Part 4

1882 Kata
Sesampainya di rumah, Luna langsung melangkahkan kakinya menuju ruang kamar tidurnya. Selain melemparkan tasnya secara asal ke atas tempat tidur, ia pun turut melemparkan tubuhnya ke atas kasur empuk favoritnya. “Mmmhh, kangen banget aku sama kalian. Seharian di luar rumah rasanya rindu banget sama kalian. Sangggat rindu,” ucapnya dramatis dengan salah satu tangan memeluk erat sebuah guling, dan salah satu tangan lainnya mengusap-usap penuh kasih sayang sisi bagian kasur yang masih kosong. “Mmm, pokoknya aku harus agendain untuk seharian bareng kalian. Dua puluh empat jam bareng kalian kayaknya seru banget deh. Nyaman, seru, dan asyik. Nggak apa-apa deh nggak makan, itung-itung puasa dan diet. Yang penting bisa full time bareng kalian. My favorit bantal kesayangan satu, my favorit bantal kesayangan dua, my favorit guling kesayangan, dan yang paling-paling ku sayang my favorit kasur empuk kesayangan,” ucap Luna kembali dengan salah satu tangan yang mulai mengabsen benda-benda kesayangannya, dengan menyebutnya secara lebay dan mengusap-usapnya dengan penuh cinta dan kasih sayang. “Kayaknya baju kalian udah mulai buluk ya? Nanti aku beliin baju baru deh buat kalian. Yang keren pokoknya!” “Gelo!” ucap seseorang secara lantang di salah satu sudut ruangan. (gelo = gila) Luna yang sedang asyik bercelotoh dengan barang-barang kesayangannya langsung memelototkan matanya lucu saat mendengar satu kata itu terucap entah bersumber dari mana. “Gelo? Suara siapa itu? Perasaan kamar tadi udah aku kunci deh. Mmm, mungkin aku salah denger. Atau bisa jadi juga itu hanya halusinasiku aja . Wkwk, dasar halu! Well, wahai diri! Kamu nggak gila! Kamu hanya terlalu sayang dan cinta dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan yang namanya tidur,” ucap Luna membela diri, yang lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. Mengingat ia si pecinta tidur. Seorang gadis cantik namun tomboy yang sejak kecil sampai sekarang, jika ditanya tentang hobi, kegiatan fovoritnya. Ia tanpa ragu, malu, dan dengan percaya diri akan menjawab bahwa hobinya adalah tidur. Karena memang sesuka itu ia dengan yang namanya tidur. Hingga semua hal yang berhubungan dengan tidur, seperti medianya (kasur, bantal, guling), menjadi benda-benda fovoritnya bahkan hingga ia beri nama. Saking sukanya Luna dengan yang namanya tidur, ia bahkan pernah tiga kali dua puluh empat jam hanya berdiam diri di kamar tidur dengan berbekal beberapa botol air mineral. Seperti yang bisa kalian tebak, kegiatannya sudah dapat dipastikan kalau selama itu ia hanya tidur, tidur, dan tidur. Makan pun tidak. Hanya air mineral sebagai satu-satunya asupan energinya yang masuk. Dan mungkin saja kalau sang Mama dan sang Adik tidak segera membujuknya dengan berbagai macam iming-iming, janji dan yang lainnya sebagai bujukan agar ia mau untuk keluar dari kamar dan berhenti untuk tidak terus-terusan tidur, ia akan melanjutkan kegiatan favoritnya itu hingga seminggu. Sudah pantaskah Luna mendapatkan julukan si putri tidur karena hobi favoritnya itu? (Tapi itu bukan suatu hal yang baik ya! Tidak untuk ditiru. Karena segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Maka lakukan segala sesuatu yang sewajarnya saja.) “Kira-kira baju bermotif apa ya yang cocok buat kalian? Mmm, bunga? Kayaknya terlalu cewek banget. Nggak deh, jangan. Gimana kalau full bertemakan super hero? Kalau ini kayaknya keren juga. Tapi apa nggak kekanak-kanakkan ya? Ah, ribet banget ya ternyata mikiran baju buat kalian!” kembali, Luna memikirkan tentang rencananya yang ingin membeli baju baru untuk benda-benda favoritnya. “Motif donal bebek kayaknya lucu tuh!” Suara seseorang yang kembali terdengar, tentu saja kembali membuat Luna memelototkan kedua matanya lucu. “Fix! Ini sih bukan aku yang halu. Tapi memang sepertinya ada penyusup yang masuk kamar kesayangan aku tanpa izin,” ucapnya kesal dan penuh dengan rasa yakin, mengingat suara yang terdengar kali ini lumayan panjang, dan setelah dipikir-pikir, dia hafal betul tipe suaranya. “ANGGA!!!” teriak Luna kesal seraya menyebutkan nama sang Adik yang terkadang amat sangat menjengkelkan itu. “Hahaha. Apa, Kak? Jangan teriak-teriak ih! Sampai pengang ini telinga aku,” ucap Angga dengan kedua tangan yang langsung ia letakkan ke kedua telinganya. Bermaksud untuk menutup dan melindungi kesehatan salah satu panca indranya dari teriakan super kencang sang Kakak. “Kamu ini bener-bener ya. Nggak sopan tau nggak?! Main asal masuk kamar Kakak aja. Ketuk pintu dulu kek! Ucap salam! Kakak aja kalau masuk kamar kamu izin dulu,” ucap Luna mengomeli sang Adik yang bukannya takut atau apa, justru cengengesan tak jelas di tempat berdirinya saat ini. “Kenapa muka kamu kayak gitu? Emang ada yang lucu? Nggak ada tau! Dasar aneh! Dimarahin dan dinasehatin bukannya takut malah cengengesan nggak jelas. Sana keluar! Ganggu orang aja kerjaannya,” kesal Luna dan mulai beraksi untuk mengusir sang Adik. Dapat dilihat dari ia yang kini sedang mengibas-ngibaskan kedua tangannya seperti seseorang yang sedang mengusir ayam dari pekarangan rumahnya. Seraya berkata, “hush, hush, hush!” “Apa sih, Kak? Emang aku ayam apa? Pakai acara di hush hush segala?!” “Iya!” “Iya?” Angga mengeleng-gelengkan kepalanya lucu seraya menatap Luna dramatis. “Tega kamu, Kak! Tega! Masa orang ganteng dan keren kayak gini disamain sama ayam? Jahat kali Kakak ini! Wah, kayaknya Kakak harus kontrol ke dokter mata deh. Siapa tau—“ “Siapa tau apa? Mata Kakak alhamdulillah masih sehat wal ‘afiat kok. Kamu ini kalau ngomong suka nggak difilter!” Luna berucap kesal seraya memperlihatkan ekspresi wajah yang sangat mencerminkan bagaimana kondisi dirinya saat ini. “Kak, Kak. Suudzhon banget sih jadi orang. Aku kan nggak berniat buat ngomong yang nggak-nggak. Aku itu khawatir, makanya nyaranin Kakak untuk kontrol. Gitu. Jangan suudzhon! Aku itu justru perhatian dan sayang banget kan sama Kakak?” ucap Angga membela diri seraya mulai mendekat ke arah Luna, dengan kedua tangan yang secara perlahan ia bentangkan lebar-lebar. Dan jangan lupakan raut wajahnya yang ia buat semanis mungkin. “Apa nih maksudnya? Disuruh keluar kamar kok malah makin masuk ke dalam? Terus itu tangan kenapa digituin? Hush, hush! Sana keluar heh. Ini kamar anak gadis kalau kamu lupa.” Luna berucap dengan gerak tubuh yang semakin mundur ke arah belakang. Semakin sang Adik maju ke arah depan, Luna semakin memundurkan tubuhnya ke arah belakang. “Aku hanya ingin membuktikan kalau aku itu saaayaaang banget sama Kakak. Makanya jangan mundur-mundur gitu dong duduknya. Aku ini Adik Kakak lho. Sini.. mau tak peluk..” ucap Angga dan semakin mendekatkan tubuhnya ke arah sang Kakak. Bahkan kini jaraknya sudah semakin dekat dengan sang Kakak, dikarenakan sudah tidak bisa lagi untuk Luna terus bergerak mundur. Mengingat ia sudah berada tepat di kepala kasur. “Ini Kak Luna beneran mau aku peluk tah? Jarak kita hanya sejengkal tangan lho. Maju dikit aja udah bisa pelukan. Hmm, kayaknya dia udah bener-bener pasrah deh. Atau jangan-jangan dia emang ngarep pengen dipeluk sama aku? Si laki-laki ganteng, keren, dan udah pasti good looking ini? Wkwk. Kakak, Kakak. Katanya benci banget sama yang namanya laki-laki. Tapi dipeluk sama laki-laki seneng-seneng aja. Apa artinya coba? Dia kayaknya nggak sadar kalau dia itu butuh kasih sayang dan perhatian dari seorang laki-laki. Apalagi fitrah seorang manusia adalah mempunyai ketertarikan dengan lawan jenis kan? Tapi karena satu alasan, yaitu dia benci terhadap seorang laki-laki, dia jadi meniadakan ribuan laki-laki lainnya yang mungkin saja memiliki sifat seratus delapan puluh derajat berbeda dari laki-laki yang dia benci. Dia mengalami trauma dengan yang namanya cinta dan laki-laki. Kasihan sekali kamu, Kak. Yang salah itu Ayah. Harusnya dia yang menderita. Bukan justru Kakak, dan dia tetap berada dalam kesenangan.” Ucap Angga dalam hati yang mulai merasa melow. Dan ketika tiba saatnya Angga untuk memeluk sang Kakak, ketika kedua tangannya sudah hampir melingkar dengan sempurna di tubuh Luna. Ketika tubuhnya dengan tubuh sang Kakak sudah hampir tak berjarak. Bukannya kehangatan dari pelukan sang Kakak yang dia dapatkan, melainkan sentilan berkekuatan super yang efek sampingnya meninggalkan jejak rasa sakit yang teramat sakit di jidatnya. Saking bertenaganya Luna dalam melakukan aksi tersebut. “AWWW! Kak! Astaghfirullah.. Sakit tau! Kakak ini main seenak jidat aja nyentil jidat orang. Dipikir nggak sakit apa? Sakit banget ini. Bangetnya banget, banget, banget! Wajah itu aset paling berharga tau, Kak. Kalau jidat aku kenapa-kenapa gimana? Aku kan pengen nikah. Pengan punya keluarga yang bahagia,” celoteh Angga yang merasa sangat kesal dengan aksi seenaknya sang Kakak. “Lebay banget ah kamu! Palingan bentar lagi juga udah nggak kerasa sakitnya. Wajah kamu yang menurut kamu ganteng itu juga nggak akan berubah hanya karena aku sentil tadi. Ya kayak gitu aja. Dasar lebay! Dan apa kata kamu tadi? Pengen punya keluarga bahagia? Mimpi kamu, Dek! Kenyataan itu nggak seindah cerita-cerita romantis yang selalu dalam kebahagiaan seperti apa yang sering kamu tonton di televisi atau drama. Kenyataan aslinya itu pahit.” “Lebay, lebay. Aku nggak lebay kok. Apa yang Kakak lakukan tadi itu udah termasuk tindak kejahatan. Ini namanya penganiayaan tau, Kak. Aku bisa laporin Kakak ke polisi lho. Aku tinggal tunjukkin hasil visum ke Pak polisi.” “Udah deh, Dek. Kamu keluar gih. Udah malem. Kakak pengen istirahat. Jangan gangguin Kakak ya, anak manis..” ucap Luna dengan penuh kelembutan, dengan salah satu tangan mengusap-usap puncak kepala sang Adik dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. “Ya udah aku keluar. Kayak gini kek dari tadi. Punya Adek itu disayang-sayang! Dielus-elus dengan penuh kelembutan! Bukannya disentil kayak tadi. Kan jadi enak, hehe.” “Itu sih maunya kamu. Udah sana. Have a good sleep, my sweetheart!” “Kakak panggil aku sweetheart? Ihhh nggak mau! Nggak suka! Gelay tau, Kak!” ucap Angga dengan nada lebay, terkhusus di kalimat-kalimat akhir. Menirukan trend baru akhir-akhir ini ketika merasa atau mendengar sesuatu yang menggelikan, atau ketika tidak menginginkan sesuatu. “Kamu diromantisin sama Kakak sendiri nggak mau. Ya udah.. bye.. udah sana ih pergi! Betah banget sih gangguin aku.” “Iya, iya. Ini mau pergi.” Angga berucap dan betul-betul membuktikan apa yang baru saja ia ucapkan. Terlihat dari ia yang kini sudah membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah pintu. Dan ketika langkahnya sudah mencapai badan pintu, sebelum Angga betul-betul meninggalkan kamar sang Kakak, laki-laki itu kembali menoleh ke belakang. Kemudian berucap, “Kak, soal keluarga yang bahagia. Tentang apa yang selalu aku cita-citakan sejak dulu, dan yang aku selalu doakan dan semogakan, aku yakin itu benar-benar ada. Aku yakin, Kak. Dan aku berharap, semoga kita.. aku dan Kakak akan merasakan itu di masa depan. Dengan pasangan dan anak-anak kita kelak,” ucapnya yang diakhiri dengan senyuman yang teramat manis. “Have a good sleep,Kak!” Dan Angga kini betul-betul keluar dari kamar sang Kakak. “Aku nggak mau terlalu berharap soal masa depan aku, Ngga. Tapi aku berdoa, semoga kelak kamu akan mendapatkan apa yang selama ini kamu semogakan itu. Aamiin.” Taraa rara taraa.. Baru saja Luna hendak kembali merebahkan tubuhnya setelah kepergian Angga dari kamar tidur kesayangannya, bunyi notifikasi pesan w******p yang baru saja ia dengar berhasil membuat Luna merasa sedikit penasaran. “Jam segini siapa yang nge-chat ya?” Tanpa membuang-buang waktu lagi, Luna pun dengan segera langsung membuka isi pesan itu. Dan membacanya dengan seksama. (Hai, sweetheart. Have a good sleep?) “Siapa nih yang ngirimin kayak beginian? Nomornya nggak dikenal lagi. Ohh, i know. Aduh Dek, Dek. Kamu ini kalau mau ngerjain orang nggak kreatif banget sih. Gampang banget ketebaknya. Harusnya kata-katanya yang beda dong dari yang baru aja diucapin. Nggak jago nih kalau nge-prank orang!” ucap Luna yang diakhiri dengan menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Menurut kalian, si pengirim pesan itu apakah betul Angga?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN