Part 32

1383 Kata
Jarak antara kedai bakso Mang Samsul dan meja tempat Luna dan kedua sahabatnya berkumpul yang memang tidak terlalu jauh, membuat Luna segera sampai di tempat tujuan. Merasa kasihan saat melihat sahabatnya yang sepertinya sudah sangat membutuhkan air, Luna pun langsung memberikan air mineral yang ia bawa itu tanpa menunda - nunda lagi. “Ini air mineralnya. Ck, katanya kuat pedes. Masa makan pedes segitu aja udah kepedesan sih? Payah ah kamu, Na!” “Lama banget sih, Lun. Padahal cuma beli air mineral doang. Nggak jauh juga jaraknya. Hey! Enak aja asal ngomong aku payah. Tadi itu cabenya bener - bener banyak. Lebih banyak dari yang biasa aku makan malah. Ceritanya pengen ngilangin penat dan pusing karena mikirin si Rayhan dengan cara makan makanan yang pedes. Eh, malah nyengsarain diri sendiri karena kepedesannya kebangetan,” curhat Ana menjelaskan alasannya bisa sampai kepedesan, serta tujuannya melakukan itu. Luna menghela napas panjang setelah mendengar penjelasan itu. Ternyata inti masalahnya karena laki - laki, pikirnya. “Maka dari itu, Na. Udahlah.. nggak usah mikirin laki - laki. Belum tentu juga kan si Rayhan juga sekarang lagi mikirin kamu? Niat hati pengen bahagia, eh malah sengsara. Buang - buang waktu aja tau, nggak? Udah, lebih baik kita seneng - seneng aja. Nggak usahlah yang namanya berhubungan dan mikirin soal mereka. Punya pasangan, punya temen deket laki - laki, nggak jadi jaminan hidup kita itu selalu happy kan? Jomblo kayak aku juga happy. Nggak harus pusing - pusing mikirin mereka lagi. I’m single and very happy!” “Dan untuk soal kenapa bisa lama banget, hehe maafin aku yaa? Tadi mampir dulu ke kedai bakso. Ngeliat kamu lahap makan bakso jadi ngiler.. padahal udah sarapan pagi di rumah. Hehe, peace!” ucap Luna melanjutkan ucapannya tadi, kemudian memerlihatkan jari telunjuk dan jari tengahnya yang kini membentuk huruf v itu kepada sang sahabat, sebagai bentuk permintaan damai. Ana mendengus sebal setelah mendengar alasan Luna bisa datang kembali dengan jarak waktu yang cukup lama. “Sudah aku duga. Pasti alasannya kalau nggak karena ketiduran, ya soal makanan. Kamu mah nggak bisa jauh - jauh dari yang dua itu!” ucap Ana yang juga dibalas Luna dengan dengusan sebalnya. Enak aja ia dibilang seperti itu. Ya meskipun ucapannya ada benarnya juga. Luna sangat senang sekali dengan yang namanya tidur dan makanan. Ia bisa tidur di mana pun, dan ia bisa makan apa pun walaupun perutnya baru saja di isi. “Hah, nggak tau lah, Lun. Aku juga bingung kenapa bisa sampai sebegininya mikirin laki - laki. Padahal dulu - dulu rasanya biasa aja tuh. Malahan kayaknya para laki - laki yang kelimpungan, pada pusing, mikirin gimana caranya supaya bisa deket sama aku. Eh, sekarang malah janjian. Lucu juga sih ternyata kalau dipikir - pikir,” Ana kembali berucap, yang diakhiri dengan kekehan renyahnya. “Karma kali,” celetuk Luna yang berhasil membuat Ana yang sedang terkekeh itu mendongak dan menatapnya kesal. “Enak aja!” Merasa haus, yang mungkin dikarenakan karena sejak tadi.. sejak ia selesai minum di awal pertemuan mereka, saat bersama Leo meski dalam waktu singkat, hingga berbicara panjang lebar dengan kedua sahabatnya, ia cukup banyak berbicara. Ditambah cuaca yang semakin mendekati siang, semakin terasa panas. Membuat Luna dengan segera meneguk air mineralnya yang ia bawa. Baru beberapa tegukan, saat pandangan matanya mengarah ke arah depan, Luna memelototkan matanya melihat apa yang ia lihat. Dari sekian banyaknya meja, kenapa meja di depannya yang gadis berambut panjang itu pilih? Menyebalkan sekali rasanya. Itu artinya, Luna harus kembali melihat dan mendengar laki - laki menyebalkan itu mengoceh. Kalau si gadis berambut panjang itu duduk di sana, sudah dipastikan kalau laki - laki yang sedang dihindarinya pun ikut duduk di sana. Mereka kan datang ke kantin ini berdua. “Ah masa bodo!” ucap Luna kesal seraya menutup rapat botol air mineralnya dengan tutup botol yang sebelumnya ia taruh di atas meja. “Oh ya, Lun. Tadi katanya mau ngasih syarat ke si Ana. Syarat apaan sih? Kok jadi bikin penasaran,” celetuk Clarissa yang berhasil membuat Luna dan Ana menampilkan raut wajah yang berbeda. Tak hanya berbeda, tapi justru sangat berlawanan. Luna yang kini terlihat berseri - seri dengan senyum lebarnya yang merekah. Dan Ana yang mencemberutkan wajahnya karena kesal. Kenapa Clarissa harus mengingatkan Luna kembali sih dengan syarat yang ia ucapkan sebelumnya? Jujur saja, sebelumnya ia mengiayakan syarat yang Luna ajukan itu dengan tanpa sadar. Saking butuhnya ia dengan yang namanya air minum, tanpa banyak berpikir Ana langsung berucap iya. “Yah, Sa! Kenapa harus diingetin soal itu sih? Aku sejak tadi diem - diem aja nggak bahas itu karena nggak mau lho ngerjainnya. Aku tadi nggak sadar bilang iya buat menyanggupi persyaratan itu,” ucap Ana kesal seraya menatap Clarissa dengan tatapan penuh penyesalannya. “Hehe, maaf.” “Nggak papa kok, Sa. Kamu nggak perlu minta maaf. Justru aku mau bilang terima kasih sama kamu karena udah mengingatkan aku soal syarat itu,” Luna berucap semangat kemudian mengalihkan pandangan matanya ke arah Ana. “Jadi, Na. Syarat yang aku ajukan itu adalah.. kamu harus kasih aku ide gimana caranya biar aku bisa dapet maaf dari si ikan lele. Udah itu aja. Gampang kan? Jujur aja, dikejar - kejar rasa bersalah itu nggak enak dan nggak nyaman banget. Bikin hati nggak tenang,” lanjut Luna seraya mengeluarkan segala keluh kesahnya. Karena memang benar, rasanya memang tidak enak dan tidak nyaman jika kita belum mendapatkan kata maaf dari seseorang yang kita sakiti. Rasanya sungguh tidak tenang. “Yang kamu maksud dengan sebutan ikan lele itu si Leo?” tanya Ana dengan raut wajah bersungut - sungut. Sepertinya rasa kesal masih bercongkol di dalam hatinya. Mang Samsul yang baru saja tiba di hadapan ketiganya dengan membawa nampan untuk mengantarkan bakso pesanan Luna, berhasil membuat ketiganya sedikit teralihkan. “Ini neng Luna, pesanan baksonya. Sesuai permintaan, isinya seperti biasa,” ucap Mang Samsul dengan ramah. “Makasih, Mang. Emang terbaik deh Mang Samsul ini, hehe.” Luna menjawabnya dengan tak kalah ramah, seraya mengacungkan kedua jempolnya ke arah Mang Samsul. Membuat laki - laki paruh baya itu tersenyum lebar kemudian pamit undur diri setelah itu. “Iya lah. Siapa lagi kalau bukan dia?!” ucap Luna, melanjutkan obrolan sebelumnya. Ana pun mulai berpikir setelah itu. Ia menarik napas dalam - dalam, kemudian mengeluarkannya perlahan. Hanya terlihat diam, dengan pendar mata yang fokus kepada satu arah. Sesekali keningnya berkerut, kemudian kembali seperti sedia kala. Sesekali juga ia menggelengkan kepalanya. Dan semua itu tak luput dari tatapan kedua sahabatnya yang sejak awal tadi terus memerhatikannya. “Kayaknya nggak ada cara lain lagi deh, Lun. Ya, aku tau kamu itu gengsinya selangit. Tapi ya udah lah, langsung minta maaf aja. Nggak usah pake cara yang neko - neko.” “Kalau minta maafnya pake surat aja gimana?” tawar Luna. “Emangnya masih zaman main surat - suratan? Udahlah ngomong langsung aja.” “Lewat handphone? Aku chat atau telepon.. gimana?” “Nggak, Lun. Kemungkinan cara itu mempan di si Leo sangat tipis. Bisa aja dia nggak terima maaf kamu. Kamu justru dianggap nggak serius lagi minta maaf sama dia. Apalagi kan kalian berdua itu udah kayak jodoh ya. Wkwkwk. Sering banget yang namanya ketemu. Baik disengaja mau pun nggak disengaja. Ya kali sering ketemu tapi minta maafnya lewat handpone. Dia pasti makin kesel lah sama kamu,” ucap Ana yang mendapatkan anggukan setuju dari Clarissa. Membuat Luna kini hanya bisa menghela napas kasar saja. “Gimana ya? Sebenernya nggak masalah sih kalah harus ngomong langsung sama dia. Aku berani - berani aja gitu maksudnya. Tapi masalahnya, dia itu orangnya jail dan nyebelin, Sa, Na.. Nggak main - main pake banget lagi jail dan nyebelinnya. Aku takutnya dia balas dendam sama aku. Nanti ikut - ikuan ngajuin syarat yang aneh - aneh lagi kayak aku waktu itu.” “In syaa Allah nggak, Lun. Leo kan laki - laki. Pasti dia berpikirnya lebih dewasa.” “Jadi maksud kamu aku belum dewasa?” “Eh, nggak gitu maksud aku. Tapi iya juga sih. Kamu kadang - kadang masih kayak anak kecil,” ucap jujur Clarissa seraya tersenyum kecil. Ana yang mendengarnya pun bahkan tertawa dibuatnya. “Kalian sama nyebelinnya! Nggak ada bedanya sama si ikan lele itu,” ucap Luna seraya memalingkan muka dengan kedua tangan bersidekap. “Wkwk. Emang faktanya begitu, Lun!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN