Ketertarikan Yang Semakin Kuat

1123 Kata
Pagi itu terasa begitu tenang di dalam kamar gelap di ruangan bawah tanah rumah tua yang lengkap. Zoe membuka matanya perlahan, masih agak mengantuk setelah malam yang panjang. Sambil menghela napas panjang, Zoe berniat menggerakkan tubuhnya, namun sebuah sensasi hangat di pinggangnya membuatnya berhenti. Dia menyadari ada lengan yang melingkar di sekeliling pinggangnya, kuat namun lembut, dan itu adalah tangan Maximus. Pria yang biasanya tampak tangguh dan penuh kendali kini tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur dan wajah yang terlihat damai. Napas Maximus menyentuh lehernya dengan lembut, menyebabkan getaran halus menjalar di tubuh Zoe. Zoe merasa ada sesuatu yang berbeda, sebuah rasa yang sulit dia pahami. Sentuhan tangan Maximus di pinggangnya seolah menciptakan rasa aman yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Ada kehangatan yang begitu akrab, namun sekaligus menimbulkan debaran di hatinya. Zoe tidak bergerak, tidak ingin merusak momen damai itu, meski dia tahu harusnya dia melepaskan diri dan bersiap-siap memulai hari. Namun, pagi ini terasa berbeda. Zoe terdiam, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan pelukan Maximus. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri, karena biasanya, Zoe selalu menjaga jarak, selalu melindungi hatinya dari keterikatan emosional. Tapi pagi ini, dia merasa tak ingin melepaskan diri dari pelukan itu. Ada sesuatu dalam kedekatan ini yang membuatnya merasa … nyaman, seolah dia berada di tempat yang tepat. Maximus perlahan bergerak, mengubah posisinya tanpa benar-benar terjaga. Dalam tidur, wajahnya tampak tenang, jauh dari tatapan tajam dan sikap tegas yang dulu biasa dia tunjukkan. Zoe diam-diam memperhatikan tangan besar pria itu, banyak garis-garis kasar seperti bekas tembakan, atau sabetan pisau di tangan Maximus yang entah mengapa itu semakin menambah pesonanya yang maskulin. Zoe tidak pernah menyangka akan berada dalam posisi seperti ini dengan Maximus. Terkadang dia merasa tak mengerti mengapa bisa begitu terhubung dengan pria itu. Keduanya sangat berbeda—Maximus dengan dunia mafianya yang brutal, sementara Zoe dengan dunia kedokterannya yang menugaskan untuk selalu menolong orang. Sangat bertolak belakang, bukan? Tiba-tiba, Maximus bergerak lagi, dan Zoe merasakan lengan yang melingkar di pinggangnya semakin erat. Kali ini, pria itu membuka matanya perlahan, menyadari bahwa dirinya masih memeluk Zoe. Namun Zoe langsung menutup matanya seolah dia belum bangun. Hingga akhirnya Maximus perlahan melepaskan tangannya. "Selamat pagi," bisik Maximus dengan suara serak khas bangun tidur. “Zoe, kau masih tidur?” Zoe tak menjawab dan merasa wajahnya memerah karena dia harus berbohong. Dan Maximus pun tak bertanya lagi karena berpikir Zoe masih tidur. Lalu Maximus mengusap pelan tangan Zoe dan membuat Zoe kembali berdesir. Wanita itu akhirnya bergerak karena dia harus segera terjaga, agar Maximus tak merasakan detak jantungnya yang berdebar cepat. "Selamat pagi, Max," ucap Zoe, suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Keduanya terdiam sejenak, ketika Zoe beranjak duduk di tepi sofa. Ada rasa canggung yang samar, namun juga kedekatan yang membuat Zoe enggan berpisah dari Maximus. Maximus menatap Zoe, dan senyum tipis muncul di wajahnya. Tanpa berkata banyak, Maximus membenarkan rambut Zoe yang terurai berantakan, dan Zoe hanya bisa terdiam, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. “Max, kau yakin akan di sini sampai kau sembuh? Aku bisa mencarikanmu tempat tinggal sementara yang memiliki fasilitas lengkap,” ucap Zoe membuka obrolan agar kecanggungan di antara mereka hilang. “Di sini cukup lengkap. Ada kau yang merawatku. Ada makanan yang kau sediakan. Dan ada kamar mandi yang memiliki genangan air bersih di bathtub-nya. Dan yang paling penting, di sini juga lebih aman daripada di luar.” Lalu Zoe menoleh melihat ke arah Maximus. “Kau bisa tinggal di apartemenku. Di sana sangat aman.” Maximus kemudian beranjak duduk di samping Zoe sambil memegang perutnya. “Aku lebih suka di sini, Dokter.” “Kau sangat keras kepala,” sahut Zoe. Maximus tersenyum samar dan menatap wajah Zoe. “Bisakah kau mencukur sedikit janggutku dan rambutku?” Zoe melihat rambut Maximus yang memang agak panjang dan janggutnya yang mulai tak rapi. “Ya, nanti aku akan membeli alatnya dulu.” Lalu Maximus berdiri perlahan. Zoe membantunya dengan memegang tangannya. “Kau mau ke mana?” tanya Zoe. “Ada tas ku di belakang kotak kayu itu, aku ingin mengambilnya.” Maximus menunjuk ke sebuah kotak kayu besar di sudut ruangan. “Aku saja yang ambil. Kau duduk saja,” kata Zoe. “Tak apa, aku sudah cukup kuat berjalan.” Kini Maximus berdiri tegak di depan Zoe. Zoe tak menyangka Maximus setinggi itu hingga dia harus mendongak ke atas ketika melihatnya. “Kau seperti raksasa,” gumam Zoe spontan. Maximus tertawa pelan sambil mengusap puncak kepala Zoe, “kau saja yang terlalu kecil,” dan kemudian Maximus berjalan ke arah kotak kayu. Zoe berjalan di sampingnya. “Aku saja yang mengambilnya, Max,” seru Zoe ketika Max akan membungkuk untuk menggeser kotak kayu itu. “Oke, cobalah.” Max berdiri di sebelah Zoe dan membiarkan wanita itu menggeser kotak kayu yang ternyata sangat berat itu. Maximus tersenyum geli melihat itu. “Berat, kan?” Zoe menghela napasnya. “Ya, maaf aku tak bisa membantu.” Maximus kemudian membungkuk dan menggeser kotak itu dengan mudah, padahal perutnya masih terluka. ‘Ya, oke, dia mafia, Zoe. Jadi itu bukan hal yang sulit baginya,’ gumam Zoe dalam hati. Lalu Maximus mengambil tas yang cukup besar itu. Pria itu menaruhnya di atas kotak kayu. Zoe melihat Maximus mengeluarkan beberapa senjata dan juga beberapa tumpukan uang. Zoe tak memundurkan langkahnya, justru dia semakin mendekat karena penasaran. “Itu masih bisa digunakan?” “Senjata ini maksudmu?” Maximus mengangkat salah satu senjata. Zoe mengangguk dan ekspresinya terlihat penasaran. “Ya, masih ada peluru di dalamnya. Ini untukku berjaga-jaga. Sebenarnya aku sudah bisa pergi hari ini. Luka ini bukan hal yang berat bagiku, tapi aku belum ingin pergi dari sini.” “Why? Apakah kau menunggu anak buahmu datang?” “Tidak, aku ingin mengatur strategi yang matang terlebih dulu,” jawab Maximus. Setelah itu, Maximus memberikan satu gepok uang pada Zoe. “Pakai uang ini jika kau membutuhkan sesuatu yang kuperlukan di sini.” Zoe terdiam sejenak lalu mengangguk. “Duduklah lagi, aku akan mengobati lukamu.” Maximus masih terpaku di hadapan Zoe. Pria itu kemudian memegang dagu Zoe dan mengusapnya dengan lembut. Cahaya remang-remang dari lampu minyak, membuat wajah cantik Zoe terlihat eksotik di mata Maximus. “Mengapa kau menolongku, Zoe? Aku bukan orang biasa dan kau mengambil resiko besar dengan menolongku.” Zoe menelan salivanya. “Aku sudah mengatakannya sejak awal, bukan?” “Kau tertarik padaku?” tanya Maximus sambil tersenyum miring. Napas Zoe memberat dan kini mereka saling menatap. Wajah Maximus mendekat, namun anehnya Zoe tak menghindar. “Mungkin,” bisik Zoe dan bibirnya terbuka seakan sedang mengundang pria itu. ‘Aku pasti sudah gila! Aku tertarik pada mafia ini! Oh my … aku tak bisa menghindar dari pesonanya yang begitu kuat meskipun dalam keadaan lemah sekalipun,’ gumamnya galau dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN