Lelaki itu pun mengepalkan salah satu tangannya. Andai saja, orang yang ada di depannya sudah dia tonjok sebab satu hari ini gadis itu telah menaikkan amarahnya.
Dia pun menatap arah jalan dengan tegas. “Saya ini baru calon suami, bukan suami Anda!”
“Hai, tetap saja Anda harus melindungi saya. Oke, kalau gak mau diantar aku telepon Bunda.” Rheana yang hendak mengambil ponsel di dalam tas itu pun dicegah oleh Ari dengan mengukung kedua tangannya hingga tak sengaja mereka pun dapat melihat mata mereka dalam jarak kedekatan.
“Lepas gak!” pinta Rheana memaksa.
Ari pun segera melepaskan kedua tangannya yang baru saja dia kungkung. “Saya akan mengantar Anda. Pakai cepat seat belt-nya. Ingat, jangan ada drama lagi!”
Gadis itu pun mengambil seat belt. Entah mengapa, dia pun lebih mudah menancapkan daripada saat berangkat. “Udah.”
Ari pun mengantarkan calon istrinya lebih dahulu menuju ke rumahnya. Mereka, bahkan tidak mengeluarkan satu kata pun selama di jalan.
Ternyata gini jalan sama si duda dingin? Gak enak banget cuma diam. Apa, aku kerjain dia aja ya?
Rheana pun memiliki ide jail untuk membuat lelaki itu kesal dengannya.
Tangannya pun mengibaskan ke arah wajahnya. “Panas banget ini mobil murahan. Minimal ada kulkasnya kek, kan saya kehausan mana masih jauh rumahku.”
Ari pun melirik ke gadis itu yang menatap jendela. “Anda haus?”
“Udah tahu nanya. Minimal berhenti buat belikan minuman segar buat calon istrinya,” sindir Rheana.
Ari pun mengangguk.
Dia berhenti sekitar jalan untuk membeli minuman segar di minimarket.
Setelah lelaki itu keluar dari mobil, gadis itu pun mengambil bubble gum alias permen karet yang biasa disimpan di tas kecilnya. Sedari kecil, Rheana sangat menyukai makanan manis terutama permen.
Dia pun mengunyah permen itu agar rasa manisnya segera hilang. Tangannya pun mengambil permen itu yang sudah tak ada rasa manisnya lalu di tempel di bagian kursi pengemudi lelaki itu.
Dia menepuk-nepuk permen karet yang sengaja dilebarkan. “Baik-baik ya, Nak. Maaf, aku sengaja biar dia ilfeel terus batalin nikah deh.”
Saat kedua matanya melihat Ari membawa satu kantong kresek penuh, gadis itu pun berpura-pura menelepon asisten kerjanya.
Saat Ari baru saja duduk, dia merasa di bagian kursinya ada sesuatu yang lengket. Dia, bahkan kesusahan untuk berdiri kembali.
Rheana pun melirik lelaki itu sampai berusaha menahan tawanya.
“Kok susah sih?” keluh Ari.
Dia pun berusaha untuk turun kembali dari kursinya yang melihat ada sebuah permen karet. Dia melirik Rheana yang masih asyik menelepon.
“Anda kurang ajar banget sih!” seru Ari.
“Ya gitu, Hil. Oke, udah dulu ya, bye.”
Gadis itu pun melirik calon suaminya dengan tatapan sengit. “Kurang ajar apanya?”
“Ini permen karet, Anda sengaja kan melakukan ini dengan saya?”
Rheana pun memutar bola matanya dengan malas. “Itu tadi saya mau buang, ya emang dasar nasib Anda aja yang jelek sampai permen karet saya nemplok di situ.”
"Mana ada nemplok selebar ini kalau bukan Anda yang merencanakannya?"
Tangan Rheana pun hendak membuka plastik itu, akan tetapi ditepis oleh Ari.
“Lho, itu kan buat saya?”
“Siapa bilang?”
Rheana mengerutkan dahinya. “Hah? Kan, tadi dokter sendiri yang bilang buat saya?”
“Sejak kapan? Ini buat cemilan saya sendiri. Anda kehausan bukan berarti saya peduli!”
Ck, dokter ganas! Bisa-bisanya dia selalu buat aku murka. Kirain tadi perhatian belikan minuman buat aku. Ternyata, cuma buat dirinya, sialan!
Ari pun membalasnya dengan membuka salah satu botol minuman segar itu lalu minum di depan gadis itu sampai mengelus lehernya. “Uh, seger banget rasanya. Panas-panas gini emang paling enak minum beginian.”
Kerongkongan gadis itu pun sampai menari-nari melihat minuman itu.
Ari tak menghiraukannya sampai melanjutkan perjalanannya, hingga akhirnya tiba di rumah gadis itu.
Rheana pun turun dari mobil dengan wajahnya yang sangat masam. Sedangkan Ari, dia harus mengantarkan untuk bertemu dengan orang tuanya.
“Assalamualaikum, Om.”
Ari pun bersalaman dengan Refal.
“Waalaikumsalam. Kok, kalian pulangnya lebih sore sih?”
“Yah, tadi dia itu kerjain aku. Masa, calon istrinya kehausan gak dibelikan apa-apa? Yah, mending batalin aja dia itu bukan lelaki yang baik.” Rheana bergelendotan manja di lengan ayahnya.
Ari pun menodongkan satu kantong plastik penuh. “Lah, ini sudah saya belikan. Tapi, dia sendiri yang nolak, Om.”
Refal menggelengkan kepalanya sampai menatap anak gadisnya dengan tajam.
Waduh, udah berani dia mau adu dombain aku? Kan, dia bilang sendiri bukan buat aku? gerutu Rheana.
“Kamu gimana sih, Rhe? Itu calon suami kamu udah belikan banyak malah bilangnya belum. Ayo terima.”
Rheana menggigit bibirnya yang menatap lelaki itu dengan sinis. Dia pun menerimanya kantong plastik itu dengan cepat.
“Bilang apa dong, sama calon suaminya?”
“Terima kasih!”
“Sama-sama, Sayang,” celetuk Ari sampai membuat kedua bola mata gadis itu hendak melompat dari tempatnya.
Refal pun menutup mulutnya, dia jadi teringat masa-masa pengantin baru dengan istrinya.
“Tuh, udah dipanggil, Sayang. Berarti dokter Ari ini gak bakalan batalin pernikahan ini iya kan, Dok?” tanya Refal yang membuat anaknya semakin malu.
Ari pun mengangguknya dengan senyum. “Iya, Om. Saya bakalan nikahin anak, Om. Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Gadis itu pun masuk ke dalam kamarnya dengan membawa satu kantong plastik penuh yang dihempaskan begitu saja di atas ranjangnya.
“Kurang ajar itu, dokter! Bisa-bisanya merayu Ayah, sampai aku selalu kalah kalau udah tanding sama dia!” Rheana duduk di atas bibir ranjang.
Dia pun melepas hijabnya dengan paksa sampai membuangnya di lantai.
Rheana pun merebahkan tubuhnya di ranjang itu. “Gimana nanti kalau aku beneran nikah sama dia? Pasti hidupku bakalan ruwet.”
“Belum nikah aja, dia udah bisa ambil hati Ayah sama Bunda. Jangan-jangan kalau aku udah nikah, jadi anak terlantar mereka lagi?”
Rheana pun mengambil ponsel. Dia pun segera menghubungi adiknya yang sedang menimba ilmu di luar negeri sesuai usulan ayahnya.
“Halo, Dek? Lo kapan pulang?” ucap Rheana dengan nada oktafnya.
“Buset dah, Kakak gue udah kayak nenek lampir, minimal salam kek atau apa kek ini udah langsung adu panco aja,” sahut Rasya adik kandung Rheana yang berselisih tiga tahun di seberang sana.
“Gue lagi marah banget, jadi lo gak usah buat gue tambah marah!”
“Ck, emang rada-rada ya orang satu ini. Mau nikah malah marah-marah gak jelas.”
“Dek, bawa Kakak ke situ dong. Atau bawa Kakak ke mana kek, yang penting kabur dari rumah,” pinta Rheana dengan memaksa.
“Hah? Kabur? Gak ada angin gak ada hujan mau kabur ke mana? Jangan aneh-aneh deh calon pengantin, nanti yang ada gue dibogem Ayah sama Bunda,” elak Rasya.
“Gue gak mau nikah, Dek!”
“Dih, nih orang sinting emang. Mau nikah sama pacarnya yang katanya sayang banget cinta banget sampai tergila-gila malah gak mau? Kesambet setan apaan sih, Kak?”
Rheana menghela napas dengan kasar. “Masalahnya, aku bukan nikahnya sama Vito!”
“Lah, kan tunangan Kakak Kak Vito? Terus, kalau bukan sama Kak Vito jadinya sama siapa, Kak?”
“Sama dokter duda bin kulkas tujuh pintu! Dek, ayo bantuin Kakak biar pernikahan ini gagal. Kakak gak mau nikah sama duda itu,” rengek Rheana.
Rasya memang adik kandungnya, akan tetapi sikap Rheana lebih manja ke adiknya serasa bertukar posisi saudara.
“Hah? Dokter duda? Siapa, Kak? Gue kenal gak?”
“Kenal banget, bestie lo dulu waktu kecil. Anaknya Om Ardy sama Tante Imel.”
Rasya pun bersorak-sorak gembira mendengar berita bahagia itu. Dia pun sampai berjingkrakan yang membuat Rheana semakin ilfeel dengan adik kandungnya. “Kak, beneran aku mau jadi adik iparnya Kak Ari?”
“Dek, biasa aja gak sih responnya, berisik tahu! Gimana, lo mau kan bantuin gue untuk gagalkan pernikahan ini?”
“Enggak! Justru gue seneng banget. Apa, kata gue dulu Kakak itu bakalan jodoh sama dia. Secara kan ya, Kakak ini bar-bar sedangkan dokter Ari itu kalem banget jadi cocok kalian berdua ini.”
“Dih, cocok palelu! Gue sama dia itu berantem terus, ah pokoknya panjang ceritanya sampai ngadu ke Ayah sama Bunda tentang Vito juga. Lah, pokoknya banyak dah. Lo gak kasihan sama kakaknya sendiri?”
“Enggaklah. Ngapain harus kasihan sama berita baik ini? Daripada sama Kak Vito yang muka-muka playboy, dih mendingan sama dokter udah cakep, bersih, pinter. Pokoknya, gue pro sama pilihan Ayah titik!”
“Dih, punya keluarga gak ada yang mau bantuin gue! Ah, nyesel gue telepon lo!” Rheana pun mematikan ponselnya lalu membuangnya di atas ranjang.
Pagi harinya, dia pun sudah berada di ruangan kerjanya.
Sedari pagi, gadis itu tidak bisa berkonsentrasi penuh yang mengingat-ingat pernikahannya dengan Ari.
Dia pun sampai mondar-mandir di depan layar komputer. “Tuh si duda kayaknya udah ngebet banget buat nikahin aku.”
“Cara apalagi ya, biar pernikahan ini tetap gagal?”
“Kalau semua cara yang akan aku coba gagal, berarti dokter duda itu beneran dong nikah sama aku?”
Seorang gadis yang membawa map tak sengaja mendengar gumaman Rheana. “Nikah sama dokter duda?”
Rheana pun membalikkan badannya dengan ternganga saat melihat asisten kerjanya sudah berdiri di depan ambang pintu.