Part 26

1631 Kata
Kelima orang itu terlihat sangat bahagia. Bermain peran secara mendadak demi menyelematkan Leo ternyata seru juga. Apalagi saat melihat raut wajah si Tante yang sepertinya sedang merinding sekaligus merasa kegelian. Mereka rasanya sangat puas sekali. “Akting kita bagus banget kan, Leo? Sangat menjiwai sampai - sampai kamu sendiri aja nggak sadar kalau kita berempat lagi akting. Aku tebak, sampai akhir pun kamu nggak akan sadar kalau tadi nggak aku bisikin. Iya, kan?” ucap Clarissa yang merasa sangat bangga akan bakat terpendam yang dimilikinya beserta ketiga temannya yang lain. “Wkwkwk. Kalian kocak sih. Keren! Jujur sih iya. Kalau tadi si Clarissa nggak ngebisikin aku mungkin aku udah mengacaukan rencana kalian. Makasih banyak ya. Aku nggak tau lagi deh gimana jadinya aku kalau kalian nggak inisiatif buat bantu. Dari tadi aja si Tante udah nyosor mau peluk. Nggak tau lagi gimana jadinya aku kalau semakin lama bareng dia,” ucap Leo yang merasa sangat bersyukur karena telah dibantu oleh teman - temannya. Seperti apa katanya tadi. Leo tidak tahu bagaimana nasibnya kalau mereka tidak muncul dan membantunya. Membayangkannya saja ia sudah enggan, apalagi menjalaninya? “Wkwkwk. Berarti kita semua udah cocok ya kalau jadi pemain sinetron. Gimana kalau kita ikutan casting aja? Siapa tau kan diterima hehe. Akting kita tadi itu natural banget lho menurut aku. Nggak nyangka sih sekali debut langsung keren gitu hasilnya.” Tak hanya Clarissa dan Leo saja yang tak menyangka akan hasil akhirnya. Ana, gadis yang baru saja berucap tadi beserta Luna dan Rayhan pun sama. Skenario yang mereka buat secara asal dan mendadak itu ternyata berhasil mereka mainkan dengan sangat sukses. Bahkan saking suksesnya sampai melesat jauh melebihi ekspektasi mereka sendiri. Karena pada awalnya mereka pikir, drama mereka akan sangat kaku dan garing. Mengingat di antara keempatnya tidak ada satu orang pun yang ahli dan berpengalaman dalam hal seni peran ini. “Tapi kalau menurut saya akting kita nggak akan sebagus, sekeren, dan senatural itu deh kalau nggak karena terpaksa. Mungkin ini yang dinamakan the power of kepepet. Karena kalau beneran kita disuruh untuk akting, misalnya kita dapet tugas untuk tampil berakting di pentas drama. Saya sendiri yakin banget sih kalau akting saya nanti akan kaku banget. Apalagi kalau dadakan dan tanpa latihan kayak sekarang ini. Pasti hancur dan gagal, kecuali kalau sering latihan dan dilatih oleh orang profesional. Kalian tau sendiri kan saya ini orangnya sekaku apa? Hehe,” ucap Rayhan mengutarakan pendapatnya. “Wwkwk. Yah, Ray. Kamu mah kalo ngomong suka nggak sadar tempat. Sukanya matahin semangat orang yang lagi happy! Tuh liat! Ana sama Clarissa sekarang lagi pada manyun, wkwk, “ ucap Leo seraya mengarahkan pandangan matanya ke arah Clarissa dan Ana yang memang benar, kini terlihat sedang cemberut dan menatap kesal ke arah Rayhan. “Hehehe. Maaf saya nggak bermaksud.” Di tengah - tengah rasa sebalnya Ana dan Clarissa terhadap Rayhan setelah mendengar ocehan asalnya laki - laki itu, Ana baru sadar kalau ternyata sejak tadi hanya ia, Clarissa, Rayhan dan juga Leo yang bersuara. Ke mana perginya suara cerewet Luna? Gadis tomboy itu biasanya paling hobi kalau soal mengobrol, bergosip, bahkan berdebat. Tapi kenapa sejak tadi gadis itu hanya memilih untuk diam? Diam membisu seraya memainkan kedua jari tangannya dengan kepala yang menunduk dalam. Sebenarnya ada apa dengan Luna? “Hey, Lun! Diem - diem aja kamu dari tadi. Nggak lagi tidur kan?” tanya Ana penasaran seraya menyenggol pelan tubuh Luna yang berada di sebelah kanannya. “Iya juga. Biasanya kamu yang paling ceriwis, Lun,” ucap setuju Clarissa. “Lagi tidur apanya? Nggak liat ini kedua mata aku sekarang lagi melek? Sepelor pelornya aku ya kali tidur sambil berdiri, di tempat umum dan rame lagi.” “Ya siapa tau aja, Lun, hehe. Terus kamu kenapa? Laper? Sakit gigi? Kok tumben banget jadi pendiem.” “Nggak, aku nggak papa kok,” jawab Luna yang kemudian kembali menundukkan kepalanya dalam, yang berhasil membuat Ana dan Clarissa saling bertukar pandang. Merasa bingung dan tak mengerti dengan perubahan sikap Luna saat ini. “Aduh! Ini aku kenapa sih? Perkara minta maaf aja susahnya minta ampun. Ayolah Luna, jangan jadi orang yang gengsian!” ucap kesal Luna dalam hati, yang ditujukan untuk dirinya sendiri, dikarenakan ia yang lebih mementingkan ego dan gengsinya dibandingkan dengan yang lain. Luna tahu dan sudah menyadari bahwa perlakuannya terhadap Leo tadi sudah keterlaluan. Ia sudah memiliki niatan untuk meminta maaf, namun belum juga terealisasikan karena perasaan gengsinya yang sangat tinggi. Apalagi orang yang harus ia mintai maaf adalah Leo, laki - laki paling menyebalkan yang ia benci. “Ray! Kita ngapain yuk? Quality time berdua gitu. Diem mulu di sini bukannya semangat buat olahraga supaya sehat, aku malah nyusahin diri sendiri bahkan mempermalukan diri sendiri. Kita cari tempat buat nge-gym atau apa kek. Yuk!” ucap Leo diiringi dengan ucapan menyindirnya kepada seseorang, kemudian mengajak Rayhan untuk segera pergi dari tempat itu, seraya merangkulkan tanganya ke pundak Rayhan. “Ayo! Saya setuju. Kalau nggak salah di daerah deket sini ada tempat untuk nge-gym deh.” “Nah, cocok itu! Ke sana sekarang aja kalau gitu. Takutnya keburu rame. Aku yakin yang punya ide kayak gini bukan hanya kita. Mmm, Ana.. Clarissa.. kita berdua pamit duluan ya! Kalian berdua pulangnya hati - hati. Bye!” ucap Leo yang kemudian segera menarik Rayhan agar segera pergi dari sana. Meninggalkan ketiga gadis yang kini sedang menatap kecewa ke arah keduanya. “Tuh, kan. Apa aku bilang tadi? Aku harusnya segera minta maaf! Si Leo kayaknya gedeg banget deh sama aku. Dari tadi paling anti yang namanya natep, nyapa, sampai pamit pun fokusnya cuma sama Ana dan Clarissa doang. Dari tadi yang dianggep ada keberadaannya cuma Ana dan Clarissa! Nah aku segede dan setinggi ini dia anggap apa coba? Pohon? Gerobak bakso, atau apa? Nggak mungkin kan kalau aku nggak keliatan?” ucap kesal Luna dalam hati. “Yah, si Rayhan kok malah pergi sih. Itu si Leo katanya mau bantu aku, kok malah dia yang ngajakin Rayhan pergi. Itu mah namanya bukan bantu buat ngedeketin, tapi justru bantu buat ngejauhin! Temen macam apa dia?!” ucap kesal Ana seraya menatap kepergian Rayhan dan juga Leo dengan tatapan penuh kecewa. “Iya ya. Apa serunya sih kalau main cuma berdua? Kenapa nggak ngajak kita buat gabung aja coba? Berlima kan lebih seru. Rame!” Clarissa pun sama kesalnya dengan Ana. Ia menyayangkan pilihan Leo dan Rayhan untuk memilih pergi dengan hanya berdua. “Kalian nggak perlu nyalahin mereka. Kalau memang harus ada yang perlu disalahin di sini, itu aku orangnya! Si Leo tadi buru - buru ngajak Rayhan pergi dari sini pasti gara - gara aku. Dia kesel mungkin sampai benci sama aku gara - gara dua kejadian tadi. Dan aku, kalau ada di posisi dia juga mungkin akan melakukan hal yang sama. Target yang aku pilih buat dia kan nggak ada yang bener. Dua - duanya punya resiko yang berat. Satu bisa bikin kita babak belur, satunya lagi bikin kita malu setengah mati. Pasti jadi kenangan yang sulit untuk dilupakan sih. Aku sendiri aja kayaknya ogah buat ngelakuin semua itu. Emang bener, aku udah keterlaluan banget sama dia. Salahnya lagi, aku tadi harusnya langsung minta maaf setelah kejadian tadi. Bukannya malah lebih mementingkan gengsi. Gini kan jadinya?” ucap Luna yang ditutup dengan memperlihatkan raut wajah cemberutnya ke arah dua sahabat tercintanya itu. “Jangan ngomong gitu! Mungkin itu cuma perasaan kamu aja kali. Padahal aslinya mungkin Leo merasa biasa aja. Dia nggak mempermasalahkan kejadian tadi. Jangan langsung dimasukkan ke hati,” ucap Ana bermaksud untuk menenangkan Luna. “Iya, Lun. Cuma perasaan kamu aja kali.” “Nggak mempermasalahkan apanya? Dia keliatan nggak biasa kok dari tadi. Kaliannya aja mungkin yang nggak sadar. Si Leo itu dari tadi nggak nganggep keberadaan aku lho. Apa - apa yang disebutnya kalian berdua. Sampai pamit pun, yang baru aja kejadian tadi. Pamit dan natepnya kan sama kalian berdua aja. Aku mah dilirik aja nggak.” “Cemburu nih ceritanya?” “Lho?! Kok cemburu sih? Nggak ke situ arahnya! Intinya dia lagi marah besar sama aku karena kejadian - kejadian tadi. Ditambah lagi akunya yang nggak langsung minta maaf sama dia. Ya, mungkin dia nyangkanya aku nggak merasa bersalah kali sama dia. Ya makin - makinlah tingkat kemarahan dia sama aku. Makanya tadi itu dia buru - buru ngajak Rayhan untuk pergi dari sini. Pasti tujuannya untuk ngehindarin aku.” “Tapi bukannya kamu juga nggak suka sama dia? Benci? Kalau gini kan bagus. Kamu jadi nggak digangguin lagi sama dia.” “Iya sih. Tapi kalo ini kasusnya beda lagi. Walaupun aku nggak suka sama dia, udah nganggep dia sebagai musuh, ya kalau aku salah ya harus minta maaf kan? Sama halnya kalau misal aku saking kepepetnya harus ngutang uang ke dia, terus dia jadi marah besar sama aku karena aku lupa balikin atau bahkan nggak niat balikin. Aku yang salah kan? Walaupun aku nggak suka sama dia, kewajiban bayar hutang harus tetap dijalankan. Begitu juga kewajiban meminta maaf. Iya nggak, Ustadzah?” ucap Luna yang diakhiri dengan menolehkan wajahnya ke arah Clarissa, seraya menaik turunkan kedua alisnya dengan kompak saat mengucapkan kata sapaan itu. “Maa Syaa Allah.. murid aku pinter sekali sih!” “Siapa dulu dong, Luna! Mmm, jadi gimana nih? Bantuin dong. Kayaknya gara - gara saking keselnya aku sama dia, aku jadi ngerasa gengsi banget deh kalau harus minta maaf sama dia.” “Itulah godaannya. Jangan diikutin! Itu namanya tipu daya setan. Mereka justru sangat senang kalau ada dua orang bahkan lebih yang nggak jadi saling memafkan. Mereka seneng kalau kita saling bermusuhan,” ucap Clarissa bermaksud untuk menasehati Luna, yang mengakibatkan gadis tomboy itu langsung mengembuskan napasnya kasar setelah mendengarnya. “Jadi aku harus maksain diri buat minta maaf sama dia gitu?” “Sepertinya kamu udah tau apa jawabannya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN