Jangan Sok Kenal!

1385 Kata
“Auris, Rajata sejak tadi memperhatikanmu,” bisik Alice. “Mana mungkin, Lice. Kamu pasti salah lihat.” “Enggak kok, Ris. Itu dia masih melihat ke arah sini,” tunjuk Alice pada Rajata yang masih berada di depan mobilnya. “Alice, tidak usah diliatin terus. Nanti dia jadi besar kepala.” “Eh ...” Alice langsung menghadap ke arah jalan raya. “Kayaknya dia sudah tahu jika kita sedang membicarakannya sejak tadi.” “Ya, sudah. Pura- pura aja nggak tahu kalau dia melihat ke arah kita.” Auris dan juga Alice sedang menunggu jemputan di depan kampus. Keduanya sengaja menunggu di luar karena ingin membeli jajanan pedagang kaki lima. Ospek di hari pertama dilalui keduanya tanpa masalah apapun. Besok mereka masih harus menjalani ospek hari kedua dengan agenda memakai caping dan tas karung. “Daddy,” panggil Auris saat Ace baru saja turun dari mobil. “Wah, bisa bareng gitu datangnya. Itu Papa aku juga sudah sampai,” ucap Alice. Auris mengajak sahabat barunya berkenalan dengan Daddy nya. “Kenalkan dia Alice, Dad. Teman satu jurusan dan kelas.” “Halo, Om. Saya, Alice.” “Halo juga, Alice. Terima kasih sudah mau berteman dengan Auris,” Jawab Ace dengan ramah. Alice mengangguk lalu memperkenalkan Auris pada Papanya. Setelah itu, keduanya masuk ke dalam mobil orang tuanya masing-masing. Sepanjang perjalanan, Auris menceritakan hari pertama kegiatan ospek di kampusnya pada Ace. “Jadi, Rajata satu kampus dengan Kakak?” “Iya, Dad. Auris tuh nggak menyangka kalau anak itu bakal kuliah di Jogja. Soalnya, waktu lulus SMA pada bilang dia bakal lanjut kuliah ke luar negeri.” “Ambil jurusan apa Rajata?” “Teknik, Dad.” Ace hanya menganggukkan kepala tidak bertanya lagi pada Putri sulungnya yang terlihat kesal. Dia tahu jika Auris selalu kesal jika Rajata bersekolah di tempat yang sama dengannya. “Kak, sudah tidur?” “Belum, Mom. Masuk saja.” Nala masuk ke kamar Putrinya. Dia selalu menyempatkan waktu mendengarkan cerita para Putrinya sebelum mereka tidur. “Belum selesai hias capingnya?” “Susah, Mom,” rengek Auris dengan menyerahkan caping pada Mommy nya. “Sudah cantik begini, Kak. Mau di kasih apalagi?” “Tempel pita punya Adek, Mom. Tapi copot kalau cuman di kasih lem.” “Tidak akan copot kalau caranya benar,” ucap Nala. Dia membantu Putrinya menghias caping yang akan digunakan sebagai atribut ospek besok. Sementara Auris mengambil tas karungnya. Dia juga akan menghias tas itu hingga terlihat cantik. Kedua atribut ospek akan dinilai oleh panitia. Mahasiswa baru yang menghias caping dan tas karung paling bagus akan mendapatkan doorprize. “Kata Daddy, Rajata satu kampus dengan Kakak.” “Iya, Mom. Sebel banget Auris.” “Sayang, tidak boleh bicara begitu,” tegur Nala. “Lagian ya, Mom. Itu anak kenapa selalu satu sekolah dengan Auris coba? Padahal banyak sekali kampus di Jogja.” “Kebetulan kali, Kak.” Auris naik ke atas ranjang mendekati Mommy nya. Dia akan mengajak Nala bergosip ria. “Rajata sikapnya aneh sekali, Mom.” “Aneh gimana, Kak?” “Biasanya kalau bertemu dengan Auris langsung mengikuti dan menempel terus. Tapi, hari ini sikapnya cuek sekali kayak orang yang tidak kenal.” “Memangnya Rajata tidak menegur Kakak?” Auris menggelengkan kepala. “Jangankan menyapa, Mom. Melihat Auris saja tidak.” “Mungkin tidak melihat Kakak,” ucap Nala. “Nggak mungkin lah, Mom. Tempat duduk Fakultas kami bersebelahan. Lagian tadi Auris di panggil panitia ospek untuk maju ke depan. Pastinya Rajata bisa melihat Auris dengan jelas.” Nala terkekeh melihat wajah lucu Putrinya. Dia juga menarik sebelah pipi chubby Auris. “Bukankah itu yang Kakak mau? Rajata bersikap cuek dan tidak lagi mengganggu.” Auris memeluk Mommy-nya. Dia memang selalu mengatakan jika ingin sekali Rajata tiba-tiba kehilangan ingatannya agar tidak selalu menempel padanya. Tapi saat Rajata bersikap cuek dan sangat dingin padanya. Auris malah uring-uringan tidak jelas. “Besok Auris mau bawa bekal lagi, Mom.” “Iya, Sayang. Kata Bibik bekal Kakak hari ini habis tidak ada sisa. Tadi pagi Kakak bilang bekalnya terlalu banyak?” “Auris bagi sama teman baru, Mom. Dia tidak membawa bekal, mau beli di kantin antriannya panjang sekali.” “Besok mau bawa bekal 2 porsi lagi?” Auris menggeleng. “Seperti biasa saja, Mom. Alice berkata akan membawa bekal sendiri besok.” “Alice?” “Hmmm, dia teman baru Auris, Mom. Anaknya cantik, lucu kayak Mikayla.” “Mommy jadi tenang kalau Kakak sudah mendapatkan teman baru di kampus.” “Dia baik sekali, Mom. Jagain Auris waktu di goda sama para senior.” Nala mengeratkan pelukan pada Putrinya. Dia sempat tidak bisa tidur beberapa hari ketika Auris akan masuk Universitas. Meskipun suaminya sudah menjelaskan jika dunia kampus tidak seseram yang dipikirkannya. Tetap saja Nala masih khawatir jika Putrinya mendapatkan perlakuan tidak baik dari Seniornya. *** “Lucunya, Auris. Kamu kelihatan makin cantik!” seru Alice dengan bertepuk tangan. “Punya kamu juga lucu, Lice. Ada bonekanya juga,” ucap Auris dengan terkekeh saat melihat caping milik sahabatnya terdapat bunga besar. Alice mengerucutkan bibirnya. “Kakak Ipar aku yang kasih bunga mawar besar ini,” tunjuknya pada bunga yang ada di atas capingnya. “Padahal aku sudah menolak tetap saja dipaksa.” “Tidak masalah, Lice. Benar yang dikatakan oleh Kakak Iparmu, caping mu kelihatan cantik.” “Jangan nakal, Auris!” Auris tidak bisa lagi menahan tawanya. “Kamu tuh keliatan kayak artis telenovela, Lice.” “Siapa?” “Marimar,” jawab Auris terbahak. “Ih ... Auris,” teriak Alice, mengejar sahabatnya menuju ke Auditorium. Saat mereka hampir sampai di depan pintu masuk. Auris tidak sengaja tersandung sehingga jatuh tepat di depan seorang yang sedang menghias caping. “Aduh ...” teriaknya. “Sssttt, sakit.” “Ya, ampun Auris. Kamu nggak papa, ‘kan?” “Nggak papa, Lice,” jawabnya. “Tolong bantu aku,” ucapnya, Auris mengulurkan sebelah tangannya. Alice sedikit kesusahan saat membantu sahabatnya bangun karena tubuhnya lebih kecil dari Auris. “Bisa jalan apa tidak?” “Aaaaaa, kaki sebelah kiri sakit buat di gerakkan.” “Jangan-jangan kakimu terkilir, Ris.” Alice berjongkok di depan Auris. “Apa sakit bagian sini?” “Aduh, jangan di tekan, Lice. Sakit sekali rasanya,” rengek Auris. “Benar terkilir, Auris. Ayo, aku bantu pergi ke klinik kampus agar mendapatkan pertolongan pertama.” Saat keduanya akan pergi ke arah klinik. Laki-laki yang sejak tadi melihat kejadian jatuhnya Auris memanggil. “Biar aku saja yang membantunya. Kamu masuk dulu, minta izin pada panitia ospek.” “Tapi ...” “Sudah. Cepat masuk sebelum terlambat,” saut cepat Rajata. Alice mengangguk. “Aku masuk dulu ya, Ris. Setelah mendapatkan ijin, aku janji akan menyusulmu ke klinik.” “Iya, Alice. Terima kasih. Maaf ya sudah merepotkanmu.” Setelah Alice masuk ke dalam Auditorium. Rajata langsung membantu Auris berjalan ke arah klinik. Tidak ada yang memulai pembicaraan karena Auris menahan sakit pada kakinya. Sementara, Rajata terlihat kesal dengan gadis yang tengah dibantunya. “Tiduran dulu. Sepertinya Dokter belum datang,” ucap Rajata. “Iya.” Auris menurut tanpa membantah. “Mau apa?” “Diam!” Nyali Auris menciut saat mendengar suara tinggi Rajata. “Tahan sebentar. Jangan berteriak!” Rajata memegang kaki kiri Auris. “Hmmm ...” Kedua tangan Auris mencengkram pinggiran ranjang. “Aaaaaaaaaa!” teriak Auris ketika Rajata sedikit memutar kaki kirinya. “Aduh ...” Rajata diam, memberikan waktu pada Auris. “Bagaimana?” Auris menggerakkan kaki kirinya. Dia tersenyum karena kakinya tidak sesakit tadi. “Sudah mendingan.” “Coba di buat jalan. Pelan-pelan dulu.” “Iya.” Auris bangun, turun dari ranjang tanpa meminta bantuan Rajata. Dengan penuh kehati-hatian dia menginjakkan telapak kakinya pada lantai. Meskipun masih terasa sakit tapi kaki sebelah kirinya sudah bisa di buat jalan. “Terima kasih, Raja.” “Hmmm.” “Kenapa sikapmu berubah aneh?” “Maksudnya?” “Kamu seperti tidak mengenalku sama sekali. Cuek dan ketus saat bicara.” “Bukanya kita memang tidak saling kenal?” “Kamu Rajata teman sekolah aku dari TK hingga SMA ‘kan? Bagaimana bisa kita tidak saling mengenal?” Rajata tidak menjawab. Dia menepuk kepala Auris beberapa kali. “Jangan sok kenal!” ucapnya sebelum pergi dari klinik. “Ccckkk, Dasar aneh,” gerutu Auris dengan mencebikkan bibir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN