Part 4 : Rumah Sakit

1382 Kata
(Pov Rindang) *** Pelan aku mengerjapkan mata. Demam yang tak kunjung membaik, membuat bapak dan ibu membawaku ke sebuah rumah sakit. Aku merasakan kondisi tubuhku yang sudah agak mendingan, kepala sudah tidak pening seperti kemarin. Aku pandangi pergelangan tanganku yang terpasang selang cairan infus. Bapak harus tetap berangkat bekerja, sedangkan ibu tadi berpamitan untuk pulang sebentar. Aku merasa ada yang sedang memperhatikanku. aku pun menoleh ke arah pintu masuk kamar rawatku. Deg.... Aku melihat ada Wildan yang sedang mengarahkan pandangannya padaku. Kami saling terdiam. Lalu aku menangkap dia memakai gelang yang aku pilih untuk hadiah ulangtahunnya. "Sudah bangun rupanya?" ujar Wildan lalu terlihat teman-temanku melongok dari balik pintu kemudian mereka beramai menghampiriku. Aku tersenyum senang mereka datang menjenguk. Cika memberitahu jika mereka telah sampai sekitar setengah jam yang lalu hanya daja melihat diriku yang sedang tertidur, mereka memutuskan untuk menunggu diluar kamar. "Waktu itu kamu bilang sakitmu meriyang biasa, pasti bakal segera pulih tapi lihat sekarang kamu diinfus begini," terdengar Ayu sedikit memprotes pernyataanku keyika tempo hari ia menjenguk ke rumah. Aku menyengir saja, "iya nih gak habis pikir juga kenapa demamnya kemarin gak kunjung membaik." Aku tertawa menyimak mereka bercerita tentang kejadian di sekolah selama aku tidak masuk. Katanya si Dewi habis terkena hukuman dari pak Fahmi, guru Matematika kami. Dewi merengut kesal karena kami menertawakannya. Pipiku sendiri sampai terasa ngilu. Sesaat kemudian terlihat Ardian dan beberapa teman kami turut menyusul datang menjengukku. "Terimakasih ya aku sudah membuat kalian repot, mestinya kalau mau datang ya tinggal datang saja, gak perlu bawa bingkisan seperti ini." "Makanya lekas sembuh biar kami gak repot lagi," ucapan Dewi membuat kami tertawa. "Rindang..bagaimana kondisimu, sudah lebih sehat kan sekarang?" Ardian bertanya dan semakin terlihat canggung ketikan teman-teman mendadak berceletuk. "Ehemmm..." "Ciyyyeee...." "Suit...suit..." Wildan melengos keluar ruangan, katanya ada hal penting yang membuatnya harus menelfon ibunya. Namun entah ini hanya perasaanku saja atau bagaimna, aku kembali merasakan Wildan tidak suka ketika teman-teman menggodaku dan Ardian. Aku mencoba tak hiraukan Wildan. Aku meminta teman-teman untuk memakan juga bingkisan yang mereka bawa untukku. Kehadiran mereka sangat menghibur. Mereka berpamitan pulang ketika ibu kembali datang. Sejak tadi keluar dari ruangan, Wildan tidak kembali lagi. Cika berkata jika Wildan memilih menunggu mereka di lobi rumah sakit. Aku merasa sedikit kecewa kenapa Wildan tak berpamitan padahal sedari tadi dia juga tak mengucapkan sepatah katapun padaku. Waktu sudah bergulir sore hari, perawat datang mengukur suhu tubuh dan juga tensi darahku. Badanku masih sedikit panas katanya. Perawat memberitahu jika sebentar lagi akan ada kunjungan dari dokter yang menanganiku. Ibu telaten menjagaku..bapak juga telah sampai ke rumah sakit ikut menungguiku meski aku berkata jika bapak lebih baik istirahat saja di rumah karena bapak pasti lelah seharian bekerja. Dokter menjelaskan bahwa menurut hasil pemeriksaan laboratorium semestinya tidak ada sesuatu yang membuatku sakit. Sebab tidak ditemukan virus penyakit apapun maupun bakteri. Dokter bertanya apakah ada sesuatu yang mengganjal di pikiran atau hatiku. Katanya lagi sakit itu bisa saja datang dari pikiran atau hati yang tidak tenang. Jadi aku disarankan untuk tidak terlalu banyak pikiran dan sebisa mungkin membuat diri merasa bahagia terus. Selepas kepergian dokter, bapak mengelus puncak kepalaku dan bertanya apakah aku sedang ada masalah. Dalam hatiku menjawab iya masalah hati tetapi tidak mungkin kan aku menceritakannya pada orangtuaku. Ibu memintaku untuk tidak memendam suatu persoalan sendirian. Aku mengelak dan mengaku jika diriku ini baik-baik saja. Malam menjelang dan tiba-tiba jantungku berdegup cepat. Aku sampai memegangi dadaku. Aku pernah merasa demikian ketika aku tak sengaja bertemu Wildan disaat kami lumayan lama tidak bertatap muka dikarenakan libur kenaikan kelas. Tring...!! Handphoneku berdenting menandakan ada notif pesan masuk dari aplikasi sosial media berwarna hijau. [ Cepatlah sembuh ] Mataku membola membaca chat tersebut dari Wildan. Ada rasa terenyuh bahagia disana. Lama aku pandangi layar hpku. aku dihinggapi perasaan bingung harus membalas bagaimana atau pesan itu tidak perlu aku balas. [ Iya semoga..terimakasih telah datang menjengukku tadi ] Aku memutuskan membalas pesannya, lama aku tunggu ternyata Wildan tidak mengirimiku pesan lagi. Aku berbaring bersiap menuju alam mimpi. Bapak dan Ibu sudah terlelap lebih dulu. Aku merasa kasihan melihat orangtuaku yang lelah. Aku termotivasi untuk bisa segera pulang ke rumah. Aku sudah merindukan rumah dan juga sekolah. Keesokan paginya aku meminta bapak dan ibu untuk bicara pada perawat jika aku sudah ingin pulang. Aku merasa badanku sudah jauh lebih sehat dari kemarin. Perasannku memang tercubit melihat kemesraan Wildan dan Cika. Namun tidak melihat Wildan membuatku sama sekali tidak baik. Setelah konfirmasi ke dokter yang merawatku akhirnya perawat mengiyakan permintaanku untuk pulang. Beberapa obat dan vitamin diresepkan untukku. Begitu sampai di rumah aku berkata jika besok aku akan kembali berangkat sekolah. Awalnya orangtuaku beranggapan jika aku ini masih membutuhkan waktu untuk benar-benar sembuh. Tapi ketika aku meyakinkan jika aku sudah sangat ingin bersekolah akhirnya bapak dan ibu mengijinkan. Teman-temanku bersorak ketika melihatku telah masuk sekolah. Kata mereka sudah berencana akan kembali menjengukku. Aku memang sengaja tidak memberitahu salah satu diantara mereka jika hari ini aku akan ke sekolah. Ayu, Cika, Dewi, Swasti, Nita memelukku, juga beberapa teman cewek yang lain. Jarak tempat duduk di kelas yang tidak jauh, membuatku bisa mendengar percakapan antara Wildan dan Cika. Cika ingin sekali mencoba gelang yang Wildan kenakan tetapi Wildan enggan melepasnya meski hanya sebentar. Katanya gelang tersebut amat berharga bagi dia sekaligus sudah dia anggap sebagai gelang keberuntungan. Tak perduli bagaimana Cika merengek merajuk merayu, tetap saja Wildan tak melepas gelang hadiah dariku itu. Sesekali Wildan melirik ke arahku. Dalam hati aku bertanya-tanya sendiri, apalah dia tahu jika gelang itu merupakan kado ulangtahun dariku. Namun rasanya tidak mungkin sebab aku tidak menuliskan pesan apapun di dalam kadonya. Bahkan aku tak memberinya secara langsung. Cepat aku enyahkan segala pradugaku. Mungkin memang Wildan menyukai gelang itu karena ia suka dengan model gelangnya. Aku menjadi terkenang saat aku merajut gelang itu untuk pertama kalinya dengan hiasan manik-manik, diantara manik-manik itu ada huruf W sebagai inisial namanya, serta bunga kering yang aku hias didalam bola kristal kecil. Aku rangkai semua bahan itu menjadi sebuah gelang dengan menggunakan benang rajut warna cokelat. Tak terasa semakin mendekati waktu keberangkatan study tour kami. Bapak ternyata sudah melunasi biayanya. "Sudah dicek semua kebutuhanmu? obat-obatannya jangan sampai terlupa," Ibuku melihat-lihat barang yang akan aku bawa selama pergi study tour. Bapak nampak menyusul ibu memasuki kamarku. "Insya Allah sudah beres semua bu, tidak ada yang terlewat, terimakasih ya ibu dan bapak sudah memberi kebahagiaan untuk Rindang," aku memeluk bapak dan ibu dengan erat. "Yang terpenting selalu buat dirimu sendiri senang dan jangan sampai lupa jaga kesehatan, sholatnya juga dijaga agar bisa selalu tepat waktu," pesan bapak. Kami diminta berkumpul di sekolah sekitar pukul 8 malam. Kami menggunakan bus sebagai armada menuju kota tujuan study tour. Satu per satu bus telah sampai di sekolah. Aku peluk bapak dan ibu bergantian, berpamitan, minta di do'akan kemudian berlalu menaiki bus untuk kelasku. Ibu wali kelas mengabsen nama kami. Sebelum berangkat kami berdo'a bersama terlebih dahulu. Sebelumnya Ardian mendekatiku dan mengajakku berbincang sebentar. Dan aku tidak menyangka ternyata Wildan duduk tepat di belakang kursi tempatku duduk. Aku menjadi sedikit canggung, aku hendak menghampiri Cika untuk bertukar tempat duduk tetapi Ibu Wali Kelas meminta kami semua untuk duduk dengan tenang dikarenakan bus akan segera melaju. "Duduklah..," suara Wildan otomatis membuatku tak jadi memanggil Cika. Apalagi Ayu memberikan sebelah headsetnya untuk memintaku ikut mendengarkan musik yang sedang ia putar. "Rindang,,kamu lihat gelang yang aku pakai ini bagus kan?" aku pun menoleh ke arah Wildan, mengiyakan pernyataannya. Lalu ia tersenyum, senyuman yang masih sama. Yang bisa membuatku terlena, terikat oleh perasaan cinta padanya. Beberapa menit kemudian Wildan menyodorkan bantal lehernya yang berwarna cokelat untuk aku pakai. Aku berusaha menolak dan beralasan jika aku tak memerlukan bantal leher sebab aku termasuk orang yang mudah tidur saat dalam perjalanan jauh. Wildan terus memaksaku untuk menerimanya. Dengan terpaksa aku menerima sebab aku tak ingin teman-teman yang sudah pulas tertidur menjadi terganggu oleh perdebatan perkara bantal leher. "Lalu kamu bagaimana kalau aku memakai bantal lehermu ini?" "Gak perlu memikirkan soal aku, yang terpenting itu kamu bisa tidur dengan nyaman," tukas Wildan yang berhasil membuat hatiku seperti ada kupu-kupu terbang disana. Lalu segera aku raih bantal leher itu dan berpaling pandang darinya. Aku memejamkan mata dengan tersenyum. Maafkan aku Cika, aku tak bermaksud lebih pada kekasih hatimu. Aku sungguh tahu diri, tidak akan aku biarkan cinta ini memilikinya. Persahabatan kita jauh lebih penting diatas perasaanku. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN