Gadis itu sedikit tergelincir dan tersandung kakinya sendiri saat mendengar suaranya, sehingga membuatnya cepat - cepat berbalik menghadap. Dia mengangkat sebelah alisnya saat melihat reaksinya.
Di antara banyaknya wanita yang dekat dengannya, tentu saja tipe yang sok innocent dan polos seperti ini juga ada. Tapi tentu saja tidak ada yang membutuhkan waktu selama perempuan ini untuk menarik perhatiannya.
Dia semalam amat yakin sekali bahwa gadis ini diam - diam akan naik ke kamarnya mencari kehangatan. Berlagak dia takut untuk tidur sendirian di bawah. Tapi ternyata tidak. Dia mengambil waktunya dengan perlahan. Seperti yakin kalau dia pasti akan jatuh pada pesonanya saat dia beraksi.
Well, saat itu tiba, dia akan dengan senang hati memberitahunya bahwa dia sama sekali tidak tertarik padanya. Theodore sama sekali tak tertarik pada semua hal yang ada pada gadis itu; Senyumannya yang dibuat - buat mengingatkannya pada wanita itu. Sok polos, tapi ternyata luar biasa liar di ranjang, dan licik setelahnya. Dia tidak akan jatuh ke pelukan ular berbisa dua kali.
"Monsieur. Anda sudah bangun." Sapanya tergagap. Merapatkan bagian depan cardigannya untuk menutupi piyama di baliknya.
Yang benar saja. Itu sama sekali tidak perlu. Bentuk tubuhnya bukan jenis yang dia sukai. Bukan jenis tubuh yang membuatnya tergila - gila. Maidnya ini terlalu kurus dan terlalu banyak tersenyum. Bukan kesan innocent yang dia dapat, di matanya, perempuan ini malah terlihat seperti orang bodoh. Dan dia tak tertarik pada gadis bodoh. Mereka agak susah diajak berkomunikasi.
"Jadi, maid ku memutuskan untuk melalaikan tugasnya di pagi hari?"
"Non! Non, Monsieur, c'est pas comme ça! (Bukan! Bukan Tuan, sama sekali bukan begitu)." Dia menjawab gugup. "S-s-saya...permisi, saya akan menyiapkan kebutuhan pagi anda. Mohon menunggu sebentar. Permisi."
Dia berjalan cepat sambil membungkuk untuk kembali ke belakang.
Dia mengikuti di belakangnya agak jauh. Ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Louisa.
"Oui, Louisa."
"Seorang Lucifer sudah bangun jam segini! Quel surprise ! (Betapa mengagetkan)"
"Kalau kau yakin aku belum bangun jam segini kenapa kau menelpon?"
"Tu sais (kau tau) biasanya salah satu wanitamu itu ada yang berbaik hati mengangkat telponku dan membangunkanmu. Aku hanya harus selalu percaya pada keajaiban." Katanya riang, membuat Theodore mendengus kasar.
"Kau menelponku hanya untuk bicara keajaiban?"
"Tentu saja tidak! Aku sudah membaca bab yang kau kirim kemarin, c'est magnifique! (itu mengesankan!). Lucifer, aku punya ide."
"Tentang?"
"Kau membuat character Ines amat innocent dan amat ingin tahu sementara Phillip ada adalah veteran perang yang menyimpan banyak kegetiran, cuek, dingin dan tidak tersentuh. Aku pikir, novelmu akan sangat berkesan jika mereka berdua pada akhirnya saling tertarik! Bukankah begitu?"
"Louise kalau kau bicara omong kosong, maka lebih baik telponnya kututup."
Perempuan di seberang sambungannya mendengus keras. "Cold hearted. Setidaknya kalau kau bilang akan mempertimbangkannya meskipun tidak sungguh - sungguh, aku akan sangat senang sekali."
"D'accord (baiklah) aku akan mempertimbangkannya. Tapi asal kau tau, aku sama sekali tidak tertarik pada idemu itu.
"Putin! (Makian dalam bahasa Prancis) sudah! Aku sudah mengatakan pendapat ku. Sekarang waktunya aku kembali menjadi monster jahat yang memaksa anak - anak kecil di sini makan sarapan mereka."
Theodore tergelak. "Peluk dan cium untuk para malaikatku, Louis."
***
Dia sengaja tidak menunggu di ruang makan, melainkan mengikuti gadis itu langsung ke dapur dan duduk di salah satu kursi tinggi yang berjajar di depan island table di tengah dapur.
Tanpa mengganti bajunya terlebih dahulu, dia langsung memakai celemek dan menyiapkan sarapan untuknya. Dia lihat, gadis itu juga menyiapkan beberapa piring tambahan. Untuknya? Agak lancang bukan, kalau dia menyiapkan makanannya berbarengan dengan majikannya? Apalagi tanpa persetujuannya.
Sambil menunggu, dia membuka situs berita dan mengetikkan namanya di kolom pencarian. Tidak ada apapun yang baru. Setidaknya, kali ini pak tua itu menepati janjinya untuk membereskan masalahnya. Berita terbaru adalah tiga bulan yang lalu, saat novelnya menyabet gelar best seller dan memenangkan beberapa penghargaan book of the year. Dia ingat, malam setelah pengumuman itu dia mengadakan pesta di kelab malam milik temannya Phillip. Malam di mana semua kerumitan ini berawal.
Entah kebetulan dari mana, dia mendapatkan pop up notifikasi dari temannya Phillip tersebut. Dia tidak memiliki banyak teman. Dan lebih sedikit lagi orang yang dia akui sebagai teman. Phillip adalah salah satunya. Bukan teman yang sangat akrab sehingga dia bisa menyebutnya sebagai sahabat. Tapi cukup akrab sehingga dia lebih dari sekedar seorang kenalan biasa.
Phillip adalah seorang tuan muda dari seorang tycoon kuliner di perancis. Orang tuanya mengembangkan bisnis restoran bintang lima dengan konsep classy elegant yang tersebar hampir di seluruh Eropa. Tapi pemuda bandel itu memang hobi membangkang. Mirip seperti wataknya. Alih - alih belajar dan meneruskan bisnis orang tuanya, dia malah fokus dengan kelab malah yang dia kelola sejak kuliah dan membiarkan Kakak perempuannya mengurus bisnis orang tuanya sendirian.
Pria itu menanyakan kabarnya dan rumor bahwa dia tidak berada di Paris saat ini.
Dia sedang mengetik balasan saat Candice? Maid nya itu meletakkan piring sarapan berisi toast, bacon dan telur mata sapi di depannya. Dia juga menyiapkan secangkir kopi, air putih serta piring berisi potongan buah dan beberapa biscuit depannya. Setelahnya dia beranjak keluar dari dapur. Ekor matanya secara tidak sadar mengikuti ke mana gadis itu bergerak. Dua piring yang dia siapkan sebelumnya masih berada di tempatnya. Gadis itu menuju pesawat telpon yang berada di samping pintu masuk dapur.
“Halo? Lucas? Kau sendirian, atau supir Monsieur Roland masih ada di sini? Sarapanmu sudah siap. Ke ruang makan di dapur? Oh, Monsieur Roland ada di sini. Baik. Aku akan mengabarimu setelah beliau selesai.”
Ah, rupanya dia menyiapkan untuk Lucas dan supirnya.
“Duduklah, temani aku makan.” Titahnya, sambil memasukkan potongan bacon ke dalam mulutnya. “Kau tak mendengarku?” Ulangnya saat gadis itu masih diam saja disana.
“Excusez-moi, Monsieur (Maafkan aku, Tuan). Saya belum… membersihkan diri. Saya tidak ingin membuat anda merasa tidak nyaman.” Jawabnya tergagap.
“Aku tidak pernah mengulang perkataanku sampai tiga kali.” Katanya datar.
Akhirnya, dengan langkah pelan dan tidak yakin, dia mendekat. Dia menggumamkan maaf sekali lagi sebelum memundurkan kursi dan naik ke atasnya.
Dia mengangsurkan ponselnya, membuat gadis itu menatapnya bingung dengan mata besarnya yang jernih. Apa dia harus selalu tersenyum? Lengkungan bibirnya itu amat mengganggu. Dia seperti gadis bodoh dengan ekspresi seperti itu.
“ID social media mu.” katanya pendek.
“Pardon? (maaf?)”
“Apa kau memang ingin membuatku selalu mengulang kata - kataku?” Sekarang dia mulai kesal.
“Maaf, tuan. Saya tidak akan berani. Tapi… honetement, je sais pas c’est que vous ai dites (sejujurnya, saya tidak tau apa yang anda katakan barusan).” Katanya pelan.
“Tulis nomormu sehingga aku bisa menghubungimu.” Dia bukan orang yang sabar, dan gadis ini, menguji setiap detik kesabarannya. Dia heran kenapa dia mau saja mengalah?
“Nomor…” Astaga! Apakah gadis ini benar - benar punya otak yang berfungsi?! “Maksud anda nomor ponsel? Maaf, Tuan, saya tidak memiliki ponsel.”