Part 5 : Study Tour

1434 Kata
(Pov Wildan) *** Nama lengkapku El Wildan Ryshaka Malik, anak pertama dari dua bersaudara, adikku seorang laki-laki yang usianya terpaut 5 tahun denganku. Kedua orangtuaku merupakan sama-sama pebisnis yang sibuk. Aku dan adikku lebih sering ditemani bibi dirumah. Sejak kelas 2 SMA aku menyukai seorang gadis yang mempunyai nama panggilan Cika. Saat duduk di kelas 1 aku tak memikirkan apa itu cinta. Begitu kenaikan kelas 3 aku langsung berniat untuk mengutarakan perasaanku padanya, dan ia menerima pernyataan cintaku. Cika seorang gadis yang cantik, anggun dan lembut serta kalem. Bisa dikatakan ia seorang gadis impian dan di sekolab memang lumayan banyak yang mengejar-ngejar cintanya. Aku merasa beruntung bisa menjalin hubungan asmara dengan Cika. Awal jadian aku berharap hubungan ini akan langgeng selamanya. Namun beberapa bulan menjalin hubungan dengannya, aku malah merasa ada yang berbeda di rasaku. Perhatianku justru terbagi dengan Rindang, teman sekelasku bahkan sedari kelas 1 kami selalu sekelas. Rindang anaknya sangat supel dan baik. Ia gadis yang manis, cerdas, mempunyai bulu mata yang lentik, hidung tidak terlalu mancung namun pas dengan kontur wajahnya. Memiliki dagu lancip, bermata belo, bibir tipis menambah kesan manis senyuman di wajahnya. Aku tidak tahu sejak kapan Rindang merangsek masuk ke dalam pikiranku. Kami terbilang sangat akrab, apapun aku selalu meminta tolong padanya. Dan tanpa merasa keberatan ia selalu mengiyakan jika aku meminta ia untuk menolongku. Aku sadar diriku telah memiliki kekasih, namun entah mengapa aku tidak senang ketika mendengar teman-teman berusaha mencomblangi Rindang dengan Ardian. Aku merasa Rindang itu bagian dari diriku sehingga aku tidak rela jika ia harus dimiliki oleh orang lain, sekalipun aku tahu Ardian ialah cowok yang baik. Aku semakin kesal ketika melihat kedekatan Rindang dan Ardian di acara ulangtahunku. Aku pun nekat mencium pipi Cika di depan semua orang termasuk Rindang ketika aku memberikan potongan kue untuknya. Tetapi sungguh beberapa detik kemudian aku menyesak telah melakukan hak tersebut. Aku melihat perbuatanku telah menyakiti Rindang. Aku melihat raut wajahnya yang berubah ketika menyaksikan itu. Bukan aku terlalu percaya diri jika aku merasa Rindang menyukaiku sejak lama. Hanya saja dari dulu aku selalu berangan untuk memiliki Cika. Diam-diam aku terus memantau pergerakan Rindang walaupun aku tengah berbincang dengan yang lain. Netraku menangkap ia meletakkan sesuatu di lemari buffet yang berada di ruang keluarga rumahku. Aku segera mendekati kotak itu, aku simpan kemudian setelah semuanya pulang baru aku buka, ternyata sebuah gelang tangan. Aku tersenyum simpul melihat gelang pemberian Rindang, terlebih lagi ada inisial namaku. Keesokan harinya aku mendengar Rindang jatuh sakit hingga akhirnya dirujuk ke rumah sakit. Aku tidak ingin membahas dulu permasalahan rasa dengannya sebab aku tahu Rindang tak mungkin mau melukai perasaan sahabatnya, Cika. Aku pun tidak ingin timbul permasalahan diantara kami. Ini semua salahku yang terlambat menyadari perasaan ini. Aku terlalu sibuk mendamba Cika sehingga aku tak menggubris rasa yang sebenarnya telah ada terlebih dulu pada sosok Rindang. Aku begitu bersemangat mengikuti study tour begitu aku tahu kursi tempatku duduk berada tepat di belakang Rindang. Kunjungan wisata pertama kami ialah TMII kemudian dufan, aku memberikan kameraku pada Rindang. Aku beralasan aku perlu seseorang untuk mengambil momenku bersama Cika selama study tour. Seperti yang sudah aku duga, Rindang tak bisa menolak permintaanku. Katakanlah aku egois, itu memang caraku agar Rindang tak selalu jauh dari jangkauanku. Namun tetap saja sesekali Ardian mengajak Rindang berkeliling bersamanya. Aku sungguh tak senang melihat Rindang tertawa lepas dengan Ardian, sebagai sesama cowok aku tahu betul Ardian menaruh hati padanya. "Sayang..aku haus nih, beli minum bentar yuk," Cika mengajakku membeli minuman di sebuah stand. Aku menurut saja lalu kami berdua duduk-duduk sebentar sembari berbincang. "Capek?" aku memperhatikan wajah Cika yang terlihat letih. "Lumayan sih tapi aku senang karena melewati ini sama kamu," senyum malu-malu merekah dari wajah Cika, aku pun tersenyum melihatnya. Cika sangat bersikap baik padaku dan juga keluargaku bahkan mama sangat menyukai Cika. "Pacaran terooossss...." tiba-tiba beberapa teman menghampiri kami dan turut duduk bersama. "Ehh guys,,naik roller coaster yuk," Tama mengutarakan idenya yang memang merupakan keinginan terbesarnya jika berkunjung ke dufan. Tampak teman-teman yang lain mengangguk setuju, ada beberapa yang terlihat ragu seperti Nita, Swasti, Andre. "Lho kamu dari tadi belum jadi naik itu ternyata?" Aku menanyainya. "Belum..tadi mengular banget antriannya, dan barusan aku lihat udah lumayan sepi gak kayak tadi siang," Setelah disepakati kami bersama, kami menuju antrian roller coaster, dibarisan depan aku melihat ada Rindang dan Ardian yang juga sedang ikut mengantre. Andrian menoleh ke belakang dan melihat kami. Gak butuh waktu lama, ia dan Rindang mundur dan ikut antre di belakang barisan kami. Alasannya agar kami kebagian kursi penumpang roller coaster yang tak jauh jaraknya agar bisa seru-seruan bareng. Kami semua larut dalam keseruan wahana tersebut. Hingga suara kami terasa serak ketika kami telah turun. Kami tertawa melihat Andre yang terus memegangi dadanya, ia rupanya masih merasa takut hingga terlihat gemetar. "Ihh Andre kan cowok masa kalah sama cewek-cewek yang seru-seru aja naik roller coaster," terdengar Nita mencibir Andre yang wajahnya masih pias. Rindang dengan sigap meminta Andre untuk duduj dan meminum air mineral yang telah ia belikan. Sekali lagi aku tertawan dengan rasa kagumku pada Rindang. Terdengar suara pemberitahuan jika rombongan kami diminta untuk kembali ke bus sebagai persiapan menuju ke tempat penginapan. Hari memang telah bergulir menuju senja. Sebagai ketua kelas, aku membantu ibu wali kelas mengabsen anak-anak di bus. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, bus pun segera melaju. Aku menuju kursi tempatku duduk. Aku memberi sebuah souvenir yang sempat aku beli tadi untuk Rindang. Rindang terlihat kaget namun ia tersenyum senang dan berterimakasih. Tentu saja Cika juga telah aku belikan sesuatu. Sesampainya di penginapan, masing-masing dari kami bergegas membersihkan diri dan melakukan ibadah sholat lalu bersiap untuk makan malam. Setelah makan malam, teman-teman ada yang langsung menuju kamarnya untuk beristirahat dan ada yang masih betah bersantai di luar. Seperti aku saat ini yang sedang bermain gitar dan bernyanyi bersama beberapa teman. Terlihat Cika ditemani Dewi dan Swasti menghampiri dan bergabung. Cika merapatkan duduknya di sebelahku. Aku biarkan dia bergelayut manja memegang lengan tanganku mendengarkan aku memetik gitar dan bernyanyi. Siapapun memuji kami sebagai pasangan yang serasi. Dalam hatiku sebenarnya penasaran dimana keberadaan Rindang. Apakah ia sudah bersiap tidur di kamarnya atau sedang bersantai juga di luar. Tanpa perlu aku bertanya, aku sudah mendapatkan jawabannya ketika Ayu dan Nita menyusuk bergabung dengan kami. Menurut penuturan mereka, Rindang sudah tertidur sedari 15 menit yang lalu. Aku tersenyum mendengarnya. Aku merasa tenang mengetahui Rindang yang memilih untuk beristirahat lebih awal. Rupanya Rindang menurut dengan perkataanku yang meminta ia langsung tidur saja jika acara makan malam telah selesai. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku sudah ingin kembali ke kamar namun rupanya Cika masih ingin mendengar suaraku bernyanyi. Aku mengiyakan dan kembali bernyanyi 2 lagu untuknya. Cika memang sedikit manja dan selalu ingin dekat denganku. Aku tak masalah dengan semua itu. Bagaimanapun aku ini adalah kekasihnya jadi wajar saja jika ia bermanja ria padaku. Keesokan harinya tujuan wisata kami ialah ke Museum Lubang Buaya, Gedung Arsip Nasional serta pabrik suatu minuman kemasan kesehatan sistem pencernaan. Cika terus menggamit tanganku selama berpergian. Tiba-tiba ia menanyakan pendapatku mengenai Ardian dan Rindang. "Wildan sayang...menurut kamu cocok gak kalau Rindang pacaran sama Ardian?" "Cocok-cocok saja," aku menjawab sekenanya saja. "Aku juga merasa mereka berdua tuh sangat cocok, tapi sepertinya Rindang masih menutup hatinya deh, ia tak begitu merespon padahal yang aku lihat tuh Ardian sudah menunjukkan rasa sukanya, coba deh kamu bantu komporin Rindang buat buka hati untuk Ardian, kalian kan udah kenal akrab secara 3 tahub sekelas terus kan, jadi aku yakin kamu lebih tahu bagaimana caranya untuk merubah pandangan Rindang terhadap sesuatu hal..kamu pasti lebih paham dengan karakter Rindang kan." "Kalau soal itu terserah Rindang saja, sebaiknya kita jangan mencampuri perihal perasaan seseorang," aku mencoba memberi pandangan pada Cika agar yang terjadi pada Ardian dan Rindang biar laksana air yang mengalir saja. Jujur sebenarnya aku tidak nyaman diajak diskusi tentang mereka berdua. Saat perjalanan pulang menuju kota kami, Cika meminta Tama untuk berganti tukar kursi tempat duduk agar ia bisa duduk bersebelahan denganku selama perjalanan. Aku melirik Rindang yang terlihat anteng duduk sambil mendengarkan musik menggunakan headset. Cika melihat bantal leher yang aku pinjamkan pada Rindang. Ia menepuk pundak Rindang untuk menanyakan bantal leher tersebut. Rindang yang cukup paham segera memberikan bantal leher milikku pada Cika. Aku sontak melarangnya, Cika beralih menatapku. Aku meminta Cika untuk cukup bersandar di pundakku saja jika ingin tertidur dengan nyaman. Mendengar aku berkata demikian, mata Cika langsung berbinar dan segera ia menyandarkan kepalanya di pundakku. Cika berkata jika Rindang tak perlu mengembalikan bantal leher itu sebab ia sudah mendapat yang mebih spesial yaitu pundakku. Rindang tersenyum dan tetap ingin mengembalikan bantal leher tersebut namun aku juga tetap menolaknya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN