Si Paling Tidak Mau Diam

1249 Kata
Kelompok Rajata dan Auris masih terbahak ketika sampai di pos tiga. Mereka tidak bisa menghentikan tawa mengingat kelakuan brutal temannya. Mbak Kunti tidak memiliki harga diri di mata Auris. Hantu yang berhasil membuat pingsan beberapa orang karena suara dan wajah mengerikan sempat merengek pada gadis cantik yang kini sedang memakan roti. “Adek, meskipun kamu tidak takut dengan hantu bukan berarti boleh melakukan kekerasan padanya,” ucap senior yang bertugas menjaga pos tiga. “Iya, Auris. Kamu hampir saja membuat Mbak Kunti trauma menjadi seorang hantu,” saut senior satunya lagi. Rajata hanya diam saja saat gadisnya mendapatkan petuah dari para senior ketika mereka sedang beristirahat. Tenaganya cukup terkuras banyak karena Auris terus saja meronta-ronta dalam pelukannya karena belum berhasil mencubit pipi Mbak Kunti. “Habisnya, Mbak Kunti lucu sekali, Kak,” jawabnya dengan santai tanpa beban. “Hah?” “Lucu?” “Bagaimana bisa lucu?” Senior dan teman Auris melongo mendengar kata ‘Lucu’ untuk hantu. Memang sungguh luar biasa sekali keturunan Mommy Nala. Setelah, merasa istirahatnya sudah cukup dan bekal dari senior juga sudah habis. Rajata mengajak anggotanya kembali melanjutkan penjelajahan. Tinggal dua pos lagi mereka akan berhasil sampai finish. Dia sudah mewanti-wanti Auris agar tidak bersikap brutal lagi ketika melihat hantu. Dia merasa kasihan dengan Mbak Kunti yang mendapatkan serangan Auris hingga merengek minta ampun. “Mana bisa diam saja. Kamu tuh gimana sih? Nanti teman-teman kita ketakutan kalau di biarkan saja itu hantu,” omel Auris. “Iya, Raja. Kami pasti takut kalau hantunya dibiarkan mendekat,” jawab Inggrit. “Tadi kalian tidak takut ‘kan?” Semuanya mengangguk. “Karena Auris berhasil menangkap hantunya,” saut Shinta. “Tuh, denger ‘kan? Jadi, aku harus menangkap hantu agar teman-teman tidak ketakutan.” Auris tersenyum merasa memenangkan perdebatan dengan Rajata. “Dari pada anggota mu pada pingsan kayak yang lainnya. Kamu sendiri yang akan kesusahan buat gendong. Mana jarak sama pos lumayan jauh, bisa sakit encok kamu nanti.” “Baiklah, kamu boleh menangkap hantu jika ada lagi. Tapi, dengan syarat ...” “Apa?” “Hargai hantunya. Jangan sampai melakukan kekerasan lagi dengan para hantu itu.” “Okay, bisa di atur kalau itu mah,” jawabnya. Meskipun Rajata tidak percaya dengan Auris. Setidaknya, dia memiliki senjata untuk menegur Auris jika gadis itu kelepasan bertindak brutal lagi. Pos empat dilalui dengan sangat lancar. Tidak ada hantu yang muncul untuk mengagetkan kelompok Rajata. Karena ingin cepat sampai finish, mereka langsung melanjutkan perjalanan setelah berhasil menjawab pertanyaan dari senior. Lagi-lagi Auris dan Rajata yang mengerjakannya karena keduanya masih waras. Anggota lainnya sudah kelelahan sekaligus ketakutan saat melewati jalan yang sama sekali tidak memiliki penerangan. Membuat mereka tidak bisa berpikir dengan baik. “Itu apa yang melayang-layang di atas,” ucap Inggrit. “Bukan senior sepertinya,” jawab Shinta. “Iya, mana mungkin senior bisa melayang tanpa tali.” Inggrit merapatkan badannya pada Auris. Rajata mengambil senter dari dalam tasnya. Karena sudah melewati pos tiga dia diperbolehkan menyalakan senter apalagi pos empat dan lima tidak ada obor sama sekali. Laki-laki itu mengarahkan cahaya senter ke atas. “Sudah tidak ada,” ucapnya. “Pasti sedang sembunyi di suatu tempat. Ayo, kita cari,” ajak Auris. “Tidak perlu. Kalau sudah tidak ada lebih baik kita lanjutkan perjalanan kita.” “Keenakan itu nanti hantunya kalau enggak melaksanakan tugasnya,” debat Auris lagi. Gadis itu tetap kekeh ingin mencari hantu yang baru saja menghilang. “Sudah, tidak usah dicari.” Rajata menggenggam tangan Auris dengan erat agar tidak kabur darinya. Dia mengajak anggotanya melanjutkan perjalanan menuju ke arah pos terakhir agar kegiatan jelajah malam mereka cepat selesai. Raja juga meminta anggotanya tetap waspada dengan jalan yang lumayan licin karena panitia memberikan lumpur pada jalan setapak menuju ke arah pos lima. “Aaaaaaaaa, pocong ...” teriak Inggrit saat melihat ke arah belakang. Auris langsung melepaskan genggaman tangan Raja. Teman-temannya berteriak saling bersahutan ketika hantu pocong mendekati mereka. “Hah ... dasar hantu jelek,” ucap Auris. Dia sudah berdiri menghadang langkah pocong yang menakuti Inggit. “Nakal!” “Aduh ... aduh ... adudududuh ahh,” teriak pocong yang terkena cubitan Auris pada lengannya. “Siapa yang suruh jahil sama teman-teman aku?! Lihat tuh, mereka pada nangis,” omelnya. Hantu di jelajah malam benar-benar tidak ada harga dirinya di mata gadis itu. “Bilang maaf atau aku tambahi lagi cubitannya?” Saat Auris mengomel pada pocong. Dari arah atas, ada benda putih yang terbang mendekatinya. Shinta berteriak meminta Auris menghindar. Bukannya menghindar, Auris malah melepaskan sepatunya lalu dilemparkan ke atas. Bughhhhh ... “Sssstttt, sakit!” suara hantu bentuk wewe gombel yang terkena timpukan sepatu Auris. “Turun, gak! Apa mau aku hantam sama sebelah sepatu aku?!” Auris meminta hantu yang masih bergelantung di atasnya agar segera turun. “Aku ini hantu, kenapa kamu tidak takut?” “Sayang sekali aku tidak takut hantu. Omelan Mommy jauh lebih seram dari hantu,” jawab Auris. Temannya yang tadinya menangis langsung tertawa mendengar ucapannya. “Lebih baik tetap di atas saja. Jangan turun, kamu bakal kena cubitan rasa setan nanti.” Hantu pocong memberikan saran pada temannya karena dia baru saja menjadi korban keganasan Auris. Rajata mengambil sepatu Auris. Meminta gadis itu untuk memakainya kembali. Setelah itu, dia minta maaf pada senior karena sikap bar-bar anggotanya. “Buruan kalian lanjut jalan ke pos lima sebelum kelompok lainnya datang,” ucap hantu wewe gombel. “Memangnya kenapa?” “Bisa semakin hilang harga diri kita sebagai hantu jika kamu masih berada di sini,” jawab pocong. “Sekali lagi saya minta maaf atas nama Auris, Kak. Mohon maaf kalau Kakak sudah terkena cubitannya.” Rajata bergegas mengajak anggotanya meninggalkan tempat itu sebelum Auris kembali gemas dengan para hantu jadi-jadian. Teman-temannya masih tertawa saat mendengar gerutuan dari Auris karena Rajata suka sekali mengganggunya ketika memberikan pelajaran pada para hantu. “Kamu ini jahilnya tidak ketulungan.” “Biarin saja. Kapan lagi bisa main-main sama hantu.” Inggrit menyamai langkah Auris kemudian memeluk lengannya. “Kamu suka nonton film horor ya?” “Enggak. Aku malah jarang nonton film itu.” “Kok kamu berani sama hantu?” tanya Inggrit penasaran. “Hantu itu ‘kan bukan sungguhan, Inggrit. Kenapa juga harus takut?” “Meskipun nggak sungguhan tetap saja wajahnya seram sekali.” “Padahal tuh aku pengen cakar itu muka ngeselin Mbak Kunti tadi. Malahan nggak mau turun dari pohon.” “Auris!” tegur Rajata. “Kamu ini gak bisa diam sama sekali. Dapat tenaga dari mana sih? Sejak tadi suka sekali bikin gara-gara sama hantu.” “Bukan aku yang bikin gara-gara tapi hantunya yang nakal,” elaknya. Gadis itu tidak akan mau disalahkan karena telah mengamuk pada para senior. Akhirnya, semua pos berhasil dilewati Rajata dan anggotanya. Meskipun, Auris suka membuat huru-hara tapi dia berhasil menjadikan kelompoknya menjadi yang terbaik dengan menjawab semua pertanyaan dengan benar. Karena sudah berhasil sampai finish Kelompok Rajata bisa langsung istirahat sambil menunggu kelompok lainnya sampai. “Duh, aku kebelet pipis,” ucap Auris. “Ayo, aku antar.” “Ih, nggak usah. Aku berani sendiri.” Rajata berdiri meskipun di tolak Auris. Dia berjalan lebih dulu menuju ke arah toilet. “Ngapain sih pakai anterin segala!” “Aku juga mau ke toilet.” “Mazaak?!” Rajata berdiri di depan toilet, meminta Auris masuk lebih dulu sementara dia akan menunggu di depan. “Jangan ngintip!” serunya sebelum masuk. “Ngapain juga ngintip. Sebentar lagi juga aku bisa lihat semuanya.” “Maksud kamu apa, Rajataaaaaa?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN