Keenan pun mulai melangkah keluar ruangan dan turun ke lobi. Ia memasuki mobil khusus dengan plat nomor yang menggunakan alfabet RI.
Tapi setelah duduk, ia berubah pikiran. "Riko, kita pergi dengan mobil pribadi saya.."
Keenan pun keluar dari mobilnya. Makan siang ini adalah urusan pribadinya, ia tidak ingin menggunakan mobil kantor.
Riko pun mengikuti kata kata atasannya. Mereka keluar dari mobil dan melangkah masuk ke mobil pribadi Keenan.
Sekretarisnya itu mengambil alih kemudi dan membawanya ke lokasi janjian dengan Jemma.
Setibanya di restoran tersebut, ia bergegas masuk ke ruangan private untuk menghindari tatapan dan sapaan orang. Ia tidak ingin berbasa basi. Bayangan soal Jingga terus melintas di benaknya, jadi suasana hatinya sedikit tidak enak.
Keenan duduk dan mulai memesan makanan. Sedangkan Riko menunggunya di meja terpisah di luar ruangan. Ia tidak mau sekretarisnya itu tahu apa yang ia bicarakan.
Sampai, pintu ruangan itu terbuka, Jemma masuk sambil tersenyum lebar, "Pak menteri, bagaimana saya harus memanggilmu? Apa masih boleh saya menyebut nama?"
Keenan tersenyum, ia tahu kalau Jemma menggodanya. "Panggil aku Keenan, tidak masalah.." Keenan tersenyum melihat gaya Jemma yang tak berubah dari dulu hingga sekarang. Masih jadi anak yang ceria dan semangat. Baik Jemma dan Jingga adalah juniornya di perkumpulan anak anak tentara.
"Wahh, meski jadi Pak Menteri, seniorku ini tidak berubah. Mohon bimbingan dan arahannya pak.." Jemma pura pura menunduk.
Keenan hanya tersenyum, "Kamu pesan dulu makanan.."
Jemma memilih menu yang ingin dia pesan dan kemudian menatap Keenan, "Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Aku ketemu Jingga kemarin. Dan dia, mmm terlihat berbeda. Dia menangis dan bersedih.." Keenan menarik nafas panjang.
Jemma langsung berubah muram, "Menangis? Sedih? Kenapa?"
"Aku tidak tahu, justru itu yang ingin aku bicarakan.." Keenan memperhatikan kalau Jemma seperti mau menangis.
"Dan, saat aku bertanya soalmu, dia menangis. Jingga bilang semua pergi sejak ayah ibunya tidak ada.." Keenan menjelaskan apa yang dia dengar.
"A-apa???" Jemma dengan kaget mendengarnya. "Maksudmu?"
"Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi. Tapi itu ucapan Jingga. Jadi setelah orangtuanya meninggal, semua orang pergi dan meninggalkannya. Aku berpikir kalau Jingga tidak mempunyai teman..." Keenan melanjutkan ucapannya.
"Dan yang membuatku sedih. Kamu tahu Mare Restaurant bukan?" Keenan bertanya.
"Ya tentu tahu, itu restoran viral dan hits sekarang ini.." Jemma mengangguk.
"Aku pikir, seseorang seperti Jingga setidaknya pernah datang sekali ke restoran itu bukan? Itu restoran sudah ada beberapa tahun kebelakang," Keenan meminta persetujuan Jemma.
"Iya.." Jemma mengangguk.
"Aku mengajaknya makan malam di situ semalam dan dia bilang baru pertama kali makan di restoran itu.." Keenan kembali menjelaskan.
"Oh.. Masa?" Jemma langsung merasa tidak enak sendiri.
"Iya.." Keenan menunduk.. "Dan, yang membuatku tambah sedih, dia terlihat lebih kurus.."
Jemma tiba tiba menangis..
"Ke-kenapa? Apa yang terjadi?" Keenan dengan hati hati bertanya.
"Aku kangen sekali sama Jingga.." Jemma sesegrukan.
"Lalu, kenapa kalian bisa lost contact?" Keenan penasaran.
"Aku tidak tahu kenapa. Tapi, Jingga yang memulai semuanya. Dia bilang tidak lagi mau berteman denganku. Katanya, aku memberikan pengaruh buruk dan ingin memulai hidup baru.. Aku tersinggung Keenan! Apa pengaruh buruk yang aku berikan?" Jemma menghapus air matanya.
"A-apa?" Keenan mengerutkan keningnya. "Tapi, Jingga jelas jelas bilang kalau kamu dan semua orang meninggalkannya."
"Tidak, aku tidak pernah meninggalkannya. Dia yang memulai semuanya. Ini buktinya.." Jemma membuka galeri foto di ponselnya dan memperlihatkan tangkapan layar sebuah percakapan.
"Lihat ini.. Ini tangkapan layar percakapanku dengan Jingga. Dan setelah itu, baik aku ataupun Jingga tidak pernah lagi saling menghubungi. Aku tersinggung.." Jemma menyodorkan ponselnya pada Keenan.
Keenan pun mulai membacanya, itu tangkapan layar percakapan sudah lama. Mungkin sekitar empat atau lima tahun lalu.
Jingga : Jemma, aku akan menikah sekarang. Dan, aku ingin memulai hidup baru dengan menjadi istri yang baik. Kamu memberikan pengaruh buruk untukku. Jadi, sebaiknya kita tidak usah ketemu atau berhubungan lagi.
Jemma : Jingga!!! Ada apa denganmu?? Angkat teleponku!
Jingga : Aku tidak akan mengangkat teleponmu. Untuk apa? Aku tahu kamu hanya akan mengajak ribut.
Jemma : Kamu jahat sekali! Apa pengaruh buruk yang aku berikan??? Kamu berubah..! I hate you!
Jingga : Aku hanya tidak ingin berteman lagi denganmu.
"Itu pesan yang terakhir Jingga kirimkan padaku. Aku tidak ingin membalasnya. Dia sudah membuatku tersinggung.." Jemma menarik nafas panjang.
"Ya sejak itu, aku tidak pernah menghubunginya lagi. Sekali waktu aku pernah mencoba menghubunginya, tapi nomorku sepertinya diblok.." Jemma menunduk sedih. "Aku sedih tapi aku juga marah..."
"Tapi kenapa ucapannya dan ucapanmu berbeda?" Keenan bingung sendiri.
"Terserah kamu mau percaya siapa.." Jemma mengangkat kedua bahunya.
"Aku bukan tidak percaya. Justru aku percaya kalian berdua.." Keenan menjelaskan maksudnya. "Ada sesuatu yang terjadi di sini?"
"Dan satu hal lagi, apa kamu tahu dimana Jingga tinggal sekarang?" Keenan kembali bertanya.
"Tidak, aku tidak tahu.." Jemma menggelengkan kepalanya.
"Itu yang aneh bukan. Dia seperti menghilang.." Keenan menyampaikan kekhawatirannya.
"Tak hanya itu, apa kamu tahu suaminya? Apa kamu datang ke pernikahannya?" Keenan kembali bertanya.
"Tidak dan tidak.. Aku tidak tahu dan tidak datang. Dia tidak mengundangku.." Jemma menggelengkan kepalanya.
"Kenapa? Itu menurutku misterius.." Keenan menatapnya.
"Maksudmu, dia tidak mengundang siapapun? Jadi, bukan hanya tidak mengundangku?" Jemma mengerutkan keningnya.
"Iya.." keenan mengangguk.
"Hah?? A-ku marah karena dia tidak mengundangku di pernikahannya. Tapi, kalau ternyata dia tidak mengundang siapapun, a-aku jadi tidak paham.. Apa menurutmu ada yang terjadi pada Jingga?" Jemma membelalakkan matanya.
"Kalau iya, kalau iya.. Aku mengabaikannya selama ini.. Aku salah.." Jemma kembali menangis.
Keenan membiarkan Jemma meredakan emosinya. Setelah beberapa menit, Jemma menghapus air matanya.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Keenan kita harus pergi ke rumah keluarga Jingga dulu. Rumah tinggalnya bersama Om Ilyas dan Tante Jenar. Kita cari petunjuk dari situ.." Jemma menatap Keenan.
"Ok. Aku setuju.. Nanti kita cek.." Keenan mengangguk. "Tapi, aku ada cerita lain..."
"Apa?" Jemma penasaran.
"Aku ketemu Jingga di Taman Makam Bahagia. Di sedang berziarah ke makam orangtuanya... Aku juga mengunjungi makam ayah. Dan setelahnya, aku mengantarkannya ke sebuah rumah di Dreamland Regency. Tapi yang membuatku miris, sepertinya rumah itu terkunci dan penghuninya tidak ada. Jadi, Jingga berada di luar rumah selama berjam jam. Aku tahu karena aku memperhatikannya.." Keenan menerangkan.
"Ah, perasaanku tambah tidak enak. Ada yang salah ini.." Jemma menatap Keenan dengan khawatir.
"Apa kamu mau kalau kita sekarang ke rumah lama Jingga?" Jemma dengan cepat menghabiskan makanannya dan minuman di hadapannya.
"Tapi kita harus hati hati, aku tidak sebebas dulu.." Keenan menatap Jemma. "Sekretarisku menunggu meja di luar ruangan ini.."
"Begini saja, kamu naik mobilku.." Jemma mengajaknya pergi bareng. "Sekretarismu bisa mengikuti kita.."
"Ok.." Keenan berdiri dan memanggil Riko untuk menyampaikan rencananya.
Mereka pun bergerak menuju rumah lama milik keluarga almarhum Jenderal (purn) Ilyas Maheswara, ayah dari Jingga.
Setibanya di rumah tersebut, Jemma melihat beberapa perubahan. Rumah itu terlihat lebih modern. Entah kenapa, perasaannya tidak enak.
Ia pun turun membiarkan Keenan menunggu di mobil. Tidak mungkin seorang menteri berkeliaran begitu saja di jalanan.
Jemma bertanya pada seseorang yang sepertinya pembantu rumah tangga di depan rumah tersebut.
"Siang, maaf, mau tanya, saya sedang mencari teman saya namanya Jingga. Dulu tinggal di rumah ini.." Jemma bertanya.
"Maaf mbak, tidak ada yang bernama Jingga di sini. Rumah ini milik Bapak Hadi dan Ibu Irna, tidak ada yang bernama Jingga," jelasnya.
"Oh.. Sejak kapan Bapak Hadi dan Ibu Irna tinggal di sini?"
"Sekitar empat atau tiga tahun lalu.." orang itu menjawabnya.
"Ohhh.. Terima kasih informasinya mbak.." Jemma pun beranjak pergi dan kembali naik ke mobilnya.
"Bagaimana?" Keenan bertanya dengan tidak sabar.
"Rumah itu sudah menjadi milik orang lain sejak empat atau tiga tahun lalu.." Jemma menarik nafas panjang. Ia merenung, saat itu Jingga sudah menikah.. Tiba tiba saja, ia merasa bersalah..
"Keenan, apa yang terjadi pada Jingga?" Jemma menggigit bibirnya dan kembali merenung.