Part 16

3476 Kata
Saat kata “Aku dukung kok” terucap dari mulut Luna yang terkadang random. Kadang terdengar manis, pahit, bahkan sangat dingin. Terdengar seperti suara teriakan penuh suka cita di seberang telepon. Membuat Luna yang meski tak dapat melihat bagaimana raut wajah kesenangan sang sahabat, ia dapat merasakan bagaimana senangnya perasaan sahabatnya itu meski hanya lewat suara. “Seneng banget kayaknya ini anak. Semoga selamanya begitu yaa,” doa Luna tulus dalam hati. (“Beneran dukung nih?”) “Kamu nanya itu lagi pengennya aku berubah pikiran atau gimana nih?” (“Ish! Ya jangan dong. Sebagai sahabat yang baik kamu harus selalu dukung apa yang membuat sahabatnya senang dan bahagia.”) “Ya, ya, ya.” (“Cara kamu ngasih aku dukungan gimana, Sis?”) “Ya seperti yang kamu bilang tadi. Sebagai sahabat yang baik, aku harus selalu dukung kamu, apa pun yang bisa buat kamu senang dan bahagia.” (“Iya. Yang aku maksud, bentuk dukungan kamu seperti apa?”) “Apa ya? Doa lah yang pasti. Aku doakan semoga pilihan hidup yang kamu pilih, adalah yang terbaik. Entah itu menikah, atau tidak. Pokoknya doa yang terbaik aja buat kamu. Yang penting kamu senang, bahagia, aku akan dukung.” (“Yah.. kalau doa mah harus dong. Wajib pake banget pokoknya. Kamu kan sahabat aku. Apa itu tadi, entah itu menikah atau tidak? Jangan gitu dong, Lun. Ya menikah lah. Itu salah satu mimpi besar aku. Menikah dan mempunyai keluarga yang bahagia hingga ke anak cucu. Aku seneng banget kamu mau dukung dan doain yang terbaik buat aku. Mmm, ini bukan ngelunjak ya.. Tapi di tahap aku yang sedang berusaha, sedang berjuang untuk mendapatkan hati seorang Rayhan, aku nggak hanya butuh dukungan berupa doa dari kamu, Lun. Aku juga butuh bantuan yang lain dari kamu. Masa kamu tega sih? Ngebiarin aku, yang padahal selalu diperebutkan dan dikejar - kejar laki - laki, harus berjuang untuk mendapatkan sang pujaan hati seorang diri? Bantuin lah!”) “Ya kalau nggak mau repot, apa susahnya sih tinggal milih apa yang ada? Kan banyak yang juga lagi perjuangin cinta kamu. Dari pada kamu repot sendiri, pusing sendiri, capek sendiri, mending tinggal cap cip cup deh salah satu dari mereka. Kamu tau sendiri berjuang untuk mendapatkan hati seseorang itu nggak mudah. Mereka yang berjuang untuk mendapatkan hati kamu juga sama. Toh si Rayhannya aja biasa aja kan sama kamu? Mungkin kalau dia suka sama kamu, dia juga akan berjuang sama kayak yang lain.” (“Nggak semudah itu, Lun. Aku sukanya sama Rayhan. Nggak bisa lah hanya karena banyak yang merjuangin aku, aku harus milih salah satu dari mereka, dan mengabaikan perasaan aku sendiri. Lagian menikah itu kan proyek seumur hidup. Bukan satu bulan dua bulan, bukan satu tahun dua tahun. Jadi harus pakai hati. Nggak bisa sembarangan. Dan soal perasaan Rayhan, dia itu berbeda, Lun. Bagi aku dia laki - laki spesial yang nggak gampang buat obral cinta. Bilang suka sama orang. Dia pintar dalam menjaga hati. Ahhh, pokoknya nggak ada habisnya deh kalau terus ngomongin kelebihan dia. Pokoknya aku mau berjuang! Apa pun nanti hasil akhirnya, setidaknya aku harus berjuang dulu. Nggak ada salahnya kok kalau perempuan memperjuangkan cintanya. Asalkan caranya benar. Nggak curang. Nggak menipu. Kan ada tuh, perempuan yang supaya bisa dapet laki - laki idamannya, dia rela buat ngelakuin segala macam cara. Itu cara yang salah dalam memperjuangkan perasaan.” “Tapi setiap rasa nggak selamanya harus diperjuangin kan? Kalau