"Itulah yang membuatku ingin membicarakannya denganmu. Apa yang terjadi pada Jingga?" Keenan bertanya balik.
"Aku khawatir. Sangat..." Keenan melanjutkan ucapannya.
"Dia sendirian di dunia ini.. Ayah dan ibunya sudah tidak ada. Kemarin, aku melihatnya menangis sendirian di depan pusara orang tuanya.." Keenan menghela nafas panjang.
"Tapi, ada suaminya bukan?" Jemma menatap Keenan.
"Itu yang aku khawatirkan. Kenapa dia menangis di depan pusara orangtuanya kalau ada suami di dekatnya?" Keenan meminta pendapat Jemma.
"Ah, kamu benar. Apa dia menangis karena ada masalah dengan suaminya??" Jemma menduga duga.
"Aku pikir begitu.." Keenan mengangguk.
"Keenan, apa bisa kamu informasikan rumah yang di Dreamland Regency itu? Aku akan coba mendatanginya.." Jemma bertanya.
"Dreamland Regency Blok L Nomor 53. Rumah berpagar putih.." Keenan menjawabnya. "Kamu mau ke sana sekarang?"
"Inginnya.. Tapi aku tidak bisa saat ini juga. Ada rapat di kantor," Jemma melihat jam tangannya. "Jadi, mungkin besok aku berkunjung."
"Aku tidak mungkin memunculkan diri begitu saja di rumah orang. Apalagi dengan situasiku sekarang ini.." Keenan menerangkan. "Aku.. Minta bantuanmu ok? Tolong.."
Jemma menatap Keenan, "Apa boleh aku bertanya? Dan jawab dengan jujur.."
"Tentu saja.." Keenan mengangguk.
"Kenapa kamu melakukan ini semua? Untuk kasusku, Jingga adalah teman lamaku. Dan hubungan kita terputus tanpa sebab jelas. Setelah mendengar ceritamu itu, aku bertekad untuk mengklarifikasi semuanya. Sebelum benar benar terlambat," Jemma meminta penjelasan Keenan.
"Kalau aku? Jawabannya, karena Jingga cinta pertamaku!" Keenan tersenyum, "Aku bahkan menyukainya sampai sekarang. Dia menjadi alasanku untuk tidak menikah sampai sekarang.."
"APAAA???" Jemma membelalak kaget. "Keenan.. Aku mendengar rumor tentangmu. Apa yang kamu ucapkan barusan sudah menjadi bahan pembicaraan. Aku tidak menyangka kalau cinta pertamamu adalah Jingga.."
"Rumor apa?" Keenan tersenyum.
"Keenan Rasyid tidak menikah karena masih menyukai cinta pertamanya! Itu yang aku dengar... Ternyata itu betul dan cinta pertamamu seseorang yang aku kenal!!!" Jemma tersenyum lebar.
"Kenapa juga bisa ada rumor tentangku?" Keenan geleng geleng kepala sambil tersenyum.
"Kamu termasuk hot bachelor.. Keenan Rasyid berhasil jadi sosok yang sukses, tampan, kaya, smart dan populer. Siapa yang tidak tahu kamu di komunitas kita.." Jemma mengungkapkan pendapatnya.
Keenan lagi lagi tersenyum, "Ah sudahlah. Aku pindah mobil dulu. Ini hari pertamaku menjadi seorang menteri. Aku tidak mungkin lalai dan bekerja sesuka hati."
"Ok.. Aku akan membantumu. Kita harus cari tahu soal Jingga," Jemma menatapnya.
"Harus... Jem, kalau Jingga tersakiti, dan tidak ada upaya suaminya untuk membahagiakannya. Atau malah, kalau ternyata suaminya yang membuatnya bersedih, aku tidak akan ragu untuk merebutnya dari tangan suaminya.." Keenan berkata tegas.
"Sampai saat ini, aku tidak bisa melupakannya. Aku bisa merelakannya bersama lelaki lain yang mencintainya. Tapi tidak dengan lelaki lain yang menyakitinya.." Keenan merubah ekspresinya menjadi keras.
Jemma langsung tersentuh, "Ah, aku terharu.. Andai kekasihku mencintaiku seperti kamu mencintai Jingga."
Keenan mengatupkan bibirnya, "Ya, aku serius.. Kesedihan Jingga jadi kesedihanku.."
Jemma mengangguk, "Kita akan cari tahu apa yang terjadi pada Jingga selama ini. Apapun itu!"
"Thanks! Help me, help her ok?" Keenan menatap Jemma.
"Pasti! Aku tahu posisimu sebagai menteri tidak memungkinkan untuk bergerak bebas. Jangan khawatir, aku akan membantumu.." Jemma meyakinkan Keenan.
"Sungguh aku berterima kasih... Bye Jem.. Kita pasti ketemu lagi.." Keenan turun dari mobil dan berlari ke mobilnya yang parkir di belakang mobil Jemma.
"Kemana pak?" Riko bertanya.
"Langsung ke kantor.." Keenan duduk dan merenung.
Ada kesalahpahaman yang terjadi antara Jingga dan Jemma. Entah kenapa, perasaannya mengatakan kalau suaminya ada dibelakang ini semua.
***
Shanum dengan tak sabar menanti kedatangan suaminya. Ia terus bulak balik di dalam rumah.
Sampai akhirnya ia mendengar suara mobil masuk garasi. Shanum sudah mempersiapkan makan malam dan juga baju ganti suaminya.
Ia melakukan itu semua, sebagai pengabdian terakhirnya. Ya, besok ia tidak akan lagi tinggal di rumah ini..
Fathir seperti biasa menyimpan tas kerja dan sepatunya sembarangan di lantai. Shanum dengan sabar membereskan itu semua.
Ia menarik nafas panjang dan mencoba membuat dirinya tenang. Matanya memperhatikan kalau Fathir masuk ke kamar mandi. Terdengar suara air shower yang mengalir, tanda kalau suaminya mulai mandi.
Shanum membereskan segala barang suaminya yang berantakan. Ia menyimpannya di ember cucian. Lalu duduk menanti di meja makan.
Tak lama, suaminya keluar dari kamar tidur dengan berpakaian lengkap dan duduk di meja makan. Ia mulai mengambil aneka sajian di atas meja dan menikmati makan malam itu. Sedangkan Shanum tidak berselera makan, ia hanya meminum segelas teh dan potongan buah apel yang ada di hadapannya.
Beberapa menit berlalu tanpa suara. Hanya denting sendok garpu yang beradu dengan piring mengisi kesunyian ruangan itu. Selang beberapa saat kemudian, Fathir menyimpan sendok dan garpunya tanda ia telah selesai makan.
"Shanum, aku harus bicara. Mulai besok, mungkin aku hanya sesekali saja datang ke rumah ini.." Fathir menatapnya.
"Aku akan lebih sering tinggal di rumah lain.." Fathir menjelaskan.
Shanum menarik nafas panjang. Ini kesempatannya untuk bicara.
"Silahkan saja. Tapi, aku bulat dengan keputusanku.. Aku minta cerai..." Shanum berkata dengan tenang.
"Kamu? Meminta cerai..? Jangan bicara hal yang akan kamu sesali.." Fathir berkata sinis.
"Aku serius. Silahkan saja kamu tinggal dimanapun. Aku tidak akan ada lagi di rumah ini... Terima kasih atas semuanya selama ini. Tapi, hidupku kedepan tidak lagi bersamamu.." Shanum menahan emosinya.
"Kamu hidup darimana? Bagaimana kamu makan?" Fathir kembali menyindirnya.
"Tidak usah dipikirkan... Bukan urusanmu lagi. Aku hanya minta surat cerai.." Shanum kembali berucap.
"Saat kamu pergi dari rumah ini, kamu bukan istriku lagi..." Fathir bicara dengan keras.
"Iya, itu niatku. Aku tidak akan lagi menjadi istrimu. Sudah cukup. Toh ada perempuan lain yang menggantikanku.. Itu bukan suatu hal yang bisa aku terima.." Shanum menarik nafas panjang.
"Kita berakhir.." Shanum berdiri dari kursinya.
"Dasar kamu tidak tahu diuntung!!!" Fathir tiba tiba bicara keras. "Aku harus mengurus segala permasalahan yang ditinggalkan oleh orang tuamu, tapi kelakukanmu seperti ini!"
Shanum mengepalkan kedua tangannya. Fathir menyebutkan soal orang tuanya, dan ini menyakitkan rasanya. Tapi, Shanum tidak akan luluh.
"Aku mungkin bukan perempuan yang tahu bersyukur. Aku tidak tahu diuntung. Jadi, kita berpisah. Cerai jadi solusi terbaik bukan? Kamu juga tidak lagi harus mengurus perempuan tak tahu diuntung ini.." Shanum berusaha kuat dan tegar.
"Coba saja kalau kamu bisa! Tinggalkan aku dan hidup sendiri.. Tidak mungkin kamu bisa bertahan!" Fathir kembali menyeringai. "Dan, tidak perlu menunggu besok, pergi saja dari sekarang!"
Shanum menatap Fathir dengan perasaan terluka. Ia tidak menyangka, sekasar itu ucapan Fathir padanya... Apa yang terjadi?
Ia merasakan ada beberapa tetes air mata mengalir di pipinya. Shanum menghapusnya, "Baik aku pergi malam ini juga."
"Aku serius! Sekali kamu melangkah keluar dari rumah ini, kamu bukan istriku lagi!! Aku menjatuhkan talak padamu.." Fathir berteriak dengan keras.
"Itu yang aku harapkan! Aku tidak ingin lagi menjadi istrimu! Apa yang aku alami ini terlalu menyakitkan. Dan, tidak ada lagi cinta.. Tidak ada lagi sayang.. Buat apa??" Shanum balas berteriak sebisanya.
Sambil mengatur nafasnya, Shanum bergerak ke dalam kamar tidurnya dan mengambil tas kecil yang sudah ia persiapkan. Ia lalu berjalan keluar kamar sambil memesan taksi online.
"Aku pergi.. Kamu sudah berucap, kalau aku bukan istrimu lagi. Silahkan menikah dengan perempuan itu.. Aku pamit mundur.." Shanum menatap Fathir dengan tajam.
Suaminya itu hanya diam, tak percaya kalau istri yang selama ini penurut ternyata bisa melawannya. Bahkan, meminta sebuah perceraian.
Fathir membisu, entah apa yang harus ia ucapkan. Matanya memperhatikan kalau istrinya bergerak ke arah pintu depan. Ia tak ingin berbuat apapun. Meski kesal, tapi apa yang bisa ia perbuat?
Shanum mengenakan sepatu dan menutup pintu depan rumah. Tak lupa ia membawa tas lain yang ia sembunyikan di luar rumah. Tas itu yang berisi kebutuhannya untuk melamar kerja.
Ia melangkah keluar pagar tanpa melihat lagi ke belakang. Shanum dengan berani meninggalkan rumah berpagar putih yang telah menjadi tempat tinggalnya selama beberapa tahun terakhir. Ia bahkan dengan sadar sepenuhnya telah meninggalkan kunci rumah dan pagar miliknya. Kali ini, ia pergi tanpa membawa kunci tersebut.
Tidak ada niat untuk kembali. Yang ada hanya niat untuk menata hidupnya. Sendiri, tanpa lelaki yang sudah begitu jahat dan menyakiti perasaannya.
Taksi online yang ia pesan pun tiba. Dengan percaya diri, ia masuk ke dalam taksi tersebut sambil tersenyum.
Memang, ada sisa sisa air mata yang mengalir. Tapi, itu hanya sisa.. Tidak ada lagi air mata.. Sumber kesedihan sudah ia tinggalkan. Ia harus bahagia..
Kini waktunya menatap masa depan...