“Risa … Risaaaa”
Suara seseorang yang tidak henti memanggil Risa tidak tahu milik siapa, tapi yang pasti dia sedang berasaha menyusul langkah Risa yang sedang berjalan di koridor sekolah. Sedangkan orang yang menjadi pemilik nama Risa itu, dia seakan tidak peduli namanya terus menerus dipanggil, sekalipun dia sudah tahu dan mendengar jika memang ada orang yang sedang memanggil namanya, tapi dia masih tetap tidak mempedulikannya.
“Diana Merissa …”
Diana Merissa, itulah nama panjangnya. Hanya saja dia lebih sering disapa Risa, diusianya yang baru menginjak angka 16 tahun, dia sudah berada dikelas 12 SMA. Prestasi sudah tidak terhitung dia dapatkan dan persembahkan kepada sekolah, karena nyatanya banyak anak yang ingin berada diposisi Risa. Orang tua yang memiliki harta berlimpah, cantik, selalu menjadi kebanggaan sekolah dan guru – guru, apalagi yang kurang dalam kehidupan Risa.
Namun, dibalik itu ada sesuatu yang membuat Risa justru tidak ingin berada dalam posisinya sekarang, Risa hanya menginginkan sebuah kehangatan keluarga yang selama ini tidak pernah dia dapat dari keluarganya. Hal itu, membuat Risa lebih suka menyendiri dari pada berinteraksi dengan teman – temannya yang lain, dia tumbuh menjadi sosok yang dingin, kaku dan cuek, hal itu juga yang membuat teman – teman Risa tidak mau berteman dengan Risa.
Saat jam istirahat, Risa tidak pergi ke kantin atau kemanapun bersama teman – temannya yang lain, tujuan utamanya saat istirahat adalah perpustakaan, di sana Risa sering menghabiskan waktunya baik itu untuk sekedar membaca buku atau hanya menumpang tidur. Siang ini, saat sedang berjalan menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya setelah pulang dari perpustakaan, Risa mendengar seseorang terus – menerus memanggil namanya, dan Risa berusaha untuk tidak mempedulikannya. Sampai akhirnya, Risa bisa merasakan sebuah tepukan tepat diatas bahunya, tapi hal itu tidak membuat Risa mengalihkan tatapan matanya, dia masih tetap fokus berjalan seakan tidak peduli pada sosok yang sedang berjalan dengan nafas terengah disampingnya.
“Sa, kamu enggak denger ya aku dari tadi manggil – manggil kamu ?” ujarnya, sambil menyampirkan tangan pada bahu Risa.
Namun, Risa tetaplah Risa yang tidak mudah terpancing dengan hal apapun, dia masih tidak bergeming sedikitpun bahkan setelah orang yang sejak tadi memanggil - manggil namanya, sudah berjalan disampingnya dengan nafas ngos – ngosan. Saat kakinya sudah memasuki ruangan kelas, Risa langsung mendudukkan tubuhnya di kursi yang sudah dia huni sejak resmi menjadi kelas 12, diikuti sosok yang sejak tadi mengikuti Risa yang memang sebenarnya adalah teman sebangku Risa. Amelia Ananta namanya, sering disapa Amel oleh orang – orang terdekatnya kecuali Risa, karena yang Amel ingat seumur dia duduk satu bangku bersama Risa, belum pernah sekalipun Risa menyebut namanya. Amel merupan satu – satunya teman satu kelas Risa yang tidak pernah lelah dan bosan untuk bisa mendapat simpati dan bisa berteman juga dengan Risa.
Disaat teman – teman Risa yang lain menjauhi Risa, mengatai Risa, dan tidak menyukai Risa, tapi semua itu tidak pernah berlaku untuk Amel, sekalipun sikap Risa tidak pernah bersahabat kepada Amel. Namun, Risa pikir semua sikap itu justru Amel gunakan sebagai motivasi agar dia bisa lebih semangat dan giat mendapatkan simpati Risa agar bersedia menerimanya sebagai teman.
“Heh Mel, elo ko mau sih temenan sama orang yang udah kaya patung es gitu ?” tanya Amanda, salah satu teman mereka di dalam kelas.
Bagi Risa, mendapat cibiran seperti itu sudah menjadi hal biasa, maka saat ada orang yang mencibirnya, Risa selalu berusaha untuk tidak mempedulikannya. Karena selama ini, Risa memang selalu berusaha hidup dengan caranya dan berusaha tidak bergantung kepada orang lain. Selain karena cibiran mereka yang tidak memberikan perubahan apapun pada kehidupannya, Risa juga merasa hanya akan membuang – buang waktu jika terus meladeni mereka. karena dengan ada atau tidak adanya cibiran mereka, Risa hanya akan tetap menjadi Risa yang kesepian, sendiri, dan terasingkan saat dia berada dalam kehangatan dunia ? karena selama hidupnya Risa tidak pernah diberikan kesempatan hidup berada dalam kehangatan.
“Jaga mulut lo ya, dia itu temen gue !!!” bela Amel, tidak rela Risa dicibir oleh Amanda.
Medengar reaksi yang ditunjukkan Amel, Risa justru terlihat tidak mempedulikan keduanya, dia seakan tidak tertarik bahkan hanya untuk sekedar melihatnya saja tidak. Karena menurut Risa, apa yang Amel lakukan hanya kurang kerjaan, masih ada banyak hal yang bisa dia lakukan selain meladeni Amanda. Lagi pula, untuk apa Amel mau repot – repot membela Risa disaat Risa sendiri sudah tidak mau membela dirinya sendiri. Selama ini, Risa sudah merasa tenang dengan cara hidupnya yang tidak mempedulikan apapun yang mereka katakan, dan Risa juga tidak membutuhkan pembelaaan apapun dan dari siapapun.
***
Setelah melakukan pembelajaran hampir satu harian, akhirnya bel pulang berbunyi, dan seluruh siswa bisa pulang. Risa yang sejatinya tidak pernah berusaha akrab kepada teman – temannya, langsung pergi begitu saja, tanpa pamit atau mengucapkan apapun kepada teman – temannya yang masih berada di dalam kelas.
Rumah bukanlah tempat yang sangat Risa senangi, jika ada sebagian anak yang selalu ingin cepat pulang dan berjumpa dengan keluarga, maka Risa tidak. Risa lebih suka dengan suasana luar yang bisa membuat dia sedikit melupakan keinginan sederhana yang tidak pernah dia dapatkan. Karena dirumahnya, Risa hanya akan merasakan kesendirian dan kesepian, hal itu selalu berhasil menampar perasaan Risa dan kadang selalu berhasil membuat Risa ingin tertawa untuk menertawakan kehidupannya yang sangat begitu menyedihkan.
Tapi, disisi lain Risa tidak punya tujuan lain selain rumah saat dia pulang dari sekolah. Hal itu, membuat Risa mau tidak mau harus tetap pulang dan menyendiri dalam kemegahan rumah yang sudah susah payah kedua orang tuanya bangun. Namun, semegah apapun rumah yang dihuninya, seluas dan sebesar apapun rumah kedua orang tuanya, hanya kamar yang akan menjadi satu – satunya ruangan yang Risa huni. Karena kamar, adalah saksi bisu setiap tangis kesendirian Risa, kamar adalah saksi bisu setiap kesedihan Risa yang merasa tidak punya siapa – siapa.
“Sendiri mungkin sudah menjadi sebuah hobi yang tidak bisa aku tinggalkan dalam keseharian ku untuk aku jalani, rumah ini hanya menjadi salah satu settingan tempat yang tuhan gariskan sebagai siksaan secara halus sebelum dia mencabut nyawa ku, mungkin jika besok aku meninggal tidak akan ada orang yang menemukan jasad ku hingga beberapa hari kedepan” gumam Risa, sambil membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan matanya menatap kearah langit – langit kamar.
***
Risa terbangun dari tidurnya saat dia mendengar suara yang begitu keras dari lantai bawah, setelah pulang sekolah Risa memang ketiduran dan dia baru terbangun saat mendengar suara berisik dari lantai bawah. Matanya melirik kearah jam dinding yang sudah menunjukkan waktu tengah malam, kemudian Risa mendudukkan tubuhnya untuk mengumpulkan sebagian nyawa yang mungkin belum masuk ke dalam tubuhnya, karena masih berkelana di alam mimpi. Namun, suara yang terdengar saling bersahutan keras serta teriakan penuh amarah dari dua orang yang sangat Risa kenali, berhasil membuat tubuh Risa terhenyak saat mendengar teriakan atau bunyi keras yang bisa membuat kaget.
“Tuhan kenapa kau tidak cabut saja nyawa ku, dari pada kau siksa aku dengan cara seperti ini, mungkin dengan kepergian ku bisa membuat mereka tenang dan tidak lagi bertengkar” gumam Risa, dengan mata terpejam berusaha melebur rasa sakit yang tiba – tiba mencubit hatinya.
Risa melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar, bahkan dalam keadaan kamarnya yang masih gelap, Risa bisa dengan mudah berjalan dan membuka pintu tanpa menyalakan lampunya terlebih dahulu, dia seakan sudah terbiasa dengan keadaan kamarnya yang gelap hingga membuat dia bisa dengan leluasa berjalan tanpa sebuah penerangan. Kakinya berjalan menuruni anak tangga, belum sempat kakinya sampai di lantai dasar, Risa bisa melihat sepasang manusia yang sedang berperang amarah, dan kegiatan itu sudah tidak asing lagi Risa lihat sejak dia masih kecil.
“Aku akan segera mengurus perceraian kita, dalam waktu singkat surat gugatan cerai akan segera sampai ditangan mu, aku menyesal sudah menikah dengan perempuan seperti mu”
Suasana rumah yang sedang sunyi karena sudah tengah malam membuat setiap untai kata yang terucap dari lisan pria yang Risa panggil dengan sebutan papah itu terdengar menggema memenuhi setiap sudut rumah. Hati Risa mencelos saat mendengar ucapan ayahnya, Risa benci perpisahan, karena dengan perpisahan Risa akan semakin merasa sendirian dan kesepian. Hati Risa yang selama ini sudah hancur berkeping – keeping karena sikap dan hubungan orang tuanya yang tidak pernah akur, sekarang kepingan terakhir yang selama ini Risa pertahankan, bahkan kepingan terakhir itu yang membuat dia bisa tetap bertahan, kembali hancur setelah mendengar pernyataan kedua orang tuanya yang akan berpisah.
“Berhenti Mah, Pah, apa yang kalian lakukan ? bisakah kalian berpikir lebih tenang dan bertindak dengan dewasa untuk menyelesaikan masalah kalian, tolong bicarakanlah semuanya dengan baik – baik, aku lelah mendengar kegaduhan yang kalian ciptakan” ujar Risa, berhasil membuat mata kedua orang tuanya menoleh kearah Risa yang masih berdiri diundakan tangga.
“Diam kau anak kecil, kurangajar sekali kau berbicara sekeras itu kepada ku”
Suara bentakan ayah Risa terdengar semakin menggema, tapi hal itu tidak membuat Risa merasa takut atau berniat pergi dan mengurung diri di dalam kamarnya. Karena hal itu sudah biasa menurut Risa, melihat kemarahan ayahnya, melihat pertengkaran kedua orang tuanya, mandapat perlakuan kasar dari mereka sudah menjadi makanan Risa. Bahkan saat ayahnya berjalan menghampiri Risa yang masih berdiri diundakan tangga, dengan tatapan penuh kemarahan tergambar nyata dimatanya, Risa masih tetap diam seakan sedang menyambut kemarahan ayahnya.
Plak… Plak …
Dua temparan berhasil mendapat pipi kanan dan kiri Risa, tidak ada suara ringisan yang terdengar keluar dari mulut Risa, dia hanya diam seakan tidak merasakan sakit sedikitpun. Kemudian, ayahnya langsung menjambak rambut Risa dan menyeretnya turun tangga, tepat saat mereka sudah sampai dilantai dasar. Saat itulah, tubuh Risa dihempaskan dengan keras, hingga membuat Risa terduduk dan wajah terjerembab ke lantai. Tidak cukup sampai disitu, lagi – lagi ayah Risa kembali menjambak rambut Risa untuk yang kedua kalinya, hingga membuat kepala Risa mendongak.
“Aku sangat membenci kehadiran mu anak sialan, kehadiran mu hanya mempersulit hidup ku”
“Kau hadir sebagai pembawa sial di dalam hidupku, asalkan kau tahu”
Dua kalimat itu terucap dari mulut ayahnya dengan dingin dan datar, sangat kentara jika dia memang tidak suka Risa ada di dalam kehidupannya. Kemudian, setelah mengucapkan dua kalimat yang terasa begitu menyakitkan masuk ke dalam hati Risa, ayahnya langsung mendorong kepala Risa, hingga membuat kepala Risa membentur tembok. Selama beberapa detik Risa sempat terdiam tidak melakukan pergerakan apapun, saat itu Risa sedang berusaha menormal kepalanya yang tentu merasa sakit. Bahkan saat itu, Risa bisa mencium bau amis, serta tetesan darah yang mengalir dari dahinya.
“Sakit, ini sangat sakit, apakah ini saatnya tuhan mencabut nyawa ku” batin Risa bersuara saat dia masih berada dalam posisi kepala menunduk dan bersandar pada dinding. Tapi, saat itu Risa merasa jika yang kuasa masih memberinya kekuatan untuk tetap bertahan, kemudian Risa berusaha menegakan posisi tubuhnya, wajahnya yang semula tertutup rambut akhirnya kembali terlihat, dan saat itulah wajah Risa yang semula putih bersih menjadi banjir darah. Dari posisinya, Risa bisa melihat ayahnya menatap Risa dengan amarah yang masih tergambar nyata dikedua belah matanya, lalu setelah itu dia pergi tanpa rasa khawatir atau bersalah karena sudah menyakiti Risa.
“Mah, jangan tinggalin aku, aku takut, aku janji enggak akan menyusahkan Mamah, tapi aku mohon jangan pergi ninggalin aku sendirian, Mah”
Risa merangkak layaknya balita kecil yang belum mampu berjalan, air mata yang sejak tadi tidak menetes akhirnya jatuh membasahi kedua belah pipinya. Bagi Risa, kalimat menyakitkan yang baru saja ayahnya katakan, kepergian ayahnya yang bahkan tidak mau melirik Risa dengan rasa bersalah atau khawatir, terasa lebih menyakitkan dari jambakan dan tamparan yang ayahnya lakukan. Setelah melihat kepergian ayahnya, Risa tidak ingin melihat kepergian ibunya juga.
Tangan Risa, memeluk kaki jenjang yang sejak tadi berdiri diam tanpa melakukan pergerakan apapun, saat itu Risa merengek – rengek layaknya bocah kecil yang takut kehilangan ibunya dengan perasan penuh luka. Namun, belum lama Risa memeluk kaki jenjang ibunya, tiba – tiba Risa merasakan kaki yang sejak tadi dia peluk melakukan pergerakan, dan setelahnya Risa merasakan ada sesuatu yang membentur bagian hidungnya, atau lebih tepatnya tendangan yang dilakukan oleh perempuan yang dia sebut mamah. Risa bisa merasakan ada cairan kental berbau anyir yang berusaha memberontak keluar dari hidungnya setelah tendangan itu terjadi.
“Dengar, kamu hadir tanpa pernah aku inginkan, dan kehadiran mu hanya memperumit hidup ku saja”
“Jadi, jangan harap aku mau tetap hidup bersama mu, setelah ayah mu menjatuhkan talaknya nanti, mengerti” ujar perempuan yang sudah melahirkan Risa ke dunia, sambil mencengkram pipi Risa.
Setelah melepaskan cengkraman tangannya dari pipi Risa dengan kasar, dia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Risa dalam keadaan menyedihkan. Mata Risa tidak lepas menatap punggu ibunya yang perlahan berjalan semakin jauh dan menghilang dibalik pintu. Saat itu, Risa sadar jika sekarang dia hidup hanya sendirian, dia tidak punya siapapun yang bisa dijadikan teman dan alasan menjalani kehidupan, malam ini tidak tahu akan menjadi malam keberapa Risa merasa putus asa dan ingin menyerah pada kehidupannya.