Di dalam rumah lembab dengan cahaya temaram, Zoe dan Maximus tenggelam dalam keheningan yang dipenuhi debar.
Ciuman itu, awalnya perlahan dan lembut, mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih penuh perasaan, seakan-akan kedua insan itu menyalurkan semua emosi yang selama ini tersembunyi.
Zoe merasa seluruh tubuhnya berdenyut, detak jantungnya berdegup kencang dan kian menggebu setiap kali bibir Maximus menyentuh bibirnya.
Ada sesuatu yang begitu asing dan menggugah dalam sentuhan itu.
Momen ini adalah pertama kalinya dia mencium seorang pria, sebuah perasaan yang di luar perkiraannya.
Zoe, yang biasanya penuh kehati-hatian dalam segala hal, termasuk soal hubungan dengan pria, kini justru kehilangan kendalinya di hadapan Maximus.
Betapa ironis, pikirnya sejenak, bahwa ciuman pertamanya adalah dengan seorang mafia besar.
Hidupnya yang biasanya berjalan rapi dan tertib kini dipenuhi oleh kehadiran Maximus, sosok yang datang dengan caranya sendiri, membawa ketegangan dan gairah dalam waktu yang bersamaan.
Meski hatinya bergejolak, dia tak mampu menolak pesona pria di hadapannya.
Maximus merasakan bagaimana tubuh Zoe sedikit bergetar dalam dekapannya, dan itu membuatnya semakin tenggelam dalam momen itu.
Baginya, Zoe adalah sebuah paradoks, wanita yang kuat dan tangguh di luar, namun memiliki kelembutan yang begitu indah saat dia berada dalam genggamannya.
Maximus memperdalam ciumannya, membuat Zoe seolah terbawa dalam tarian emosi yang dia ciptakan.
Setiap pagutan dalam sentuhan bibirnya seolah ingin menenangkan Zoe, namun di balik kelembutan itu ada tuntutan, sebuah keinginan untuk membuat Zoe merasakan perasaannya yang selama ini dia sembunyikan.
Zoe menutup matanya, menyerahkan diri pada perasaan yang baru dan asing ini.
Ia tak pernah membayangkan bahwa seorang pria seperti Maximus, yang berbahaya dan penuh risiko, bisa menggerakkan hatinya sedemikian rupa.
Namun, dia tak dapat mengelak dari kenyataan bahwa perasaan ini nyata, bahwa dia tak mampu menolak kehadirannya.
Di tengah perasaan ragu dan ketakutan, ada sesuatu yang membuat Zoe justru merasa aman dalam dekapan Maximus, seakan-akan dia menemukan tempat perlindungan di balik sosok pria yang sering dia anggap sebagai ancaman.
Ketika mereka perlahan melepaskan diri dari ciuman panjang itu, Zoe menatap Maximus dengan tatapan yang penuh pertanyaan namun juga harapan.
Ia mencoba mencari kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya, namun semuanya tertahan di tenggorokannya.
Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang seolah berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang tak terucapkan.
Zoe menghela napas, sedikit menunduk untuk menyembunyikan rona merah di pipinya yang tak biasa.
Zoe terdiam, lalu kembali memandang Maximus dengan mental yang mulai berani.
Meski ada ketakutan dalam hatinya, dia tahu bahwa dia juga tidak ingin berpaling.
Ada sesuatu yang menarik dari Maximus, sesuatu yang melampaui ketertarikan fisik.
Di balik tatapan tajamnya, ada kelembutan yang jarang dia perlihatkan, dan Zoe merasa istimewa karena menjadi orang yang melihat sisi itu.
Maximus meraih tangan Zoe dan menggenggamnya erat, membiarkan kehangatan mengalir di antara mereka.
Zoe merasakan ketenangan di tangan pria itu, berbeda dengan rasa gugup yang masih menghinggapi Zoe.
“Apakah ini … terlalu cepat untukmu?” tanya Maximus, suaranya lebih pelan, nyaris berbisik.
Zoe menggeleng pelan, tetapi tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
Ia hanya balas menggenggam tangan Maximus, membiarkan perasaan yang menghangatkan hatinya terungkap tanpa harus berbicara.
Terkadang, diam adalah jawaban terbaik, dan saat ini Zoe merasa bahwa keheningan ini jauh lebih bermakna daripada ribuan kata.
Mereka kemudian kembali duduk dalam keheningan yang hangat, saling memandang dengan tatapan yang menyimpan banyak makna.
Zoe mengambil peralatan dokternya dan kotak obat lalu mulai mengobati kembali luka-luka di tubuh Maximus.
“Kau tak bekerja hari ini?” tanya Maximus sambil mengusap pipi Zoe.
“Aku sudah mengatakannya kemarin. Aku cuti hari ini.” Zoe fokus pada luka di perut Maximus.
Maximus suka melihat wajah serius Zoe yang sedang melakukan pekerjaan dokternya itu.
“Untuk merawatku?” Dengan usil, Maximus mengusap lembut bibir Zoe dengan jarinya, hingga membuat Zoe kehilangan fokusnya.
“Max, aku sedang mengobatimu, jangan menggodaku.” Zoe menghela napas.
Maximus tersenyum miring dan kembali menatap wajah wanita cantik yang baru saja berciuman dengannya.
“Besok kau harus sudah menyelesaikan urusan rumah ini. Kau bisa?” Maximus kembali membuka pembicaraan.
“Hmm, baiklah. Tapi bagaimana jika rumah ini bermasalah dan tak bisa dijual?”
“Kita bicarakan nanti lagi. Untuk di awal, kau cari tahu saja milik siapa rumah ini,” jawab Maximus.
“Aku pernah mendengar rumor. Rumah ini tak memiliki pemilik lagi karena keluarga di dalam rumah ini bunuh diri semuanya. Bahkan kerabat jauh pemilik rumah ini tak ada yang mau mengambilnya karena takut dengan kutukan dari keluarga yang sudah mati itu,” papar Zoe.
Maximus tertawa mendengar itu. “Tak masuk akal. Semua yang sudah mati tak akan bisa mengutuk.”
“Max, jangan bicara seperti itu. Meskipun aku tak pernah percaya dengan hal semacam itu, tapi aku tak pernah menertawakannya.” Zoe menaikkan satu alisnya ketika melihat Maximus.
“Oke, aku tak menertawakannya, hanya saja itu tak masuk di logikaku,” jawab Maximus dan kemudian menarik dagu Zoe lalu melum*at bibirnya sekilas.
Gerakan mendadakn itu membuat Zoe menjatuhkan kasa yang dipegangnya. “Max!”
Maximus hanya tersenyum saja dan kemudian menyandarkan tubuhnya. “Apakah lukaku sudah mengering?”
“Belum sepenuhnya, tapi aku sudah memberikanmu obat yang terbaik, jadi ini akan cepat kering. Kemungkin besok atau besok lusa.” Zoe menyelesaikan tugasnya dan kemudian kembali merapikan peralatan dokternya dan juga kotak obat.
“Aku akan membuat makanan dulu. Hanya makanan kaleng, kau tak masalah, kan?”
“Tak masalah, aku bahkan pernah makan ular ketika tersesat di hutan,” jawab Maximus dengan santai.
“Hidupmu cukup seru, Tuan.” Zoe hanya menggelengkan kepalanya.
“Cukup? Tidak, Sayang. Tapi sangat seru,” jawab Maximus yang mulai banyak bicara setelah tubuhnya mulai membaik.
Sembari menunggu Zoe menyuiapkan makanan, Maximus merebahkan tubuhnya di sofa usang itu. “Bisakah kau membeli kasur lipat yang lebih lebar dan tebal? Aku sudah mulai muak tidur di atas sofa ini.
Zoe tertawa lirih. “Kau kutawarkan untuk tinggal di apartemenku, tapi kau tak mau. Ya, besok akan kubelikan kasur angin saja, jadi aku tak akan susah membawanya kemari.”
“Ya, kau benar. Idemu sangat bagus.”
Tak lama, Zoe sudah selesai menyiapkan makanan dan mereka mulai makan bersama. Kini mereka sudah mulai mengobrol ringan dan ruangan temaram itu tak lagi hening seperti biasanya.
*
*
Setelah makan pagi mereka selesai, mereka kemudian naik ke lantai atas. Beberapa ruangan masih tertutup korden usang dan berdebu, namun itu sama sekali tak membuat Maximus dan Zoe takut dengan suasana rumah menyeramkan itu.
“Max, kau tak boleh terlalu banyak bergerak dulu,” kata Zoe mengingatkan. Ini masih hari ketiga dan kau baru mulai membaik,” ucap Zoe ketika Maximus naik ke tangga lantai tiga.
“Aku mengenal tubuhku, Dokter. Jadi kau jangan khawatir.” Maximus masih menggandeng tangan Zoe dan mereka sampai di rooftop rumah itu.
Ternyata di belakang rumah terdapat sebuah danau yang cukup besar dan rumah itu berdiri megah di atas bukit yang sedikit curam dan tak memiliki tetangga di sekitarnya.
“Rumah ini sangat bagus, sayang jika tak dimiliki,” kata Maximus.
“Kau seperti agen perumahan saja,” celetuk Zoe.
Maximus tersenyum tipis. “Aku suka membeli rumah di negara yang kukunjungi.”
“Lalu kau sering mengunjungi rumah-rumah itu?”
“Tidak, aku hanya hobi membeli rumah, tapi jarang kutempati.”
Zoe tertawa lirih. “Hobi yang aneh dan menyebalkan. Apakah ada satu wanita yang menunggumu di rumah-rumah itu?”
Maximus menghadap ke arah Zoe dan menatapnya. “Tidak, aku tak suka ada yang menungguku karena mungkin saja aku tak akan pernah pulang.”
Mereka saling berpandangan lalu Zoe berjinjit dan melingkarkan tangannya ke leher Maximus.
“Aku tak akan pernah menunggumu pulang,” kata Zoe, nyaris berbisik.
Dengan berani, wanita itu memulai kembali sebuah ciuman penuh kelembutan yang intens.
Maximus tersenyum dalam pagutan itu dan menarik pinggang ramping Zoe lebih dekat dan membalas ciuman Zoe.