“Apa yang kamu pikirkan? Heem? Apa? Kenapa kamu melawan Ibu dan Mbak Dania? Apa masalahmu?!” bentak Anka, memegang erat lengan Kirana yang saat ini sudah meringis kesakitan.
Keluarga ini benar-benar tidak pernah perduli dengan perasaannya yang tengah hamil.
“Mas, stop. Aku mohon sama kamu, aku sedang hamil,” kata Kirana melepaskan genggaman tangan suaminya.
“Kamu—”
“Aku bertahan di rumah ini, sabar menjadi istri, menantu, dan adik ipar karena rasa bersalahku yang besar terhadapmu. Karena aku yang menyebabkan kamu tidak jadi menikah dengan Siska. Aku tahu, semua ini salahku. Tapi, bisakah kamu menyadari satu hal? Mengedepankan perasaanmu sebagai Ayah? Jika kamu tidak menerimaku sebagai istri, tidak masalah. Tapi, setidaknya cintai anakmu yang kini ku kandung. Tolong.”
Anka terdiam, ia memang membenci Kirana, karena Kirana yang menyebabkan semua ini terjadi, tapi apakah pantas ia kasar pada Kirana dimana saat ini Kirana tengah hamil anaknya?
Dulu, Anka memang tidak terima walaupun sang Ayah mertua memaksanya menikahi Kirana, bahkan mereka sempat berpisah satu bulan, menjalani aktivitas masing-masing seperti biasanya seperti tidak ada yang terjadi. Lalu, datanglah kabar bahwa Kirana hamil anaknya. Di situ lah hati Anka luluh, ia akhirnya mau menikah dengan Kirana demi anak yang Kirana kandung.
Usia kandungan Kirana sudah memasuki 10 minggu, namun semenjak awal kehamilan sampai saat ini ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang atau elusan di perutnya. Bahkan tidak ada interaksi antara Anka dan anaknya.
Biasanya anak akan mendengarkan suara orangtuanya, namun Anka tidak pernah melakukannya. Jangankan mengelus perut Kirana, melihat Kirana saja, Anka enggan.
Setiap hari, Kirana selalu mengajak anaknya berbicara, mengelus perutnya sendiri dengan genangan air mata. Ia selalu memberikan pengertian kepada anaknya bahwa sang Papa belum bisa berbicara dengannya.
“Kamu jangan melawanku,” tekan Anka menunjuk Kirana.
“Selama ini, aku selalu diam walaupun kamu memaki, memarahi dan menekanku, semua itu bukan karena aku bodoh, aku hanya ingin menghargaimu sebagai seorang suami dan ayah dari anak yang sedang aku kandung. Aku tahu semua ini salahku, aku yang telah membuat pernikahan ini terjadi, aku yang salah masuk ke kamarmu hingga terjadilah sesuatu yang tidak kita inginkan, tapi susah kah untuk menghargaiku? Aku sedang hamil. Hamil anakmu. Mentalku yang rusak bisa membuat pertumbuhan anakmu terganggu.” Kirana sudah mulai pintar merangkai kata.
Anka terdiam, ia bingung dengan sikap Kirana saat ini, yang biasanya Kirana diam dan tidak pernah banyak bicara, kali ini ia jadi banyak bicara.
Kirana merasa semua yang ia terima dari keluarga Anka adalah perlakuan yang tidak adil. Dan, jika bukan dirinya yang menjaga dirinya sendiri dan anak yang ia kandung, lalu siapa lagi yang akan menjaganya?
Mentalnya sudah di rusak habis-habisan, jiwanya terganggu, ia belum melahirkan tapi sudah merasakan tantrum sendirian.
“Jika kamu benar-benar tidak menginginkanku lagi dan menginginkan anak yang sedang aku kandung, baiklah. Aku akan pergi dari hidup kamu, kamu bisa mengurus perceraian kita dan setelah itu kamu bisa melakukan apa saja yang ingin kamu lakukan, aku tidak akan pernah mengekangmu, aku bisa menafkahi anakku sendiri, walaupun aku tidak bekerja tapi aku punya orang tua yang cukup mampu untuk memberi makan kepada kami.” Kirana akhirnya angkat bicara.
Ia tidak pernah berani mengatakan hal itu, tapi kali ini kesabarannya sudah habis, kesabarannya setipus tisu di bagi dua. Jadi, ia tidak bisa menahannya lagi.
“Kamu jangan macam-macam mengatakan hal itu, jangan berani pergi atau melangkahkan kaki keluar dari rumah ini, jika kamu melakukannya, kamu akan mendapatkan akibatnya,” ancam Anka.
“Kamu mengancamku?”
“Ya. Aku mengancammu. Why? You dont like? Asal kamu tahu, dia anakku. Aku menikahimu demi anakku.”
“Jika kamu menikahiku demi anakmu, lalu kenapa kamu dan keluargamu menghantam mentalku habis-habisan?” tanya Kirana.
Akhirnya Anka diam, ia tak bisa menjawab pertanyaan istrinya. Semua ini mungkin karena egonya, ia menyalahkan Kirana atas apa yang terjadi pada hidupnya, ia pria yang tidak pernah tertarik untuk menikah, lebih baik menghabiskan malam dengan seorang wanita daripada harus berkomitmen dalam sebuah hubungan yang serius, namun keinginannya itu dipatahkan oleh kehadiran Kirana.
Kata teman-temannya, ia dan Kirana menikah karena takdir dan ia harus menerima takdir itu.
Anka seperti kebingungan, ia pun segera berlalu pergi dari hadapan Kirana yang pikirannya sedang terganggu.
Anka menghampiri Ibu dan kakaknya yang saat ini tengah mengobrol.
“Gimana? Kamu sudah kasih pelajaran pada Kirama?” tanya Dania, menatap Anka.
“Kenapa aku harus memberi pelajaran kepadanya? Apa itu yang kamu harapkan?”
“Lah terus? Apa yang kamu lakukan di kamar? Tidak mungkin kamu menciumnya, ‘kan?” geleng Dania.
“Mbak kenapa mendorong Kirana? Mbak lupa kalau Kirana itu sedang hamil anakku? Jika anakku kenapa-kenapa bagaimana? Tolong, jangan pernah mendorongnya ataupun melukainya.” Anka menatap Dania yang saat ini menautkan alis.
“Kenapa kamu tiba-tiba mengatakan hal itu? Biasanya kamu tidak pernah mengatakan hal itu,” ujar Dania lalu kembali duduk di hadapan ibunya.
“Aku memikirkan anak yang dikandung Kirana, bukan Kirana pribadi. Jadi, aku harap ini tidak terulang lagi, usia kandungan Kirana masih 10 minggu masih cukup kecil dan rawan untuk keguguran.” Anka melanjutkan.
“Dia yang sudah membuat kami jengkel karena itu mbak mendorongnya. Dia itu tidak mau diam, dia tiba-tiba saja melawan kami dan tidak mau menyediakan makan untuk kami, ya tentu saja aku marah apalagi dia melototkan matanya di depan ibu dan ia membela diri.” Dania melaporkan hal itu lagi.
“Aku paham bagaimana perasaan Mbak dan perasaan Ibu juga, tapi setidaknya jangan lupa kalau Kirana itu sedang hamil, aku menikahinya karena dia hamil anakku, jika anakku kenapa-kenapa apalagi yang bisa aku harapkan?” Anka menatap Ibu dan mbaknya bergantian.
“Kan kamu bisa menikah dengan Siska. Siska bisa memberikanmu anak, aku juga sudah mengecek kesehatan Siska dan Siska sempurna. Dia cantik, dia kaya raya dan dia subur,” sambung Dania.
“Sempat-sempatnya Mbak memikirkan itu, kita sedang membicarakan Kirana, bukan membicarakan Siska.”
“Kamu kenapa sih? Sepertinya kamu membela perempuan itu, seharusnya kamu memarahinya habis-habisan karena telah kasar pada kami.”
“Sudahlah, Mbak, kita tidak usah berdebat apapun yang terjadi hari ini jangan sampai terjadi besok, aku tidak mau jika anakku kenapa-kenapa.”
“Kamu—”
“Sudahlah, Dania, Anka. Kalian tidak usah berdebat tentang itu, Ibu dan mbakmu minta maaf karena kami hampir mencelakai anakmu. Semoga saja kamu mengerti untuk kali ini.” Wahida melanjutkan.
“Kapan sih, Bu, aku tidak pernah mengerti sikap ibu dan sikap Mbak,” kata Anka. “Untuk sementara, kalian tidak usah ke sini dulu. Apalagi meminta makanan, Kirana harus rileks.”
“Kenapa kamu membuatnya rileks? Gak sudi banget dengernya.”
“Ini demi anakku. Aku tidak bisa egois, anakku sedang dalam kandungan Kirana dan pertumbuhannya akan terganggu jika Kirana terus-menerus capek dan sedih.” Anka melanjutkan.
Anka terpukul atas kata-kata Agnia. Bukankah ia harus menjadi suami yang sigap?