tau perasaan yang kita miliki itu salah, ya jangan diperjuangin.” (“Contohnya?”) “Contohnya pelakor, perebut laki orang. Perebut pacar orang, dan yang sejenisnya. Itu perasaan yang salah. Suka sama seseorang yang udah terikat dengan pasangannya, ya jangan diganggu gugat. Dengan alasan pengen memperjuangkan perasaan lah. Apa lah. Nggak bener itu. Selain dia jatuhnya jadi menyakiti hati perempuan, yang padahal dia juga seorang perempuan. Dia juga telah menyakiti hati anak - anak mereka. Anak - anak yang nggak bersalah tapi harus ikut terluka karena ulah keserakahan satu dua orang. Kehilangan kasih sayang orang tua yang utuh, bahkan bisa menimbulkan efek trauma. Aku benci banget tuh sama yang kayak gitu. Si ceweknya nggak tau diri. Nggak tau malu. Si lakinya yang dipikirin cuma nafsu melulu.” Tuh kan, Luna jadi curhat. Wkwk. (“Ya kalau itu sih aku juga setuju. Terlalu memaksakannya bener - bener. Udah tau nggak jodoh tetep aja maksa. Kalau kata orang - orang zaman sekarang, palingan juga nggak bakalan berkah. Mungkin awal - awal masih manis, lama – lama bisa pahit. Sering berantem, kena karma karena diselingkuhin lagi, pokoknya ada aja deh. Nggak bakal tenang dan tentram hidupnya.”) “Terus kamu maunya aku bantu apalagi selain doa? Kalau aku ikut ngejar - ngejar Rayhan, ikut usaha buat ngeluluhin hatinya Rayhan. Nanti yang ada, meski aku nggak suka dan nggak ada perasaan sama dia sama sekali, dia jadinya suka sama aku lagi. Kan gimana? Berabe urusannya!” (“Nggak kok bukan kayak gitu. Untuk saat ini, jadi kan aku dapet info dari orang terpercaya kalau si Rayhan mau CFD-an gitu di daerah sekitaran monas. Aku pengen ke sana. Kamu temenin aku ya? Clarissa juga ikut kok. Biar agak ramean gitu kalau kita dateng bertiga. Ya? Kamu ikut ya, Lun?”) “Kan kamu tau sendiri kalau hari Minggu aku sukannya me time di rumah. Tiduran. Kalian pergi berdua aja deh ya?! Lagian kan daerah sekitaran monas itu luas banget, Na. Kamu yakin bakal ketemu Rayhan di sana? Kalau nggak pasti mah nggak usah deh. CFD capek banget tau. Nanti yang ada bukannya berhasil PDKT-an sama Rayhan, malah dapet capeknya aja lagi.” (“Yah, Lun. Kali - kali napa nggak tidur seharian. Kamu ikut selain dukung sahabat, jadi lebih produktif loh waktu luangnya. Olahraga itu menyehatkan tau! Ikut aja ya? Udah, pokoknya kamu harus ikut. Aku janji nggak akan percuma kok kita ke sana. Aku udah janjian sama orang kepercayaan aku tempat ketemuan kita di mana. Dan kita merencanakan supaya pertemuan itu terjadi karena kebetulan bukan kesengajaan. Pokoknya epik banget deh. Jadi kamu harus ikut! Nggak mau tau!”) “Ya udah kalo maksa. Iya aku ikut. Kita gimana nih? Ketemuan di mana? Saling samper, atau janjian langsung di sana? Mau satu mobil aja apa semuanya bawa mobil? Tapi repot juga nggak sih nanti naronya. Kan pastinya udah ditutup jalannya. Aduh, aku nggak ada pengalaman CFD-an, Na. Ngikut aja lah baiknya gimana.” (“Aku sebenernya udah ngerencanain juga sih soal gimana kita berangkat dan pulangnya. Jadi kita ketemuannya di rumah kamu aja. Kan lumayan deket tuh sama halte busway. Nanti mobil aku dan Clarissa dititip di kamu. Kita ke halte pesen taksi online, terus ke sananya naik busway deh. Jadi nggak repot soal kendaraannya. Pulangnya pun sama kayak gitu. Naik busway, terus naik taxi online ke rumah kamu. Gitu aja ya? Pokoknya sekarang kita bertiga langsung siap - siap, karena sekitar tiga puluh menitan lagi aku sama Clarissa harus udah ada di rumah kamu. Setelah itu kita langsung berangkat ke halte.”) Mendengar arahan itu, Luna langsung mengarahkan pandangan matanya ke jam dinding. “Wow! Apa kita nggak kepagian, Na? Ini baru jam lima lewat lima belas menit lho! Agak siangan aja lah. Aku juga pengen tidur bentar.” (“Ihhh. Nggak, nggak, nggak! Nggak boleh tidur dulu! Yang ada nanti bablas lagi. Pokoknya sekarang kamu langsung siap - siap. Siapin mau pake baju apa, terus make up. Udah gitu aja. Kalau mau bawa botol minum ya bawa. Mau beli di sana aja ya beli. Udah. Nggak kepagian kok. Aku sama Clarissa nyampe rumah kamu palingan jam enam kurang. Belum lagi nunggu taxi online-nya dateng. Perjalanan dari rumah kamu ke halte. Nunggu busway plus perjalanan busway dari halte ke halte daerah sana. Udah pas, Lun. Udah aku perhitungkan secara matang. Kita nyampe sana nggak akan kepagian, pun nggak akan kesiangan.”) Mengetahui itu Luna hanya bisa mencebikkan kedua daun bibirnya. “Kamu niat banget sih, Na. Sampai udah diperhitungin secara mateng segala semuanya.” (“Haruslah. Biar lebih terorganisir. Kalau nggak gitu rencananya bisa gagal total. Ini namanya mempersiapkan dengan matang! Usaha nggak boleh setengah - setengah dong. Harus maksimal.”) “Iya, iya. Ya udah sana gih siap - siap. Aku tunggu di rumah. Bilangin juga sama si Clarissa supaya dateng on time. Nanti kita udah nyiapin dan nyusun teknisnya secara mateng, dianya dateng telat lagi. Kan kalo gitu aku mendingan tidur dulu.” (“Iya, iya. Kamu ini! Dari tadi pikirannya nggak jauh - jauh dari tidur. Si Clarissa nggak usah ditanya. In syaa Allah dia dateng on time. Emangnya kamu? Pakenya jam karet? Apa - apa datengnya suka ngaret.”) “Hehe. Ya udah. Bye. Aku mau siap - siap.” (“Beneran lho ya langsung siap - siap!”) “ Astaghfirullah.. kamu kok nggak percayaan banget sih. Iya ini langsung siap - siap.” Tanpa menunggu balasan jawaban dari seberang telepon, Luna langsung memutus sambungan secara sepihak. “Ngomel - ngomel, ngomel - ngomel, dah! Gara - gara aku main asal matiin telepon. Lagian nyebelin banget jadi orang. Aku mau tidur seharian malah diajakin olahraga. Kan berkebalikan banget kegiatannya. Pengen santai - santai malah jadinya capek - capek,” ucap Luna menggerutu, seraya mulai bangkit dari tempat tidurnya, kemudian berjalan menuju lemari pakaian untuk memilih pakaian apa yang akan ia kenakan hari ini. “Pake baju apa ya? Aku kan jarang banget sama yang namanya olahraga. Hampir nggak pernah malah. Mana punya aku baju olahraga. Ada sih, tapi itu udah buluk banget. Seragam olahraga waktu SMA lagi. Kan nggak lucu kalau nanti aku pake itu. Yang ada jadi bahan olokan si Ana dan Clarissa lagi,” ucapnya bingung seraya terus memilih pakaian apa yang akan ia kenakan. “Ini aja lah. Yang penting bisa nyerep keringet. Nggak harus pakai setelan baju olahraga segala. Toh belum tentu juga aku di sana mau olahraga. Di sana kan banyak abang - abang jualan. Dari pada lari - larian, capek, mending jajan ye kan? Itung - itung nostalgia jajanan zaman sekolah dulu. Pasti banyak banget di sana,” ucap Luna yang kali ini mulai tumbuh rasa semangat untuk menemani Ana CFD-an di Monas, setelah ia mengingat kalau di sana kita bukan hanya bisa berolahraga. Namun bisa berwisata kuliner juga. Semangat karena meskipun rencananya untuk tiduran seharian ini gagal, setidaknya sebagai pengganti ia bisa berwisata kuliner di sana. Karena makan, adalah salah satu hobi favoritnya selain tidur. Luna mengambil satu buah kaos berwarna hijau lumut, dan juga celana panjang berwarna hitam. Memperlihatkan gambaran ia jika memakai itu di depan kaca, kemudian bergegas memakainya setelah dirasa cocok dan membuatnya terlihat keren. “Hmm, oke juga. Keren banget!” ucapnya senang dan bangga seraya menatap kagum ke arah cermin. “tadi apa lagi ya kata Ana setelah nyiapin pakaian? Ohh, make up. Nggak perlu pake acara make up - make up segala lah. Sejak kapan aku suka make up? Ke kampus aja no make up,” lanjutnya lagi. Mengabaikan saran Ana untuk memakai make up, Luna lebih memilih untuk mengikat rambut panjangnya seperti dikuncir kuda. Dengan alasan agar nantinya ia tidak mengalami kegerahan meski ia tak yakin ia akan ikut berolahraga.“Waaaw. Selesai deh. Ehh, tapi kayaknya ada yang kurang deh. Tapi apa ya?” ucapnya seraya mulai berpikir sejenak. “Aha! Topi! Kayaknya kalau aku pake topi jadi makin keren deh. Apalagi aku yakin di sana pasti panas.” Luna pun bergegas mengambil topi dengan warna yang senada dengan outfitnya saat ini. Kemudian memakainya dan kembali berkaca di depan kaca. “Nah, sekarang kan jadinya kece abis. Wkwk.” Setelah dirasa dirinya sudah siap, Luna pun melangkahkan kakinya menuju keluar kamar. Niatnya ia ingin menunggu kedatangan kedua sahabatnya di lantai bawah saja. Kemunculannya di lantai bawah tentu saja menimbulkan tanda tanya bagi sang Mama dan sang Adik yang kini sedang melangsungkan sarapan pagi bersama. Bahkan keduanya pun saling lirik dan saling melempar tanya lewat tatapan mata mereka. “Lho? Sayang.. hari ini masih hari Minggu lho. Masih hari libur. Kamu nggak ada jadwal kuliah,” ucap sang Mama bermaksud ingin mengingatkan, karena dikiranya Luna salah mengingat hari. “Wkwkwk. Dikirannya udah hari Senin ya, Kak? Makanya kalau punya kalender itu diliat! Jangan cuma dijadiin pajangan doang! Salah ngira hari malu nggak tuh? Wkwkwk. Malu lah, malu lah, masa nggak?! Wkwkwk. Kak, Kak. Kelakuan suka ada – ada aja,” cibir Angga yang diselingi dengan tawa puasnya. “Hehe, iya, Mah. Luna tau kok kalau hari ini masih hari libur,” ucap Luna seraya mulai mendudukkan dirinya di kursi kebesarannya, di ruang makan. Ia tidak akan ikut makan, hanya minum segelas air putih seraya menemani sang Mama dan sang Adik melangsungkan sarapan pagi. “Masa? Palingan cuma ngeles doang supaya nggak malu. Padahal ngaku aja kali, Kak. Wajar kok kalau salah ngira hari.” “Nggak. Kakak emang nggak lupa. Kakak tau sekarang ini hari Minggu,” ucap Luna meyakinkan. “Kalau tau hari ini hari Minggu, kok tumben sih keluar kamar. Biasanya juga ngunci diri seharian. Tidur dari pagi ketemu pagi.” “Lebay ah! Nggak dari pagi ketemu pagi juga kali. Aku mau olahraga. CFD-an bareng Ana dan Clarissa, makanya sekarang udah rapi,” ucap Ana yang diakhiri dengan ia yang memamerkan deretan giginya yang rapi. “Masa? Kesambet apaan kamu, Kak? Tumben - tumbenan kepikiran buat olahraga. Kirain yang dipikirin cuma tidur, makan. Tidur, makan, doang. Hahaha.” Mendengar kalimat tanya itu kembali diucapkan oleh sang Adik, Luna melemparkan satu buah kerupuk kecil ke arah sang Adik seraya memberi tatapan kesal. “Masa, masa mulu! Iya, aku mau olahraga. Nggak percayaan banget sih jadi orang! Nanti tanya aja sama Ana dan Clarissa. Bentar lagi mereka juga nyampe kok.” “Ish! Nggak seru banget deh. Keselnya pake acara ngelempar kerupuk segala lagi. Itu minyak tau, Kak! Nggak baik buat wajah ganteng aku. Bisa - bisa wajah mulus aku ini berminyak dan berjerawat nantinya!” “Aamiin,” ucap Ana dengan suara lantang, seraya menengadahkan tangan kemudian mengaminkannya. Sontak saja melihat hal itu sang Adik semakin meradang dibuatnya. Ia bahkan menatap syok ke arah sang Kakak. “Lho, Kak. Kok malah diaminin sih? Jahat banget! Amit, amit. Amit, amit. Wajah mulus nan gantengku ini jangan sampai minyakan dan jerawatan. Jangan sampai!” “Lho? Kan ucapan itu adalah doa. Kamu sendiri tadi yang bilang kayak gitu. Kirain emang mau! Makanya aku ikut aminin. Hahaha.” “Nggak lucu banget asli! Ya kali ada orang yang mukannya udah mulus, udah ganteng, malah pengennya berminyak dan jerawatan. Yang bener aja!” “Ya bisa jadi ada.” “Mana ada!” “Jangan sotoy! Jangan sok yakin! Nggak ada yang nggak mungkin lho. Yang kulitnya item pengen putih. Yang kulitnya udah putih juga ada aja yang pengen item, padahal mah biar apa kan? Jadi nggak ada yang nggak mungkin, Angga!” “Terserah!” “Yehh ter—“ Ting nong, ting nong. “Udah tuh bukain pintunya. Temennya datang kali. Sana! Hush, hush!,” ucap Angga bermaksud untuk mengusir, didukung dengan gerakan tangannya yang seperti sedang mengusir seekor ayam dari halaman rumah. “Kurang ajar banget jadi Adik! Nggak sopan tau! Tanpa kamu usir juga aku udah pasti bakal bukain pintu buat mereka.” “Ya udah sana.” Dengan kedua daun bibir yang masih saja terus mendumel tidak jelas, Luna melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Untuk membukakan pintu, untuk kedua sahabatnya. Ting nong, ting nong. Ting nong, ting nong. “Iya sebentar. Ini lagi jalan. Emang dikira aku jin apa? Yang sekali kedip dari yang tadinya di ruang makan tiba - tiba ada di depan pintu? Kan harus jalan dulu,” gerutunya seraya terus berjalan. “Iya sebentar.” Ceklek, “Assalamu’alaikum, Luna yang cantiknya always on meski tanpa make up,” sapa Ana riang saat keberadaan Luna sudah ia lihat dengan jelas. Luna telah membukakan pintu untuknya dan Clarissa. “Wa’alaikumussalam. Hey, Bund! Itu maksudnya lagi muji atau lagi ngehina nih? Cantiknya always on apanya? Justru nggak pake make up yang ada buluk keliatannya. Kalian berdua ini yang selalu pake make up yang cantiknya always on! Bisa banget ya ngehina dengan cara halus.” Mendengar jawaban Luna yang diluar ekspektasi Ana, karena dipikirnya Luna akan merasa senang bukan kepalang setelah ia puji, Ana langsung membekap mulut Luna dengan tangan kanannya. “Sutt! Pagi - pagi nggak boleh suudzhon ah sama orang. Aku beneran muji kok. Kamu itu cantik natural, cinta! Nggak ada tuh niatan buat ngehina. By the way, ini tamu dibiarin di luar aja nih ceritanya? Mau langsung berangkat aja atau gimana?” “Mmmmppp, mmppp.” Luna yang mulutnya masih dalam bekapan tangan Ana, tentu saja tak bisa mengeluarkan suaranya. “Itu tangannya dilepasin dulu kali, Na! Wkwkwk. Gimana si Luna mau ngomong kalau tangan kamu masih betah nangkring di depan mulutnya dia?!” ucap Clarissa bermaksud untuk mengingatkan Ana, diselingi dengan derai tawanya yang terdengar cukup anggun. “Eh iya. Wkwk. Maaf, maaf.” Ana pun melepaskan bekapan tangannya. Menjauhkan tangan kanannya dari depan mulut Luna. “Kamu ini! Untung aku nggak kehabisan oksigen. Ya udah yuk masuk dulu. Ada Mama dan Angga lagi sarapan. Kalian mau sarapan dulu atau nggak nih?” ucap Luna, mengajak kedua sahabatnya agar berjumpa terlebih dahulu dengan sang Mama, sekaligus menawari kedua sahabatnya untuk sarapan pagi terlebih dahulu sebelum berangkat. “Mmm, langsung berangkat aja deh, Lun. Sarapannya nanti aja di sana,” tolak Ana secara halus. “Oh, ya udah kalau gitu. Setidaknya kita pamitan dulu ya sama Mama,” saran Luna yang diangguki oleh kedua sahabatnya, Ana dan Clarissa. Dan ketiganya pun mulai memasuki area dalam rumah Luna semakin dalam menuju ruang makan, tempat di mana Mamanya Luna dan Angga berada. “Selamat pagi, Tante,” sapa Ana dan Clarissa secara kompak, di saat ketiganya sudah berada di ruang makan. “Selamat pagi.. Ternyata betul ya kalian bertiga mau olahraga?” ucap Mamanya Luna setelah memerhatikan bagaimana penampilan Ana dan Clarissa yang sudah tiba di hadapannya. “Ya Allah, Ma. Kirain dari tadi diem tuh Mama percaya sama Luna kalau Luna mau olahraga. Eh ternyata sebelas dua belas sama Angga. Sama - sama nggak percaya kalau Luna si anak yang hobinya tidur ini mau olahraga pagi - pagi begini,” komentar Luna seraya mencebikkan kedua daun bibirnya. “Wkwkwk. Percaya kok, Sayang,” jawab sang Mama yang kembali berhasil membuat Luna kembali tersenyum riang. “Mama ini kalau bercanda suka bikin jantungan aja deh,” celoteh Luna dalam hati. “Mama tadi nanya cuma mau mastiin aja, hehe,” lanjut sang Mama yang kali ini berhasil mematahkan senyuman riang Luna. Gadis tomboy itu kembali mencemberutkan kedua daun bibirnya. Juga berhasil, mengundang derai tawa Clarissa, Ana, dan juga Angga yang sejak tadi memerhatikan mereka. “Yah, Mama. Kalau itu mah sama aja dong, Ma. Mama artinya nggak percaya sama aku. Sama aja kayak Angga.” “Hehe, yang penting kan sekarang udah percaya. Ya udah sekarang kalian makan dulu aja gih sebelum berangkat, biar nanti olahraganya ada tenaganya, nggak lemes. Kebetulan Mama masak banyak kok hari ini.” “Makasih, Tante. Kita makannya nanti aja di sana. Pengen buru - buru nyampe sana hehe,” tolak Ana secara halus yang dianggukki juga oleh Clarissa. “Iya, Tante. Kita makannya nanti aja di sana. Terima kasih atas tawarannya.” Mamanya Luna tersenyum penuh arti ke arah ketiganya setelah mendengar jawaban mereka. Apalagi setelah mendengar Ana berucap “pengen buru – buru nyampe sana” . “Hayoo.. kalian bertiga mau ketemuan sama siapa sampe buru buru begitu? Hmm,” ucap Mamanya Luna, menggoda ketiga gadis yang berada di hadapannya. “Kalo aku sih nggak mau ketemuan sama siapa - siapa, Ma. Cuma mau nganterin Ana ketemuan sama ehem - ehemnya,” jawab jujur Luna, sekaligus ia tak ingin membuat sang Mama berharap lebih kepadanya. Kan bisa bahaya kalau mengira Luna sudah punya calon, tau - taunya nggak. Sang Mama bisa kecewa berat. “Kamu nggak punya ehem - ehem kayak Ana, Sayang?” tanya sang Mama penasaran, yang hanya Luna angguki sebagai jawaban. “Yah, padahal Mama berharap banget kamu juga punya ehem - ehem.” “Tenang, Tan. Di sana sudah kita siapkan seseorang yang saaaangat spesial untuk Luna,” celetuk Ana yang berhasil membuat semua pasang mata yang berada di sana bereaksi secara bersamaan. Semuanya terkejut, tentu saja kecuali Ana. “Ngomong apaan sih kamu, Na? Jangan ngaco!” ucap kesal Luna. “Seriusan, Nak Ana? Kalau iya Tante seneng banget ini,” ucap Mamanya Luna penuh antusias. “Iya, Tante. Tante tenang aja. Spesial deh pokoknya. Kalo Luna nggak suka sama orang itu, kan di sana banyak orang tuh. Laki- laki juga udah pasti banyak. Tinggal cap cip cup dapet deh.” Seseorang yang disiapkan khusus untuk Luna? Ada yang bisa menebak dia yang Ana maksud siapa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN