09. Sabotase Calon Suami

1565 Kata
Mulutnya sampai tak mampu menjawab pertanyaan dari asisten kerjanya. Dia, bahkan sangat gugup yang terlihat dari segi wajah dan aura tubuhnya. Dia menggigit bibirnya, menggaruk dahinya yang tidak gatal. “Rhe, jawab? Maksud lo nikah sama dokter duda siapa?” Hilda—asisten kerja Rheana, pun melangkah mendekati calon CEO cantik itu. “Em, i—itu ….” Dia semakin tidak memiliki pergerakan yang luas sampai menggenggam tangannya sendiri. “Argh …!” Hilda pun mengernyitkan dahi lalu menyentuh kening CEO itu. “Aman sih. Tapi, kenapa hari lo gak aman begini?” “Gimana gue gak aman, Hil? Bulan depan gue bakalan nikah sama orang yang sangat gue benci dalam hidupku!” “Lah, ya emang lo mau nikah kan sama Vito. Apa salahnya?” Rheana berdecak kesal, “Justru itu salah! Lo tahu nggak, gue batal nikah sama Vito. Dan, penggantinya dokter duda! Gimana gue gak kesel?” Hilda pun sampai ternganga sebab dia sendiri sudah mengetahui kisah cinta CEO cantik itu dengan kekasihnya yang saling jatuh cinta. Mereka pun sudah sepakat untuk melangkah ke jenjang lebih serius. Namun, dia sangat terkejut ketika Rheana sendiri membatalkan pernikahannya. “What? Lo bercanda, Rhe? Terus, kenapa sampai batal begitu?” “Bercanda matamu! Gak lihat ekspresi wajah gue sedari kemarin? Gue batalin gara-gara si Vito tuh mau balikan sama mantannya. Tapi, sebenarnya dia masih bisa sama gue dengan satu syarat.” Rheana pun duduk di sofa. Berdiri terlalu lama membuat dirinya semakin emosi dan tidak bisa berkonsentrasi kerja. Hilda pun ikut duduk di samping CEO cantiknya. Dia pun mengambil air mineral untuk menetralkan amarah Rheana. “Satu syarat? Apa syaratnya? Lo jangan kalah sama mantannya Vito, kenapa gak diambil aja syaratnya? Kan, lo bisa nikah sama dia?” “Justru syarat dari dia, gue gak bakalan lakuin sebelum kita menikah. Syaratnya, gue harus melayani dia satu malam di hotel,” jawab Rheana setelah meneguk segelas air minum. Lagi-lagi kedua mata Hilda dikejutkan dengan jawaban Rheana. “Apa? Yang benar aja, Vito ngajak lo begituan?” Rheana pun mengangguk. “Kurang ajar banget tuh anak! Kalau sampai orang tua lo tahu gimana? Bisa dihajar habis tuh anak?” “Mereka udah tahu," sahut Rheana dengan netral. “Hah? Udah tahu? Cepat amat, lo langsung jujur sama mereka?” Rheana menggeleng. “Itu sih, dokter duda dingin yang bocorin semua ke orang tua gue. Dan, dari situlah mereka menyuruh dia sebagai suami pengganti dari pernikahan gue yang batal dengan Vito!” Hilda pun sampai geleng-geleng kepala. Cerita yang disampaikan Rheana cukup membuat dirinya penasaran berkelanjutan, bahkan sangat di luar ekspektasinya yang dikira akan bersanding dengan Vito. “Gue gak nyangka suwer. I—ini kayak aneh aja kenapa si Vito gagalin pernikahan kalian. Ini pasti akal-akalan dia biar gak nikah sama lo, Rhe.” “Ah, sudahlah. Gue tuh males kalau bahas dia terus. Gue jadi nyesel dulu pernah mau dandan seksi di depan dia, ini kalau sampai Bunda tahu gue bisa dijemur seharian sampai buka-bukaan depan dia,” ucap Rheana. Hilda pun terkesiap. “Rhe, lo udah unboxing sama dia sebelumnya? Gila, gue gak nyangka emaknya alim anaknya b***t,” celetuk Hilda. Rheana pun menyonyor asisten kerjanya itu. “Gue gak semurahan itu dodol! Dulu pas gue dibandingkan dengan mantannya tuh, gak tahu siapa ke pesta ulang tahun teman Vito. Untung aja sih pakai topeng, jadi pas gue pakai baju terbuka gak terlalu dikenal.” Gadis berambut panjang itu pun sampai bertepuk tangan. Rheana pun mengerutkan dahi dengan aneh. “Ngapain lo tepuk tangan? Ini bukan lomba woy!” “Gue sih setuju banget kalau lo bisa mendapatkan pengganti Vito. Daripada, lo nikah sama dia yang jelas dari ceritamu aja banyak banget kesalahan dia yang gak sama sekali melindungi harga diri, martabak lo sebagai perempuan baik,” tutur Hilda. Rheana pun menghela napas. Dia pun menyandarkan diri ke ujung sofa. Dia sangat capek dengan seluk-beluk hidupnya yang semakin dewasa semakin ruwet. “Sebenarnya, gue sih nggak apa-apa kalau jalanku sama Vito harus putus.” Gadis berhijab pasmina hitam itu pun tiba-tiba beranjak dari duduknya yang kini menjadi berdiri tegak. “Tapi, masalahnya gue gak mau nikah sama musuh sendiri, Hilda!” Hilda pun ikut beranjak. “Musuh siapa sih? Coba, deh lo jelaskan dokter duda yang mana? Kalau duda masih ganteng, macho, perutnya kayak roti sobek, dan cuek gue bakalan dukung seratus persen!” “Hilda …!!!” Rheana pun sampai berteriak sekencang mungkin sampai membuat asisten kerjanya menutup dengan kedua telinganya. “Yang bakalan nikahin gue itu dokter yang rawat kakek Hartanu! Dan dia itu anak dari sahabat Bunda gue yang sangat cuek dan dingin bin kulkas tujuh pintu! Gimana gue gak kesel, pokoknya lo harus bantuin gue untuk gagalin pernikahan itu titik!” Hilda pun terkesiap. Dia pun menuntun, agar Rheana kembali duduk dengan tenang. “Lo ini kenapa nolak berlian jantan sih, Rhe? Kalau sama yang biasa sama kakek lo, itu artinya dia sudah bisa merebut hati keluarga lo. Gue bakalan support lo terus pokoknya. Udah deh, gak usah gagalin yang ada keluarga lo bakalan malu dengan persiapanmu yang sudah matang begitu?” Rheana menatap asisten kerjanya itu dengan tatapan sinis. Hilda pun sampai mundur saat Rheana semakin maju. Tangannya pun terangkat yang hingga menonjok asisten kerjanya itu. Dengan cepat, Hilda pun menangkap tangan itu sebelum mengenai wajahnya. “Oke, gue bakal bantu lo buat gagalin.” Rheana menyunggingkan bibirnya. “Nah, gitu dong! Kalau lo sampai gak bantuin gaji bakalan gue potong dan insentif bulanan bakalan gue cabut!” Hilda berdecak kesal dengan Rheana yang akan dijodohkan lelaki baik justru malah menolaknya. “Ya udah, gue bantuin. Tapi, kalau gagal semua gaji gue jangan sekali-kali lo potong.” “Oke. Sekarang, apa rencana lo?” “Gampang sih, dia aktif di rumah sakit Pak Refal, kan?” Rheana pun mengangguk. “Iya.” “Lo buat dia korupsi aja. Paham kan maksud gue?” Rheana membulat. Dia pun sampai tepuk tangan mendengar rencana yang sangat bagus untuk menyingkirkan calon suaminya dari genggaman perjodohan itu. “Ide lo brilian juga ya.” Gadis itu pun sampai mengibaskan rambut dengan tangannya. “Pasti, dong. Hilda!” Siang hari itu pun, Rheana pergi untuk berkunjung ke rumah sakit milik keluarga ayahnya. Dia sendiri akan menyabotase rumah sakit itu untuk menuduh dokter Ari. Saat dia berjalan menuju ke bagian kantor keuangan tak sengaja bertabrakan dengan calon suaminya saat hendak berbelok. “Aduh, punya mata gak sih!” hardik Rheana. Lelaki itu pun menatap gadis itu dengan tajam. Dia pun menyunggingkan bibirnya. “Gak salah? Saya sudah jalan di sebelah kiri loh? Apa perlu saya putar cctv ini?” Ari menunjuk ke arah cctv. Rheana pun mendekat lalu berbisik, “GAK PERLU!” Gadis itu pun melanjutkan langkahnya yang meninggalkan dokter Ari begitu saja. Dokter dingin itu pun sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah calon istrinya. “Dasar anak manja! Tenang aja Ari, habis kamu nikahi dia gak bakalan seberani itu dengan kamu.” “Kita lihat saja Rheana, hari ini kamu bebas. Tapi, setelah kamu tinggal denganku akan aku buat kamu hidup dengan keras,” gumam Ari. Rheana pun masuk ke ruangan itu yang banyak sekali pegawai sedang sibuk. Aku lakuin ini gak ya? Tapi, kalau ketahuan Ayah gimana? Ayah kan kalau marahin aku udah kayak singa marahin anaknya. Ah, bodo amat deh masalah berhasil nggak belakangan. Yang penting, aku coba aja siapa tahu Ayah langsung gagalin pernikahan aku dengan si duda dingin, batin Rheana. Bukan hal yang sulit bagi Rheana untuk mengotak-atik sistem keuangan sampai memindahkan beberapa keuntungan dari rumah sakit milik keluarga ayahnya ke rekening dokter duda itu. “Argh, mampus lo kulkas tujuh pintu! Habis ini, paling diuntal sama Ayah,” lirih Rheana. Tiga hari kemudian, Refal menerima daftar pengeluaran keuangan rumah sakit yang sangat menanjak tinggi. Dia pun sampai membawa amarah yang tinggi ke rumahnya. “Mas, kamu kenapa datang-datang kok mukanya ditekuk?” tanya Anissa. Dia pun menuntun suaminya untuk duduk di sofa. Tangannya membantu melepaskan jas suaminya. Sebuah hal kecil sejak pengantin baru sampai mereka hidup menua bersama. “Bun, pengeluaran keuangan rumah sakit bulan ini naik tiga kali lipat. Gimana aku gak marah?” Anissa pun terkesiap. “Hah? Masa sih? Bulan kemarin gimana? Kamu udah cek semua datanya belum?” Refal pun menggeleng. “Aku baru menerima laporannya saja.” Anissa memijat pundak suaminya. “Ya udah, besok coba deh dicari sebabnya apa. Apa mungkin, alat-alat canggih semakin naik atau daya listrik atau mungkin yang lain?” “Di laporan itu semuanya gak beda jauh sama bulan kemarin, Tapi, kenapa hasil akhirnya sangat jauh dari sebelumnya?” Seorang gadis itu pun turun dari tangga dengan wajah yang sangat sinis. Dia pun melangkah menuju ke ruang tamu untuk bergabung dengan ayahnya. “Ayah sudah cek semua rekening karyawan belum? Setahuku, gajian mereka masih dua minggu lagi kan? Kalau sudah ada yang masuk lebih dulu, pasti dia yang korupsi.” Rheana pun duduk di depan ayahnya. Refal pun menajamkan tatapan kepada anak gadisnya. “Benar juga apa yang dikatakan kamu, Rhe.” Saat dia melirik dokter Ari hendak pulang dari rumahnya pun menyindirnya dengan halus. “Semua karyawan rumah sakit ya Yah, termasuk karyawan di rumah ini.” Ari pun menghentikan langkahnya seketika. “Maksud kamu apa ngomong begitu?” “Ck, kan aku hanya mengingatkan Ayah. Kenapa Anda yang sewot? Apa, Anda merasa korupsi di rumah sakit kakek saya?” tuduh Rheana sampai mengepalkan kedua tangan lelaki itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN