"Melihat wajah Della," sepertinya dia tengah sangat bahagia.
Della yang semula akan menulis, mengangkat pandangannya dari buku dan menatap teman satu kelompoknya. "Ya?"
“Kau sedang jatuh cinta, ya?" tanya suara itu lagi.
Della mengedipkan matanya saat empat teman perempuannya menatapnya dengan tatapan yang sama. Ada Hilde, Kyle, Jenni, dan Eve. Sepertinya Della benar-benar tengah jatuh cinta." Jangan-jangan sekarang Della sudah memiliki kekasih," ucap Hilde antusias.
"A-aku tidak paham. Memang ada pria yang mengatakan akan mencurahkan setiap cinta yang ia miliki hanya padaku. Tapi aku yakin, dia tidak pernah mengatakan jika aku ini adalah kekasihnya.”
Hilde dan yang lainnya saling berpandangan. Ini sebabnya kenapa kita harus bisa bersosialisasi dengan baik. Jangan seperti Della yang selalu menjaga jarak dengan para pria, sehingga Della tidak paham apa pun tentang dunia. Della, itu artinya dia ingin menjadi kekasihmu, ucap Hilde serius. Oh sungguh, Hilde tak percaya bagaimana bisa Della tidak mengerti hal sekecil ini. benar kata orang, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
"Ah tapi tunggu, tapi kau juga cinta padanya, bukan?" tanya Eve.
Ck, jangan-jangan kau juga tidak paham jika kini kau tengah jatuh cinta? Kyle menatap tak percaya pada Della. Temannya ini memang sungguh-sungguhah sudahlah, Kyle tidak mau melanjutkan perkataannya sendiri.
"Kalo begitu, kini saatnya aku turun tangan. Jenni sang dewi cinta akan menjelaskan seperti apa ketika kita tengah jatuh cinta. Pertama-tama jawab pertanyaanku. Apa saat dirimu melihat pria itu, apa jantungmu berdetak tidak normal?" tanya Jenni
Della berpikir sejenak lalu mengangguk. Jenni kembali bertanya," Lalu apa ketika tak melihatnya, pikiranmu terus tertuju padanya?" Della kembali mengangguk.
"Bukankah setiap saat, kini kamu ingin terus bersama dengannya?"
"I-iya,” jawab Della gugup bukan main.
Keempat teman Della tak bisa menahan diri untuk menepuk kening mereka bersamaan. Itu artinya kau tengah jatuh cinta, Della! pekik mereka bersamaan. Sungguh frustasi dengan tingkah sahabat mereka ini. Apa cukup untuk menyebut Della bodoh?
"Ta-tapi aku tidak boleh mencintainya seperti ini. Ya, aku tidak boleh,” ucap Della takut. Netranya yang indah mulai bergerak tidak fokus. Saat ini, pikiran Della memang terpecah ke mana-mana.
"Ck, Della apa yang kau khawatirkan? Dia menyukaimu, dan kau menyukainya. Itu artinya kalian berjodoh. Hak kalian untuk jatuh cinta satu sama lain, asalkan masing-masing di antara kalian tidak memiliki pasangan lain maka kalian bisa menjadi pasangan yang saling mencintai,” ucap Hilde perlahan. Ia tahu jika Della awam dengan hal semacam ini, karena itulah Hilde harus pelan-pelan menjelaskannya.
"Jadi, aku juga boleh mencintainya?" tanya Della dengan pipi memerah.
"Tentu saja, Della,” jawab semua orang dengan kompaknya.
Kelima gadis itu tampak berbincang seru. Topiknya masih seputar Della yang telah memiliki kekasih. Mereka tidak sadar, jika pembicaraan mereka sejak tadi tengah dicuri dengar oleh seseorang yang duduk di balik pohon yang terletak di dekat mereka. Seseorang yang tak lain adalah pria tersebut mengerutkan kening, seakan-akan tak senang dengan apa yang ia dengar. Ya, tidak senang dengan fakta jika kini Della tengah menyukai seseorang.
***
"Aku sudah dijemput, aku duluan, ya!" pekik Della sembari berlari meningglakan teman-temannya.
"Kau dijemput pacarmu?" teriak Hilde dari kejauhan. Hilde jelas menyimpulkan hal tersebut karena sejak tadi Della terlihat begitu tidak sabar untuk segera pulang. Dan ketika waktu pulang tiba, Della terlihat begitu bahagia.
Sayangnya Della tidak sempat menjawab dan telah menjauh. Wajah Della tampak begitu berseri saat dirinya melihat mobil hitam yang terparkir tak jauh dari gerbang kampus. Tanpa banyak kata, Della membuka pintu mobil bagian penumpang dan masuk dengan wajah senangnya. Ryan yang melihat wajah Della yang seperti itu tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Ada apa, kenapa kau sesenang itu?"
Della menoleh masih dengan senyumnya yang terpasang manis. "Della senang karena banyak hal," jawab Della polos. Senyuman cantiknya masih menghiasi wajah jelitanya.
Melihat senyum lebar Della, Ryan merasakan sesuatu yang menggeliat dalam hatinya. Secara tanpa sadar, salah satu tangan Ryan terangkat dan mengusap pipi lembut Della. Sedetik kemudian wajah Della tertarik mendekat, dan sebuah kecupan mendarat di bibir Della. Jelas saja Della terkejut, tapi Della sama sekali tidak menolak perlakuan Ryan tersebut.
Pipi Della memerah secara sempurna. Dengan wajah jelita yang kini merona cantik, Della benar-benar lebih dari mampu merayu setiap mata pria yang melihatnya. Termasuk Ryan. Pria itu menggelengkan kepalanya, padahal dulu dia sama sekali tidak tertarik dengan Della, lalu kenapa kini hanya melihatnya saja sudah membuat sesuatu yang di bawah sana menggeliat? Ryan jelas terlihat bingung, tapi Ryan tidak menyuarakan kebingungannya itu dengan gamblang.
Ryan tak mau memikirkannya lagi dan memilih menginjak gas dalam-dalam. Mengemudikan mobilnya menjauh dari area kampus Della. Begitu mobil tersebut benar-benar menjauh, seseorang muncul dari semak-semak dengan sebuah ponsel di telinganya.
"Kita terlambat. Si Anak Anjing sudah menggigitnya. Mau tidak mau, kita harus melakukan rencana itu. Ya, kita hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan rencana kita. Ya, aku akan melakukannya dengan baik. Sudah dulu, telepon kututup." Pria itu mematikan sambungan telepon, dengan mata yang tetap menatap arah kepergian mobil Ryan.
***
Meskipun tiap hari keluarga kecil de Mariano berusaha untuk makan malam bersama, kali ini acara makan terasa lebih spesial daripada sebelumnya. Lea tak bisa berhenti tersenyum saat melihat Ryan yang tak lagi menolak untuk duduk di kursi yang telah Lea sediakan. Kursi yang tepat berada di samping Della.
Kini Ryan bahkan tak terlalu bersikap dingin. Ia sesekali merespons perkataan Della, ya walaupun responnya tidak jauh dari deheman atau jawaban singkat. Lea sudah cukup puas dengan perubahan Ryan ini. Sayangnya, berbeda hal dengan Lea, Leon sama sekali tidak terlihat senang dengan perubahan itu. Meskipun terlihat tenang menikmati masakan istrinya, Leon tengah mengamati gerak-gerik Della yang tampak begitu nyaman berada di samping Ryan.
Bahkan kini Della tengah mengambilkan beberapa lauk untuk menu makan malam Ryan. Anehnya, Ryan sama sekali tidak menolak. Untuk sikap Della, sama sekali tidak ada hal yang aneh. Tapi Ryan, jelas menunjukkan sikap yang aneh bagi Leon. Leon memilih untuk menelan semua kegelisahannya. Ia tak mau merusak suasana hati Lea yang tengah baik mala mini, bisa-bisa Leon harus tidur di gudang senjata karena Lea yang marah.
Suasana yang nyaman tersebut bertahan hingga makan malam selesai. Keluarga kecil tersebut kembali berkumpul di ruang keluarga. Meskipun cuaca sudah sedikit menghangat karena musim dingin yang akan berakhir, pemanas ruangan tetap dibutuhkan karena Lea dan Della tidak terlalu tahan dengan suhu dingin. Keduanya memiliki kondisi fisik yang sama-sama lemahnya.
Ken terlihat berdiri di dekat perapian tradisional, menjaga agar api tetap hidup dengan baik. Beberapa pelayan menyajikan teh hangat serta potongan-potongan buah segar. Marco juga hadir dan berdiri di belakang sofa Ryan. Della yang biasanya duduk di samping Lea, kini berpindah posisi duduk di samping Ryan. Sehingga keluarga tersebut duduk berpasangan.
"Bagaimana dengan pengiriman barang kita?" tanya Leon tiba-tiba.
Ryan menyesap sedikit tehnya lalu meletakkan cangkir di meja, sebelum menjawab, "Sukses, seperti biasanya. Sekarang pesanan baru sudah datang."
Leon mengangguk puas, ia tersenyum saat Lea memberikan garpu dengan potongan apel hijau padanya. Di tempatnya, Della yang sebelumnya mengunyah anggur tampak kebingungan. Tanpa pikir panjang Della menyuarakan kebingungannya. Bukankah Kak Ryan mengurus perusahaan keamanan? Lalu barang apa yang dikirim oleh Kakak?
Lea tersadar jika Della memang tidak mengetahui fakta bahwa keluarga angkatnya adalah keluarga mafia. Lea memang belum memberitahu Della, dan ia tak berniat memberitahukannya. Karena Lea takut ketika Della mengetahui rahasia itu, Della juga akan mengetahui fakta siapa ayah kandungnya. Lea tidak mau jika sampai Della menanggung penyesalan atas kesalahan ayah kandungnya yang tak lain adalah Raffa, musuh dari Leon. Lea ingin Della hidup sebagai gadis normal yang tidak perlu ikut campur dalam semua hal yang mengerikan.
Sejujurnya, Leon yang dulu memiliki kebencian pada Della, kini sudah tak lagi memiliki perasaan tersebut. Baik Lea maupun Leon sudah menganggap Della seperti putri mereka sendiri. Tentu Saja hal itu tidak terlepas dari masa lalu Della. Mereka tidak bisa mengabaikan bagaimana menyedihkannya Della saat bertemu mereka. Raffa dan antek-anteknya memang tak memiliki hati. Teganya dia menelantarkan putri sendiri demi menyembunyikan diri dari kejaran musuh.
Lea mencoba memasang senyum lembut dan berkata, "Sayang, perusahaan keamanan yang kau maksud, adalah perusahaan yang dibentuk pribadi oleh kakakmu. Sedangkan kini Padre tengah membicarakan perusahaan lain yang telah diserahkan kepengurusannya pada kakakmu." Lea menempuk-nepuk paha Leon, memberikan kode yang hanya dimengerti oleh suaminya itu.
Mengerti dengan kode yang diberikan oleh Lea, Leon tersedak bukan main. Istrinya itu tengah memperingatkannya untuk berbicara dengan lebih hati-hati, atau dirinya akan berakhir tidur di ruang senjata atau bahkan lebih parah dari itu. Setelah berdehem sekali, Leon berkata, "Della habiskan cemilanmu, lalu kembali ke kamar. Jangan begadang jika tidak ada tugas."
Della mengangguk. "Baik, Padre."
Setelah menghabiskan camilannya, Della minum s**u hangat hingga tandas. Ia bangkit dan mencium satu persatu pipi Lea dan Leon, sedangkan saat tiba di hadapan Ryan, Della hanya lewat begitu saja setelah pamit untuk naik ke kamarnya. Della buru-buru melangkah, mencoba menyembunyikan rona indah di pipinya.
Melihat tingkah Della, Ryan tak bisa menahan untuk menatap kepergian Della dengan tatapan tajam. Leon berdehem, memaksa Ryan untuk kembali fokus padanya. Mau tak mau, Ryan kembali menatap ayah dan ibunya. Lea tersenyum dan berkata, "Madre senang kini hubunganmu dan Della sudah membaik. Madre harap ke depannya hubungan kalian bisa terus lebih baik. Kalian kakak dan adik sudah sewajarnya untuk akrab. Tentu, Madre. Hubungan kami pasti akan lebih dekat kedepannya."
Leon mengerutkan keningnya. Ia memanggil Ken untuk membawa kursi roda. Tanpa banyak kata, Leon menempatkan Lea di atas kursi roda. Ia kemudian memerintahkan beberapa pelayan untuk membawa Lea ke kamar. "Sayang kembali ke kamar lebih dulu. Aku harus membicarakan banyak hal dengan putra kita."
Lea memejamkan matanya saat Leon mencium keningnya. lea mengangguk dan mengusap d**a suaminya dengan lembut. "Jangan terlalu keras padanya, Sayang. Aku sudah bahagia dengan kondisi keluarga kecil kita ini, jangan mengacaukannya hanya karena emosi sesaat."
Leon mengangguk mencoba meyakinkan Lea. Setelah para pelayan membawa Lea pergi, leon berbalik menghadap Ryan yang masih duduk dengan tenang di tempatnya. "Jangan bermain dengan api, Ryan."
"Apa maksud Padre?" tanya Ryan pura-pura tak mengerti apa yang dimaksud oleh Leon.
Leon menggeram lalu duduk kembali di tempatnya. Kedua pria tampan itu duduk berseberangan, masing-masing dengan orang kepercayaan mereka yang mendampingi. Yang satunya adalah pemimpin klan, dan satunya calon pemimpin klan masa depan. Masing-masing menguarkan aura yang sama-sama kuat. Aura intimidasi yang sudah pasti bisa membuat musuh mereka lari terbirit-b***t.
"Kau tau apa yang Padre maksud. Jangan macam-macam Ryan. Api bukan sesuatu yang bisa kau jadikan sekutu. Suatu saat, api akan membesar dan melahapmu," ingat Leon dengan nada serius.
Ryan menyeringai. Ia terkekeh kecil sebelum berkata, "Api yang akan takluk padaku, Padre."
Ryan lalu mencondongkan tubuhnya sebelum kembali berkata, "Aku tercipta untuk menaklukan. Seperti yang Padre katakan, singa adalah raja. Dan raja sang penguasa tertinggi akan selalu mendapatkan apa yang ia inginkan."
"Oh, benarkah? Kita lihat nanti, apakah kau bisa mempertangungjawabkan perkataanmu atau tidak. Tapi ingat Ryan, tentukan tujuanmu dengan tegas. Karena Padre, tidak akan membiarkan kebodohanmu sampai menghancurkan keluarga dan klan kita. Lebih dari itu, ingat Madremu. Jangan sampai apa yang kau lakukan ini melukainya."
Leon bangkit dan pergi begitu saja. Ken yang akan melangkah mengikuti Leon, lebih dulu melemparkan pandangannya pada Marco. Kedua orang kepercayaan dari pemimpin klan tersebut saling bersitatap untuk beberapa saat, sebelum Marco membuang pandangannya lebih dahulu. Ken hanya bisa menghela napas sebelum melangkah mengikuti Leon dengan tenang.
Selepas kepergian Leon serta Ken, Ryan mengusap wajahnya kasar. Tanpa menoleh Ryan bertanya, "Apa ada informasi baru?"
"Belum, Tuan. Kami akan berusaha lebih keras lagi."
"Setidaknya, dapatkan satu hal baru tentang Della. Aku harus mengetahuinya agar aku bisa menentukan langkah apa yang harus aku ambil selanjutnya."
Marco menunduk hormat dan menjawab, "Akan saya usahakan."
"Sekarang kau bisa beristirahat. Aku akan pergi ke suatu tempat, di mana keberadaanmu tidak diperlukan."
Marco membungkuk hormat. Tanpa mendengar penjelasan lebih pun, Marco tahu apa yang dimaksud oleh Ryan. Tak lama, Marco memilih berbalik, jika tuannya bersenang-senang, Marco juga akan sedikit bersenang-senang sebelum pulang ke rumah. Ya, Marco akan menikmati sedikit hingar bingar malamnya Italia.
Berbeda dengan Marco, kini Ryan menyelinap masuk ke kamar Della yang sudah gelap. Tanpa menghidupkan kembali lampu kamar, Ryan melangkah perlahan menuju ranjang di mana Della tengah berbaring tenang. Ia duduk di tepi ranjang, mengamati Della yang tidur dengan posisi menyamping.
Wajah jelita Della tampak begitu indah dengan sinar rembulan yang menyiraminya. Bulu matanya yang lentik, tampak begitu jelas dengan posisi Della yang seperti ini. Ryan mengangkat tangannya dan menyentuh bulu mata tebal tersebut, tapi hal itu rupanya mengganggu tidur Della. Perempuan itu akhirnya terbangun.
Manik cokelat terangnya mengunci pandangan Ryan. Setelah mengucek matanya yang terasa sepat, Della bangkit dan duduk berhadapan dengan Ryan. "Kakak kenapa di sini? Kakak tidak tidur?"
"Aku tidak berpikir untuk tidur. Hatiku terasa tidak nyaman."
"Kakak sedang ada masalah?" tanya Della polos.
"Ya. Sekarang aku butuh untuk dihibur. Mungkin kita harus melakukan tahap-tahap cinta dari awal. Bagaimana?" tanya Ryan sembari mengangkat tubuh Della agar duduk di pangkuannya.
"A-apa? Ta-ta...."
Ryan tak membiarkan Della untuk menolaknya dan segera menyambar bibir lembut Della. Dengan gerakan lihai Ryan menyecap dan mengulum bibir yang telah menjadi candunya itu. terlalu terlena dengan sensasi lembutnya, Ryan baru tersadar saat Della hampir kehabisan napas. Ryan mengecup pipi Della yang memerah sempurna.
Jika Ryan amati, bukan hanya wajahnya saja yang memerah. Telinga hingga leher Della juga ikut memerah. Tampak begitu menggoda di mata Ryan. Tak mau menahan diri, Ryan segera menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Della. Ia menghirup rakus aroma tubuh Della yang terasa manis dan menggoda sisi liarnya.
Della menggigit bibirnya dengan kuat, ia tak boleh mengeluarkan sedikit pun suara desahan. Sadar dengan niat Della, Ryan menghentikan aksinya yang tengah mencumbu leher Della. Ia melepas gigitan Della dan berkata, "Jangan tahan suaramu seperti itu. keluarkan saja, toh tidak aka nada yang mendengarnya. Aku sudah membuat kamarmu menjadi kedap suara."
Lalu Ryan kembali melanjutkan aksinya. Della yang terkejut saat Ryan menggigit bahunya dengan sensual, tak bisa menahan diri untuk berteriak. Ryan menyeringai, ia terus memberikan jejak-jejak basah dan panas di leher serta bahu mulus Della. Tangan Ryan lalu meraba d**a Della, ia menyeringai saat sadar Della yang tidak mengenakan bra.
"Kenapa kau tidak mengenakan bra? Apa kau sudah merindukanku untuk kembali memberikan cinta padamu?"
Della menggeleng dan meringis saar Ryan meremas salah satu buah dadanya diremas oleh Ryan. Ia menggeliat berusaha melepaskan cengkraman Ryan dari sana. "Bu-bukan seperti itu Kakak. Madre menyarankanku untuk tidak mengenakan bra karena alasan kesehatan. Karena itu, Della terbiasa tidur tidak mengenakan bra."
"Apa pun alasannya, hal ini malah membuatku bertambah semnagat untuk melimpahkan kasih sayangku padamu Della. Jadi mari kita lanjutkan acara bersenang-senang kita."
Della memekik saat Ryan tiba-tiba menarik gaun tidurnya hingga terlepas begitu saja dari tubuhnya. Kelanjutannya sudah bisa ditebak. Kegiatan penuh hasrat yan gmembara kembali terjadi. Baik Ryan dan Della kembali larut dalam hasrat terlarang tersebut. Keduanya berakhir dengan kepuasan yang lebih hebat daripada sebelumnya.
Untuk kali ini, Ryan mendapatkan kejutan saat dirinya selesai meraih puncaknya. Bisikan dari Della membuat tubuhnya berubah kaku, dengan jantung yang berdetak hebat. Ia menatap Della yang kini sudah mulai memejamkan matanya. Ryan mencengkram bahu Della dan memaksa adik angkatnya itu untuk mengulang perkataannya. "Della, apa yang kau katakan barusan? Ulangi perkataanmu!"
Dengan sebuah senyum manis Della berkata, "Seperti Kakak yang mencintaiku, Della juga mencintai Kakak. Della senang menjadi kekasih Kakak."
Ryan mematung menatap Della yang jatuh tertidur. Kekasih? Memangnya kapan Ryan pernah meminta Della untuk menjadi kekasihnya? Ryan bersiap untuk menyemburkan kemarahannya, tapi melihat wajah bahagia Della dalam tidurnya, Ryan hanya mendengkus dan memilih untuk membaringkan diri di samping Della. Sepertinya Ryan harus menahan kemarahannya untuk malam ini, Ryan juga membutuhkan tidur. Ya, Ryan hanya tengah lelah, jadi ini bukan karena Ryan juga senang karena mendengar pernyataan cinta dari adiknya. Tapi yang tak Ryan sadari, dalam tidurnya Ryan tersenyum. Senyum tulus yang menunjukkan, betapa dirinya tengah merasa bahagia.