BAB 6

1933 Kata
Tubuh mungil yang sedang berada di pelukan Steff bergerak gelisah. Steff masih enggan untuk membuka matanya. Rasanya begitu nyaman bergelung diatas ranjang dengan memeluk seseorang seperti ini. Lelaki itu masih ingat dengan jelas sedang berada dimana sekarang. Aroma segar yang menguar dari rambut Dara membuat Steff semakin nyaman. Mengendus-endus aroma itu hingga ke cerukan lehernya. Dengan mata masih terpejam Steff membenamkan wajahnya semakin dalam. Dara nampak protes karena sedari tadi dia tidak mau diam dan terus bergerak gelisah. " Lepaskan...! Aku tak bisa bernafas." samar Steff mendengar ocehan Dara. Sedikit mengendurkan pelukannya di tubuh perempuan itu, tapi sial nya sesuatu yang ada dibawah sana mendadak menggeliat manja dan perlahan bangun dengan sempurna. Kebiasaan setiap pagi dimana isi celana dalam seorang pria yang selalu terbangun tanpa diminta. Steff merasakan bagian bawah tubuhnya yang semakin berdenyut. Tanpa sadar ia menggesekkan miliknya yang mengeras pada bagian belakang tubuh Dara. Tiba-tiba tubuhnya menegang " Argh... lepaskan brengsek... dasar mesum...." Dara berteriak panik membuat mata Steff pada akhirnya terbuka. Mungkin saja Dara merasakan bukti gairah Steff yang sudah menegang sempurna. Dara masih saja bergerak gelisah dalam pelukan Steff. Posisi tubuh Dara yang membelakangi Steff membuat milik Steff semakin bergesekan dengan b****g sintal milik Dara. " Hei... diamlah! Jangan bergerak terus. Kamu bisa membuat kepalaku pusing," ucap Steff pada istrinya. Bukan nya berhenti bergerak justru Dara semakin semangat ingin melepaskan diri dari pelukan Lelaki itu. Kepala Steff mulai berdenyut, tak hanya kepala bagian atas saja tapi juga kepala bagian bawah. Steff berguling hingga posisinya kini berada di atas tubuh Dara. Hal itu tentu saja membuat Dara terkejut dan reflek memukuli d**a bidang lelaki itu. Masih dengan racauan nya yang tidak jelas membuat Steff semakin pusing. " Diamlah Dara !" " Dasar mesum... lepaskan aku ! " Dara masih saja meronta ingin lepas dari kungkungan tubuh Steff. Karena sudah tak tahan lagi, Steff membungkam bibir Dara dengan bibirnya, hingga membuat wanita itu terdiam. Matanya terbelalak kaget menatap Steff. Steff semakin b*******h hanya dengan menatap mata Dara yang begitu menghanyutkan. Dicium bibir Dara dengan rakus, tak peduli jika pada akhirnya Dara mencoba berontak. Dengan satu tangannya Steff menahan lengan Dara dan menguncinya di atas kepala. Ciuman yang melibatkan lidah selalu berhasil membangkitkan gairah Steff. Bagaimana pun juga dia adalah lelaki normal. Dengan berciuman saja rasanya masih kurang. Miliknya mungkin tak terima karena sedari tadi terus menggeliat ingin dibebaskan dari sangkarnya. Steff berusaha mengontrol diri tapi terasa sulit. Jika dia nekat membebaskan miliknya yang sudah menegang sempurna, bisa dipastikan jika Dara akan menjerit histeris. Steff tak mungkin memaksa Dara, tidak seru jika dia harus memperkosa istrinya sendiri. Dia lepaskan tautan bibir nya, Steff tersenyum geli mengingat pemikiran nya barusan. Dara masih berada di bawah kungkungan tubuh besarnya. Dia melihat jika Dara mulai menormalkan nafas nya setelah ciuman panas mereka. Steff masih menatap Dara intens dan saat tanpa sengaja manik hitam milik Dara bertabrakan dengan Steff, blush rona merah menjalari pipi Dara. Steff mengusap pipi mulus Dara dengan punggung tangan nya. Dikecup pangkal hidung nya, beralih ke pipinya lalu turun ke cerukan lehernya. Menghirup kembali aroma yang menguar dari tubuh seorang Andara. Lidah Steff menyapu kulit leher Dara. Samar Steff mendengar desahan keluar dari mulut Dara. Tubuhnya tidak lagi setegang tadi. Dara sudah bisa mengimbangi permainan Steff. Dihisap kuat kulit leher Dara dan meninggalkan jejak merah disana. Kembali Steff menggesekkan miliknya  diatas perut Dara. Turun perlahan dan tepat diatas milik Dara, kembali dia gesek dengan cepat hingga mampu membuat Dara mengerang. Kembali Steff mencium bibir Dara. Satu tangannya mulai berani merayap di balik baju yang Dara pakai. Mengelus perutnya yang rata perlahan merayap naik dan menemukan gundukan kenyal disana. Steff semakin b*******h, meremas dengan gemas sesuatu yang masih tertutup bra. " Argh...." desahan keluar dari mulut Dara. Steff sudah tak tahan lagi. Ditekan kuat miliknya yang sudah berkedut, hingga dirasakan cairan hangat menyembur keluar membasahi celana boxer nya. Huft lega rasanya..... Dara mendorong tubuh Steff hingga pria itu terguling di samping tubuhnya. Steff melihat kaos Dara sudah tersingkap hingga bagian d**a dan celana piyama nya ikutan basah terkena cairannya. " Dasar m***m, jorok...." Dara bangkit dari atas ranjang dan memegang bajunya yang telah ternoda. Steff hanya bisa tertawa puas hingga tubuh Dara menghilang masuk ke dalam kamar mandi. Dara keluar dari dalam kamar mandi dan mendapati Steff tertidur tengkurap di ranjangnya. Dara begitu kesal setengah mati pada lelaki yang telah sah menjadi suaminya itu. Gara-gara kelakuan absurd Steff Dara jadi merasa bau s****a dimana - mana. Bahkan tubuhnya sudah disabun berkali- kali tapi aroma itu tetap saja menempel dan enggan menghilang. Belum lagi melihat Steff yang tertidur pulas seolah tanpa rasa bersalah membuat Dara semakin bersungut -sungut menahan kekesalan. Andaikan membunuh itu tidak dosa dan tidak dipenjara mungkin saat ini Dara sudah membekap Steff dengan bantal hingga laki-laki itu kehabisan nafas dan enyah dari muka bumi ini agar hidup Dara kembali normal seperti sedia kala. "Ah sial, kamarku jadi bau s****a kan. Dan apa - apaan ini dia membuang kolornya sembarangan." Gumam Dara. Wajah Dara sudah merah menahan marah melihat celana boxer Steff yang teronggok di lantai kamarnya. Tiba-tiba blush pipi Dara merona, bukan karena dia sedang marah lagi melainkan pemikiran yang terlintas di otaknya. Jika kolor Steff ada di lantai itu berarti di dalam selimut itu … Steff telanjang dan tak memakai apapun. Argh sial … dasar lelaki m***m. Dara terburu - buru beranjak keluar dari kamarnya sebelum mendapati Steff terbangun dari tidurnya dan bertingkah diluar batas lagi seperti tadi. Mengingat tubuh polos Steff dibalik selimutnya bukan tidak mungkin lelaki itu akan m***m lagi jika mendapati Dara masih berada disini. " Pagi bik Monah...." Dara masuk ke dalam dapur melalui pintu belakang yang menghubungkan paviliun dengan rumah utama. " Pagi non." Bik Monah menoleh ke sumber suara sebelum mematikan kompor. Bik Monah adalah salah satu Asisten Rumah Tangga Mama Risa yang mendapat tugas di bagian dapur. Ada tiga ART yang berada di rumah ini dengan tugasnya masing-masing. Bik Tini dan Mbak Asih bagian bersih-bersih dan Bik Monah bagian masak. Selain mereka masih ada satu tukang kebun, dua orang satpam dan dua orang sopir pribadi. " Bik Monah masak apa ? Dara bantuin ya." Dara mendekati Bik Monah dan melongok mengintip isi di dalam panci yang masih bertengger di atas kompor. " Soup ikan mas. Dan kebetulan ini sudah matang. Jadi non Dara bisa bantuin untuk bawa ke meja makan." jawab bik Monah. " Siap Bik. Laksanakan." Dara mengambil mangkok soup dan memindahkan hasil masakan bik Monah dari panci ke dalam mangkok. Selanjutnya membawanya ke ruang makan. Tampak Mama Risa sudah duduk di meja makan seorang diri. " Pagi, Ma, " sapa Dara. Mama Risa mendongak menatap menantu nya yang sedang meletakkan mangkuk soup di atas meja makan. " Pagi sayang.... kok Dara yang menyiapkan." " Iya ma, tadi kebetulan Dara masuk dapur dan Bik Monah selesai masak. Jadi Dara bantu sekalian bawa kesini. " " Pagi ! Loh ada Dara." Pak Handoko yang tak lain adalah suami Mama Risa, papa tiri Steff menarik kursi dan duduk dihadapan istrinya. " Dara ayo duduk kita sarapan bareng, " ajak Pak Handoko. Dara sempet berpikir kenapa Steff tidak menyukai Pak Handoko padahal menurut Dara, Pak Handoko ini orang yang sangat ramah dan baik. Bahkan Pak Handoko pun tidak keberatan Dara tinggal di rumahnya. Dara tak habis pikir dengan pelik nya keluarga ini. Mama Risa pun juga tidak pernah bercerita secara detail pada Dara. Yang Dara tau hanya Steff yang membenci Pak Handoko hingga lelaki itu tak mau tinggal lagi di rumah ini dan memilih tinggal di apartemen nya sendiri. Penyebab kenapa Steff membenci Pak Handoko lah yang masih menjadi pertanyaan besar bagi Dara. Meski dia penasaran tapi Dara tak mau bertanya pada siapapun. Buat apa juga terlalu ikut campur dalam masalah keluarga ini. " Dara ! Kok malah bengong. Duduklah Ayo kita sarapan." " Baik, Ma. " Dara menarik kursi di samping Mama Risa. " Oh ya sayang, Steff mana?  Kok nggak ikut sarapan. Eum … semalam dia pulang kan saying ?" Mama Risa bertanya pada Dara. " Masih tidur, Ma." jawab Dara singkat. Mengingat Steff entah kenapa Dara kembali merasa kesal. " Owh ... Mama kira anak itu sudah pergi lagi. Dara, mama minta maaf atas kelakuan Steff. Anak itu susah sekali diatur." jujur Mama Risa merasa tak enak hati pada Dara melihat kelakuan Steff. Bagaimana pun juga Mama Risa lah yang telah memaksa Dara untuk menikah dengan anak lelakinya. Tapi sayangnya kelakuan Steff masih tak berubah juga. Anak itu justru sejak hari pernikahan nya dan ini sudah dua minggu berlalu, tidak pulang ke rumah ini. Padahal mereka pengantin baru tak seharusnya Steff meninggalkan Dara begitu saja dan mengabaikan wanita yang telah menjadi istrinya. " Nggak apa, Ma." Dara menjawab lirih karena memang Dara tak peduli dengan apapun yang dilakukan oleh Stef. " Sudah dua minggu tidak pulang kerumah ini. Apa dia lupa jika punya istri. Padahal mama berharap, dengan menikah Steff mau lebih baik pada mama. " Dara tak tega melihat kesedihan di mata Mama Risa saat memikirkan kelakuan Steff. "Dasar anak durhaka. Tak tahukah dia jika telah membuat ibunya bersedih seperti ini." Geram Dara dalam hati. " Ma... Sudahlah. Lebih baik sarapan dulu. Jangan terlalu dipikirkan" Pak Handoko menatap istrinya dengan lembut. Memberi kekuatan pada istrinya agar tidak terlalu memikirkan Steff. *** Steff menggeliat tubuhnya terasa kaku, meraba ranjang kosong disampingnya. Tidak ada siapa-siapa. Matanya memicing menatap sekeliling dan tersadar jika dia berada di dalam kamar Dara. Bangun dari tidurnya dan bersandar di kepala ranjang. Kamar tampak sepi, tidak ada Dara didalam kamar ini. Menyingkap selimut dan tanpa peduli dengan tubuh polosnya Steff melenggang menuju kamar mandi. Hari sudah siang kala Steff keluar dari kamar Dara. Berjalan menuju pintu penghubung yang langsung menuju dapur. Tak ada siapa-siapa disini. Steff terus melangkah menuju meja makan. Perutnya terasa lapar. Tapi di meja makan tak ada makanan. Berjalan menuju ruang tengah dan mendapati Mbak Asih sedang menyedot debu sofa dengan vacum cleaner. " Mbak...! Bik Monah kemana ? Kenapa tidak ada di dapur," tanya nya. " Eh, den Stef. Itu Bik Monah nya lagi belanja. Den Stef mau makan. Biar saya siapkan." Mba Asih mematikan Vacum Cleaner yang dipegang nya. " Iya mbak...." " Kalau begitu den Stef tunggu di meja makan. Saya siapkan dulu." " Makasih Mbak. Oh ya mbak ... sama kopi nya jangan lupa ya. Makasih." " Baik den. " Mbak Asih berlalu meninggalkan Steff. Steff mengekori Mba Asih dan mendaratkan pantatnya di kursi makan. Ini hari minggu dia libur kerja tapi biasanya di kala weekend seperti ini Steff akan berdiam diri di resto kepunyaan nya. Mbak Asih datang menyiapkan makan untuk Steff tak lupa secangkir kopi permintaan anak majikan nya itu. " Mbak ! Lihat Dara tidak ?" tanya nya. Mba Asih menoleh. " Oh, itu tadi Mbak Dara nya ikut Bik Mona belanja." " Kira-kira mereka akan lama tidak." " Berangkat nya dari tadi pagi. Sebentar lagi paling juga pulang." Steff menyantap makan nya dalam diam. Rumah ini tampak sepi sekali. Ah, kemana mama nya dan si Pak Tua itu. Steff malas sekali jika harus bertemu mereka. Mbak Asih melewati nya karena ingin meneruskan pekerjaan yang tadi tertunda karena menyiapkan makan untuk Steff. " Mbak...!" panggil nya lagi pada Mba Asih " Ya den." " Mama kemana ?Kenapa rumah ini sepi sekali." " Nyonya tadi pagi sudah pergi menemani Tuan Handoko. Kalau tidak salah mereka ke Bandung." memang tadi Bu Risa pamit pada nya jika akan pergi ke Bandung untuk mendampingi Pak handoko. " Bandung? Ngapain." " Iya Bandung Den. Tapi saya tidak tahu ada acara apa. " " Oh oke. Mbak. " " Kalau Begitu saya permisi den mau melanjutkan bersih-bersih." Steff hanya mengaangguk. Mba Asih berlalu meninggalkan Steff.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN