Tidur di Sofa Yang Sama

1062 Kata
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Zoe lirih sembari menutupi tubuhnya dengan selimut yang dibawanya tadi. Maximus melihat ke arah Zoe. “Kakakku. Aku memiliki kakak di negara ini dan sebenarnya aku ingin menemuinya setelah misiku selesai.” “Kau punya alamat atau teleponnya? Aku bisa menghubungi kakakmu.” “Axel Costa namanya. Aku sudah menghubunginya sebelumnya, namun tampaknya dia tak tertarik untuk bertemu denganku. Karena dia tak menerima dengan mudah semua orang yang mengaku-ngaku sebagai adiknya. Baginya, adiknya hanya satu, yaitu Xira Costa.” Maximus memaparkan cerita itu pada Zoe. “Costa? Kau bermarga Costa? Pemilik rumah sakit tempatku bekerja masih merupakan kerabat dari Klan Costa, yaitu Klan Robert. Mungkinkah itu Costa yang sama? Aku akan menanyakan hal ini besok lusa karena besok aku libur,” jawab Zoe. “Tidak, tidak perlu. Aku tak ingin melibatkanmu dalam masalahku.” Zoe mengangguk. “Oke.” Lalu Maximus melanjutkan. “Usia kami terpaut cukup jauh. Mungkin sekitar 20 tahun. Tapi ayahku pernah mengatakan tentang Axel Costa padaku.” “Dua puluh tahun? Kau mungkin bahkan seperti anaknya dengan jarak umur sejauh itu.” “Kau benar, ibuku melahirkanku di saat usianya masih cukup muda. Axel tak pernah mengakui anak-anak ayahnya dari para gundiknya sebagai adiknya. Tapi aku memaklumi hal itu karena aku tahu rasanya,” jawab Maximus. “Kau menemuinya karena ingin meminta bantuannya?” “Tidak, aku hanya ingin mengenalnya. Aku cukup mandiri untuk menyelesaikan masalahku sendiri, meskipun mungkin kekayaan dan kekuasaanku belum sebanding dengan dirinya.” “Jika kau membutuhkan bantuanku, bilang saja nanti. Aku sama sekali tak keberatan,” kata Zoe sambil menguap. Malam semakin larut, dan Zoe merasa lelah mulai merayapi tubuhnya. “Zoe, tidurlah di sebelahku. Di bawah sana sangat dingin.” Maximus sedikit memundurkan tubuhnya hingga merapat ke arah sandaran sofa. “Tidak perlu, aku di sini saja. Di depan perapian akan terasa hangat.” “Tapi banyak tikus yang akan lewat nanti jika kau tidur.” Maximus memperingatkan. “Tikus? Apakah banyak tikus? Aku tak melihatnya sejak kemarin.” Zoe langsung berdiri dan menarik selimutnya. “Karena kemarin kau tidur di atasku, jadi kau tak dilewati tikus yang berkaliaran di bawah.” Zoe tampak bingung, namun akhirnya dia menarik kasur lipatnya dan meletakkannya di atas meja kayu yang lumayan panjang. “Aku di sini saja.” Zoe menepuk kasur lipatnya dan mulai naik ke meja yang telah beralaskan kasur lipat. Namun, baru saja naik, kaki meja itu patah dan membuat Zoe terjatuh. BRAK “Ouuch!!” Zoe merintih. Maximus tertawa pelan namun dia menahannya karena perutnya terasa sakit jika tertawa. “Zoe, sudah kubilang, bukan? Kemarilah, aku tak akan menggigitmu.” Suara Maximus terdengar tak lemah lagi. Zoe beranjak berdiri dan membersihkan pakaiannya yang kotor karena jatuh ke lantai. “Kau sudah membaik dan sadar, jadi aku tak bisa tidur bersamamu di tempat yang sama.” Kemudian, Maximus mengulurkan tangannya dan menarik tangan Zoe. “Kau seorang dokter dan harus selalu sehat agar pasienmu tak terbengkalai. Jika kau tidur di bawah, kau akan sakit karena udara yang sangat dingin dan lembab.” Mereka saling menatap sejenak dan akhirnya Zoe mengangguk. “Baiklah,” jawabnya berbisik. “Anggap saja ini keadaan darurat, Zoe. Aku tak akan melecehkanmu.” “Tidak, aku tak pernah berpikiran seperti itu, Max.” Lalu Zoe mendekat ke arah sofa dan dengan ragu merebahkan tubuhnya di samping Maximus. “Awas lukamu, jangan sampai terkena tanganku agar tidak sakit,” lirih Zoe. “Hmm, ini sudah tak terlalu sakit. Kau merawat lukaku dengan sangat baik, Dokter Zoe.” Zoe tersenyum dan menarik selimutnya. Dia menambah selimut Maximus juga agar tubuh pria itu semakin hangat. “Kau masih kedinginan, Max?” “Ya, sedikit.” Lalu Zoe berbalik pelan dan mengusap-usap bahu kekar pria itu. Mata mereka saling menatap dan kini netra tajam Maximus tak terlihat lemah lagi. “Kau terlihat jauh lebih baik.” Suara Zoe sangat lirih. “Hmm, ini berkatmu.” “Apakah kau bersikeras akan tetap di sini sampai keadaanmu membaik?” “Ya, kau akan merawatku sampai sembuh dan aku akan membayarmu nanti.” Zoe menelan salivanya karena tatapan mata Maximus yang membuat dadanya berdebar. “Apakah kau selalu terluka seperti ini?” Zoe mencoba mencari topik agar tak ada kecanggungan. “Dulu, tapi akhir-akhir ini tidak. Aku berselisih dengan ketua Kartel lain dari negara ini karena masalah wilayah kekuasaan. Mereka menganggapku sebagai ancaman karena berpikir aku telah mengambil wilayah kekuasaan mereka.” “Tapi apakah kau benar-benar mengambilnya?” “Ya, begitulah dunia kami. Semua didapatkan karena kenekatan dan kelicikan,” jawab Maximus. “Kau tak takut mati?” Maximus tersenyum tipis. “Tidak, aku hanya hidup sendirian dan tak ada yang ku-khawatirkan jika aku mati.” Zoe mengangkat tangannya dan menutup mulut Maximus dengan jarinya. “Jangan katakan hal itu. Aku sedih setiap mendengar orang yang tak punya keinginan untuk hidup. Di luar sana, banyak orang yang ingin bisa bertahan hidup lebih lama. Pasienku banyak yang merasakan itu karena sudah divonis bahwa hidupnya tak akan lama.” Maximus memegang tangan Zoe dan merasakan kehangatannya tanpa berkata apa pun. “Tidurlah, kau harus banyak istirahat.” Zoe menghela napasnya dan menarik pelan tangannya yanh dipegang oleh Maximus. “Seharian aku beristirahat. Kau saja yang tidur, aku tahu kau pasti lelah karena seharian bekerja,” jawab Maximus yang kini menatap lekat wajah cantik itu. “Ya, aku benar-benar lelah. Dan terutama ketika ada senior yang selalu membuat masalah yang dibuat-buat hanya karena hal pribadi.” Maximus mengernyitkan keningnya. “Dia membuat masalah denganmu? Mengapa? Apakah karena kau lebih pintar dan cantik?” Zoe tertawa kecil. “Sudahlah, aku akan tidur dulu. Good night.” Zoe menutup matanya. “Wanita atau pria?” tanya Maximus. “Pria,” jawab Zoe dengan mata yang tertutup. “Dia menyukaimu dan kau menolaknya?” Mendengar itu, Zoe kembali membuka matanya. “Kau peramal juga, Max?” Maximus tersenyum tipis. “Jadi dokter yang suka mencari masalah denganmu itu menyukaimu dan kau menolaknya?” “Ya, tapi aku tak pernah terpengaruh karena aku hanya fokus pada pekerjaanku saja. Aku tak ingin menggubrisnya.” Lalu Zoe mengubah posisinya dan membelakangi Maximus. Zoe kembali menutup matanya karena sudah begitu berat. Maximus memajukan kepalanya dan bisa mencium wangi rambut panjang Zoe yang begitu harum dan halus meskipun Zoe mengikatnya acak-acakan. “Good night, Zoe,” bisik Maximus dan benar-benar menahan keinginannya untuk memeluk wanita itu dari belakang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN