Perkara Tidur

1677 Kata
“Cie ... cie ...” “Apaan sih, Lice. Sejak tadi godain aku terus.” “Mau kemana sih kalian? Sampai Rajata akan menunggu gitu.” “Ngapain sih di anggap serius ucapan itu anak. Tahu sendiri Raja orangnya nggak jelas. Suka seenaknya sendiri.” “Kayaknya tadi wajahnya serius waktu bilang akan menunggumu.” “Wajahnya Raja emang lempeng begitu sih, Lice. Memangnya pernah berubah?” “Pernah,” jawab Alice. Dia menghentikan langkahnya saat menuju ke arah kantin. “Aku tadi melihat Raja senyum saat lihat tangan kamu.” “Kapan?” “Waktu kita mau ke perpustakaan.” “Ah, kamu salah lihat pasti.” Alice menggaruk keningnya saat mencoba mengingat kembali saat Rajata tersenyum pada Auris. “Enggak kok, aku benar-benar melihatnya.” “Sudah, sudah. Ayo buruan ke kantin,” ajak Auris dengan menarik lengan sahabatnya. “Jam empat aku harus berkumpul di ruang UKM Mapala.” Auris akan menemani Alice yang mengeluh lapar setelah mengerjakan setumpuk tugas. Keduanya sama-sama tidak suka menunda pekerjaan jadi tugas yang harus dikumpulkan besok hari ini sudah selesai. Sesampainya mereka di kantin lagi-lagi melihat dua sejoli yang tengah makan bersama. “Ngapain sih mereka makan di kantin kita?!” omel Alice. “Sejak kapan kamu menjadi Ibu kantin, Alice?” Auris tertawa saat sahabatnya mengaku sebagai pemilik kantin. “Ya, ini ‘kan kantin Fakultas Ekonomi. Secara nggak langsung punya aku dan semua anak Ekonomi.” “Mungkin dia suka sama makanan di sini,” jawab Auris tidak mau memperpanjang lagi soal Raja dan Ciara yang berada di kantin anak Ekonomi. Awalnya Auris hanya menemani Alice makan. Tapi, saat melihat kedai bakso tiba-tiba ingin makan yang berkuah hangat. “Mau es teh jumbo gak, Ris?” “Jelas, dong. Seperti biasa ya.” “Less sugar?” “Iyupssss.” Auris mencari meja kosong dengan membawa dua mangkuk bakso jumbo. Sementara Alice bertugas memesan es teh jumbo favorit mereka. “Biar aku saja yang bawa,” Rajata mengambil mangkuk yang dibawa Auris. “Mau duduk satu meja sama aku?” “No! kayak nggak ada meja lain saja,” tolaknya. Auris masih mencari meja kosong karena keadaan kantin lumayan ramai. “Masih saja cemburu sama Ciara,” gumam Raja. Meskipun masih bisa mendengar perkataan dari Rajata, Auris tetap saja pura-pura tidak peduli padahal dalam hatinya ingin menyanggah ucapan Laki-Laki itu. Dia memang tidak akan mau berkenalan dengan yang namanya Ciara sekalipun dipaksa oleh Raja. Setelah, Auris menemukan meja yang masih kosong. Dengan sangat telaten Raja mengambilkan keranjang berisi saos, kecap dan juga sambal. Perhatiannya seperti itu sering membuat Auris merasa Raja masih menyukainya. “Terima kasih,” ucap Auris. “Kamu bisa kembali ke mejamu. Jangan sampai mata pacar kamu keluar karena terlalu lama melotot.” Rajata melihat ke arah Ciara yang sedang menatap ke arahnya. Wajah sahabatnya memerah hingga membuatnya khawatir takut jika penyakit Ciara tiba-tiba saja kambuh. “Aku kesana dulu ya. Sepertinya Ciara sedang sakit.” “Hmmm.” “Jangan cemburu!” “Tidak ada yang cemburu Rajata. Lebih baik kamu cepat balik kemeja mu sebelum wajah pacarmu berubah warna menjadi hitam.” “Ciara sedang sakit,” ucap Raja. Bukannya pergi dia malah kembali duduk. “Nanti malam aku ceritain.” “Maaf, ya. Aku tidak tertarik dengan semua yang berhubungan dengan Perempuan itu.” Alice lebih dulu datang sebelum Raja sempat membalas ucapan Auris. Dia memilih kembali ke mejanya sebelum sindiran pedas Alice memenuhi kedua telinganya. “Ngapain tuh anak ada di meja kita?” “Biasalah caper.” “Oh ... bisa sekali ya caper di saat ada pacarnya.” “Mana aku tahu,” jawab Auris dengan cuek. Dia kini sedang meracik bakso yang sudah membuatnya tergoda sejak tadi. *** Peluh membasahi kepala serta wajah Auris ketika selesai mendirikan tendanya. Biasanya dia tinggal menempati tenda yang sudah disiapkan oleh Daddy nya namun kali ini harus berupaya sendiri. Senyumnya mengembang ketika kerja kerasnya membuahkan hasil. Dia berhasil mendirikan tenda paling awal dibanding anggota Perempuan Mapala yang lainnya. “Mau aku bantu apa tidak?” tawarnya pada Inggrit yang dia pinjami tenda. “Sebenarnya sih aku mau-mau saja, Ris. Tapi takut ketahuan sama Kakak Senior. Tadi ‘kan enggak boleh minta bantuan sama orang lain.” Auris melihat ke arah seniornya yang masih setia berdiri bagaikan patung di belakangnya. Setelah di ajari tata cara mendirikan tenda, para junior di haruskan menyiapkan tenda masing-masing. “Aku ajari sambil bicara saja. Kayaknya tidak akan kedengaran sama senior.” “Boleh. Terima kasih, Auris," ucap Inggrit. "Aku sudah meminjam tenda masih minta bantuan untuk mendirikannya. Maaf ya, Ris.” “Tidak masalah. Lagian tenda di rumah nganggur. Sedang tidak dipakai.” Meskipun roboh beberapa kali karena angin yang cukup kencang. Akhirnya, Inggrit berhasil mendirikan tenda dengan instruksi yang diberikan oleh Auris. Waktu sudah menjelang magrib, semua junior diperbolehkan mandi agar bisa shalat berjamaah di masjid kampus. “Ikuti aku,” Titah Rajata. Tiba-tiba saja dia sudah berada di depan tenda milik Auris. “Nggak mau. Aku harus segera mandi sebelum gelap.” “Akan aku carikan toilet yang letaknya dekat dari sini.” “Aku bisa cari sendiri,” Auris melangkah menuju toilet yang ada di sekitaran danau. “Di sana pasti sudah penuh. Antri lama keburu magrib.” Auris tetap tidak mau mendengarkan ucapan Rajata. Dia berjalan dengan sedikit berlari agar cepat sampai tempat tujuannya. Toilet terdekat dengan tempat camping sudah penuh hingga antri lebih dari sepuluh orang. Auris mendesah pelan karena kalah cepat dengan teman-temannya. “Bakalan lama kalau kita ikut antri.” Rajata masih berada di belakang Auris. Dia memang sangat gigih sekali sekalipun sudah di tolak mentah-mentah. Inggrit yang sedang mengantri di depan toilet menghampiri Auris. Dia mengatakan jika mendapatkan urutan nomor enam. “Kamu duluan aja nggak papa, Ris.” “Eh, ya jangan dong. Nanti kamu bisa telat ke masjid kalau antriannya di kasih ke aku.” “Tenang saja, kebetulan aku sedang berhalangan.” “Beneran?” “Iya, Auris,” jawabnya. “Kayaknya di depan aku juga pada halangan deh. Coba aku tanyakan dulu. Siapa tahu mau bergantian nomor.” “Jangan, Inggrit. Nggak enak sama yang lainnya,” cegah Auris dengan menarik tangan temannya. “Sudah, enggak papa. Aku coba dulu ya ...” Inggrit kembali pada barisan temannya yang sedang mengantri giliran mandi. Dia terlihat bicara pada beberapa orang yang mendapatkan nomor antrian di depannya. Sementara, Rajata masih setia berada di belakang Auris tanpa mengatakan apapun. Dia merasa jika Auris masih kesal dengan kejadian di kantin “Auris kamu bisa masuk sekarang,” teriak Inggrit. “Buruan!” Auris langsung berlari menuju toilet yang letaknya berada di atas bukit kecil. Dia mengucapkan terima kasih pada teman-teman barunya sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Mandi bebek itulah yang sedang dipraktekan oleh gadis cantik itu. Dia sungkan membuat temannya menunggu terlalu lama jika melakukan ritual mandi seperti saat di rumah. “Pada bawa peralatan mandi semuanya ‘kan?” tanya Auris setelah keluar dari kamar mandi. “Kalau nggak pakai punya ku saja. Kecuali sikat gigi ya, hehe.” “Kami sudah bawa, Ris,” jawab Inggrit. “Kamu ke masjid duluan nggak papa. Nanti aku akan mengambilkan jatah makan malam untuk mu.” “Okay, terima kasih.” Auris menuju ke tendanya untuk menyimpan pakaian kotor, handuk beserta peralatan mandinya. Setelah itu, langsung ke masjid yang jaraknya lumayan jauh dari tempat camping. “Bawa senter.” “Astagfirullah, Rajata!” seru Auris. “Suka sekali ngagetin orang ih ...” Bukannya minta maaf, Laki-Laki itu justru membantu menutup tenda Auris yang tidak tertutup rapat. “Nggak ada barang-barang berharga di dalam sana, tenang saja.” “Tetap saja harus ditutup rapat agar tidak ada hewan yang masuk.” “Hewan apa? nyamuk atau katak?” “Buaya dan Komodo.” Kedua mata Auris membola saat mendengar nama reptil menakutkan bagi sebagian orang itu. Gadis itu melihat ke sekeliling tempat camping yang berada tepat di pinggir danau. “Jangan bicara ngaco kamu, Rajata! Mana ada Buaya di kampus?!” Rajata mengangkat kedua bahunya. “Bisa saja tiba-tiba keluar dari dalam danau.” “Memangnya beneran ada?” “Bisa jadi.” Rajata tersenyum jahil ke arah Auris yang masih melihat di sekelilingnya dengan cemas. Semudah itu membuat panik gadis yang hobi bicara ketus dan merajuk padanya. “Yuk, ke masjid. Biar enggak ketinggalan shalat berjamaah.” Auris menurut tanpa bicara lagi. Dia berjalan lebih dulu karena takut jika tiba-tiba saja dihadang oleh Buaya. Sedangkan, Rajata masih menahan tawa melihat sikap waspada Auris. Dia akan memanfaatkan Buaya untuk membuat gadis itu menurut padanya selama camping. “Nanti malam kalau tidur jangan lupa pakai pakaian tebal dan selimut.” “Emangnya nggak engap apa? sudah pakai pakaian tebal masih selimutan.” “Cuaca nanti malam sangat dingin. Kamu bisa masuk angin jika tidak pakai selimut.” “Di dalam tenda nggak akan dingin.” “Kata siapa?” “Ya, akulah!” Auris menyalakan senter yang dia bawa saat melewati jalan kecil yang minim penerangan. Meskipun ada lampu taman tidak cukup terang baginya. “Lagian perkara tidur saja kenapa sih kamu atur juga?! suka-suka aku dong.” Rajata menarik Auris ke belakang membuat tubuh mereka saling menempel. “Perhatikan jalan, Auris!” “Maaf,” gadis itu menghela nafas. Untung saja Raja menariknya jika tidak pastinya saat ini kakinya sudah masuk ke dalam lubang. “Senter itu diarahkan ke bawah. Jangan ke atas terus!” “Iya, enggak usah marah-marah juga. Aku ‘kan sudah minta maaf.” “Kenapa juga harus minta maaf padaku?! Bukan kakiku yang akan masuk lubang.” Rajata membalik tubuh Auris agar menghadapnya. “Salah terus ... salah terus. Heran aku, semua yang aku lakukan selalu salah di mata kamu!” Auris kesal sejak tadi mendapatkan ceramah dari Rajata. Setelah shalat, dia sempat kehilangan tas kecil tempat mukena. Selain itu, dia juga sempat kebingungan mencari sandal miliknya. “Karena kamu ceroboh sekali dan sering membahayakan dirimu sendiri. Aku tidak suka!” Auris menatap kesal ke arah Raja. “Terus apa urusannya sama kamu?!” “Cup.” “Rajataaaaaaaaaaaa!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN