Merasa Tertampar

1312 Kata
Seperti biasa Anka tidak mau makan masakan Kirana, walaupun Kirana sudah bersusah payah untuk memasak dalam kondisinya yang kurang fit ini. Kirana selalu berwajah masam dan kesedihannya membuncah setelah mendapatkan penolakan dari suaminya. Selalu saja mubazir, makanan yang ia masak tidak pernah di sentuh sedikitpun, bahkan sekedar mencobanya saja tidak, tapi Kirana tidak pernah menyerah. Ibunya berkata bahwa bujuk suamimu dengan cara memasak untuknya, walaupun di tolak tapi cobalah lagi sampai berhasil. Itu lah yang Kirana lakukan saat ini, seribu kali pun Anka menolak makan, sekuat itu juga Kirana membujuk, walaupun ujung-ujungnya pasti marah besar. “Ada apa?” tanya Anka mendongak menatap istrinya. “Aku sudah siapkan sarapan,” jawab Kirana. “Sudahlah taruh saja,” kata Anka, menggelengkan kepala. “Dan, jangan biasakan datang mengganggu jika aku sedang bersantai seperti ini.” “Iya.” Kirana menganggukkan kepala lalu melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Anka. Anka menoleh dan melihat punggung Kirana yang melangkah menuju tempat mencuci, Anka tahu jika Kirana mau mencuci pakaian. Selama ini, Anka memang selalu mengenakan pakaian yang rapi, wangi dan sudah bersih, semua itu di cuci Kirana. Hanya Anka heran pada istrinya itu, sekuat apa pun Anka menyuruhnya berhenti melakukan hal-hal itu, Kirana justru terus melakukannya tanpa menyerah. Anka menggeleng kuat dan kembali fokus kepada majalah bisnis yang ia baca, lalu menaruh majalah itu dan pergi menuju parkiran. Ia sudah memperhatikan Kirana cukup lama, ia tidak boleh goyah. Anka masuk ke mobilnya, lalu ia melaju menuju rumah ibunya. Anka masuk ke rumah ibunya dan melihat jika Ibu dan kakaknya itu sedang sarapan berdua. Anka langsung duduk di kursi kosong. “Syukurlah kalian sedang sarapan,” kata Anka. “Kenapa kamu di sini? Biasanya juga tidak kemari,” tanya Dania menautkan alis. “Mbak marah? Karena aku membela Kirana kemarin?” “Ya. Mbak memang marah,” jawab Dania. “Terus? Kamu mau apa?” “Nanti aku kasih uang buat Mbak belanja sebagai permintaan maafku,” kata Anka. “Serius? Nah gitu dong. Kamu harus memanjakan Mbak,” kekeh Dania begitu semangat. Padahal baru kemarin dia di beri uang, tapi di beri lagi saat ini. “Kamu tidak memberikan uang kepada Kirana?” tanya Wahida menatap putranya itu. “Aku hanya memberinya 300k, Bu.” “Cukup?” “Cukup,” jawab Anka. “Kenapa tidak berikan lebih?” tanya Wahida. “Bu, kenapa Ibu mengatakan itu? Tiba-tiba banget,” geleng Dania. “Ibu hanya mengira kemungkinan Kirana butuh uang karena sedang hamil,” jawab Wahida mengelus leher belakangnya. “Kamu lihat sendiri kan setiap hari Kirana memasak, lalu uang darimana itu? Tidak mungkin uang 300k akan tetap ada walaupun dibelanjakan. Kamu saja uang lima juta bisa habis sehari.” “Sudahlah. Itu urusan dia mau ambil uang darimana,” geleng Dania. “Jangan bandingkan aku dengan dia.” Sang Ibu terdiam, Dania tidak suka jika ada salah satu anggota keluarganya yang terus membahas tentang Kirana. “Oh iya, Anka. Gimana kabar Siska?” tanya Dania. Anka yang sedang makan menoleh dan berkata, “Dia baik. Memangnya kenapa?” “Kamu kapan ajak Siska kemari?” “Nanti saja,” jawab Anka. “Mbak serius loh, Anka, kamu harus mendekati Siska, dia itu kaya loh, ayahnya pengusaha travel,” seru Dania. “Mendekati Siska? Siska bekerja di kantor, jadi buat apa aku dekati? Sudah pasti akan bertemu setiap hari juga.” Anka menggelengkan kepala. “Kamu bawa Siska kemari, dan kita makan malam bareng, Mbak akan belanja makanan yang enak untuknya,” seru Dania. “Gimana? Kamu mau kan?” “Nanti deh, aku tanya Siska dulu,” jawab Anka lagi masih mengunyah makanannya. “Anka, Mbak serius loh.” “Iya, Mbak,” jawab Anka. Kakaknya dulu pernah menikah, namun akhirnya bercerai karena Dania selalu membandingkan suaminya dengan pria lain, lalu pertengkaran terus terjadi setiap hari, sampai mantan suami Dania menikah lagi diam-diam tanpa sepengetahuan Dania. Di situ lah akhir dari hubungan Dania dan suaminya. Anka dan Wahida kerap kali menyuruh Dania untuk mencari kerja agar ada kegiatan, namun Dania menolak, dan mengatakan akan lebih baik menikmati hasil kerja adiknya dibandingkan bekerja keras untuk diri sendiri. *** Sementara Kirana tengah menjemur pakaian yang sudah ia cuci di teras belakang rumah, lalu melihat matahari begitu menyengat, di rumah ini dia sendirian, walaupun ada Anka, tapi Anka seperti tak ada di rumah. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan tanpa mengeluh, tapi bukannya mendengar suara lembut, Kirana malah mendengar suara yang kasar setiap hari. Setelah selesai, Kirana lalu masuk ke rumah dan duduk di sofa. Kirana mendesah napas halus. Tumben sekali Ibu mertua dan kakak iparnya itu tidak kemari memacu adrenalinnya, padahal seperti biasa, jam begini Ibu mertua dan kakak iparnya akan datang meracau meminta makanan. Kirana berbaring di sofa, mengelus perutnya dan berkata, “Sabar ya, Nak. Kita berdua harus kuat melalui ini.” Tak lama kemudian, suara ketukan pintu rumah terdengar, Kirana bangun dari pembaringannya dan melangkah menuju ruang tamu. Ia melihat ibunya tengah berdiri didepan pintu membawa wadah yang sudah pasti berisi makanan. “Assalamu’alaikum, Nak,” ucap Syafana. “Wa’alaikumussalam. Mommy?” Kirana tersenyum seolah mendapatkan sumber energi yang besar. Kirana kalau memeluk ibunya. “Ayo masuk, Mom.” “Mommy tidak mengganggumu, ‘kan?” tanya Syafana lalu duduk di sebelah Kirana dan menaruh makanan itu di atas meja. “Mommy ngomong apa sih, Mommy nggak ganggu kok,” geleng Kirana. “Mommy apa kabar?” “Mommy baik-baik saja, seperti yang kamu lihat. Kamu bagaimana?” “Kiran juga baik, Mom." “Tapi kenapa kamu kelihatan kurus, Nak?” tanya Syafana yang tahu betul perubahan berat badan putrinya. “Lihat wajahmu tirus, dan pucat sekali.” “Kiran kangen sama Mommy,” ucap Kirana lalu memeluk Syafana yang saat ini duduk disebelahnya. Seolah ia mendapatkan energi yang berharga saat ini. Kirana selalu saja ingin menyerah, namun Syafana selalu memberikannya kekuatan agar bertahan dalam kondisi dan situasi apa pun. Ini lah pernikahan, tidak ada pernikahan yang akan selalu bahagia. Namun, Kirana tidak pernah merasakan kebahagiaan sama sekali. Syafana menepuk punggung Kirana lembut dan akhirnya airmata yang Kirana terus tahan sejak tadi, terdengar juga, Kirana histeris dan sesenggukan di pelukan sang Ibu. Syafana menitihkan airmata juga, namun buru-buru ia seka, agar Kirana tidak menyadarinya. “Maafkan Kiran, Mom, maafin Kiran,” ucap Kirana terus memeluk erat sang Ibu. Syafana melepaskan pelukan putri semata wayangnya dan menyeka airmata di pipi putrinya itu, salah satu obat yang ampuh adalah kehadiran Ibu, bukan? “Kamu yang sabar ya, Mommy setiap waktu selalu mendoakan kesehatan dan pernikahanmu, Nak,” ucap Syafana mengelus kepala putrinya. “Mom, Kiran udah gak tahan, Kiran berusaha menahannya, tapi tubuh Kiran tidak bisa terus menerimanya, Mom.” Kirana terus menangis di hadapan sang Ibu, bibirnya mengkerut, matanya sembab dan airmatanya terus luruh. “Nak, ingat kamu sedang hamil. Bertahanlah sampai kamu melahirkan. Jangan membiarkan anakmu lahir tanpa seorang Ayah, setelah kamu melahirkan, Mommy nggak akan memaksa kamu untuk bertahan lagi,” ucap Syafana mengelus perut putrinya. Ketika Kirana dan Syafana sedang berbincang, Anka mendengarnya dari balik tembok yang ada di rumahnya, ia hendak masuk mengambil beberapa berkas untuk ia bawa ke kantor. Namun, langkah kakinya terhenti ketika mendengar suara tangis Kirana. Semenjak menikah … Anka mengira Kirana adalah wanita yang kuat, ia tidak pernah mendengar Kirana menye-menye dan menangis diam-diam, namun saat ini mendengar suara tangis Kirana membuat Anka seolah tertampar. "Mommy kemari karena Mommy merasa kamu butuh Mommy," kata Syafana. "Makasih, Mom, hanya Mommy yang memahami Kiran. Daddy sudah membenci Kiran, jadi Kiran hanya memiliki Mommy sekarang." Kirana menyeka airmatanya. "Daddy sedang berusaha berdamai dengan hatinya, Nak. Tapi, Mommy tahu kalau Daddy sayang sekali sama kamu." Syafana menatap sang Putri. "Mommy selalu menyebut nama kamu didepan Daddy, dan Mommy yakin, Daddy merindukanmu." Narendra memang sangat marah kepada putrinya karena putrinya itu sudah membuat malu keluarga Mahardika. Semenjak kejadian itu, Sang Ayah tidak pernah memberikannya kesempatan untuk berbicara dan menganggap Kirana bukan lagi seorang anak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN