan jatuh. Inilah alasan kenapa aku berani ngajak kamu menikah."
"Aku yakin kamu gila." Viola menggeleng tak percaya.
"Coba pikir, apa risiko saat semua orang tahu kalau kamu batal nikah? Belum lagi kamu juga kena tipu."
"Tunggu, atau kamu mau lapor polisi? Kamu yakin itu solusi? Viola, kita sama-sama terdesak sekarang. Posisi kita sama. Jadi mari saling membantu dengan menikah demi menyelamatkan kekacauan yang nyaris terjadi," bujuk Reyhan terus.
"Sadarkah kamu sekarang lagi ngajak nikah orang asing? Kamu melakukannya seolah-olah ini hal sepele."
"Baik aku atau kamu, sama-sama butuh. Pernikahan ini hanya formalitas untuk menyelamatkan harga diri masing-masing. Anggap aja ini simbiosis mutualisme."
"Sori, aku nggak butuh itu. Batal nikah pun nggak apa-apa."
"Kamu yakin siap menanggung malu? Kamu yakin respons orangtua kamu bakalan baik-baik aja? Gimana kalau mereka syok, terus sakit?" Reyhan sengaja memprovokasi.
Seketika Viola jadi teringat penyakit jantung sang papa.
"Orangtuaku justru lebih syok kalau calon suamiku bukan Bram," sergah Viola. "Dengar ya, dunia nggak serta-merta berakhir meskipun aku gagal menikah. Dan aku rasa ... dunia kamu yang seperti runtuh kalau nggak jadi nikah, makanya nggak masalah nyari pengganti asalkan bisa nikah. Mencurigakan," sambungnya.
"Kalau semua yang aku katakan masih sulit membuat kamu bersedia menikah sama aku, baiklah ... sekarang mari bahas tentang uang yang dibawa kabur Bram dan WO fiktif-nya."
"Kenapa tiba-tiba membahas itu?!" Viola semakin kesal. Bagaimana tidak, nominal yang dibawa kabur tidaklah kecil. Ia juga sudah mengambil pinjaman yang cukup besar sebagai tambahan untuk biaya ini dan itu.
Seketika Viola merasa bodoh sekali. Bisa-bisanya percaya begitu saja kalau segala biaya keperluan menikah akan menjadi utang bersama yang tentunya akan dibayar secara patungan saat sah menjadi suami istri.
Ah, seharusnya Viola mendengarkan orangtuanya saat mereka mengatakan lebih baik menikah dengan sederhana saja, tidak perlu mewah. Jadi begini akibatnya.
"Dari semua masalah pelik akibat gagal menikah dengan Bram, solusinya adalah menikah sama aku."
"Kenapa kamu ngebet banget, sih?" Sungguh, Viola masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Reyhan. Mungkin agak masuk akal kalau mereka saling mengenal. Masalahnya adalah ... mereka tidak mengenal satu sama lain.
"Karena hidupku juga bakal kacau kalau gagal menikah. Makanya berkali-kali aku bilang kalau posisi kita sama. Jadi mari saling membantu."
"Dengan menikah?" tanya Viola. Sejujurnya apa yang Reyhan katakan ada benarnya juga. Viola tidak siap menanggung malu. Namun, menikah dengan orang asing itu konyol.
"Iya, Viola. Menikah." Reyhan melirik jam tangannya. Sepuluh menit lagi seharusnya pernikahan dilaksanakan. "Waktu kamu buat memutuskan tinggal sebentar lagi. Please setuju aja. Kita akan bicarakan semuanya nanti, setelah resmi menikah. Sekarang yang penting kita menikah aja dulu."
"Tapi ... apa kata orangtua, keluarga bahkan tamu undangan? Mereka pasti bingung karena calon suamiku namanya Bram."
"Itu urusan belakangan. Sekarang yang penting ... kamu bersedia menikah denganku, kan, Viola?"
Sepertinya ini ajakan menikah paling tidak romantis di dunia ini. Lamaran yang lebih tedengar konyol.
"Ya, ayo kita menikah." Ini adalah jawaban orang yang bingung sekaligus frustrasi. Ya, itulah yang Viola rasakan sekarang.
Viola rasa Reyhan gila karena mengajaknya menikah di saat mereka sama-sama ditinggal pasangan masing-masing. Namun, sepertinya Viola lebih gila karena mengiyakan ajakan pria asing itu.