Dia menatap gadis itu tanpa berkedip seolah - olah dia adalah jelmaan alien. Sebenarnya, tidak jauh beda. Gadis itu jelas terlihat amat aneh dengan mata besar berbinar dan senyum ganjil yang selalu terpatri di wajahnya itu.
“Tidak punya ponsel?” Ulangnya.
“Oui, Monsieur (Benar, Tuan).” Dia mengangguk mengiyakan.
Apa dia kebetulan titisan dari abad delapan belas?! Dia menolak percaya ada orang jaman sekarang yang tidak memiliki alat komunikasi tersebut. Setidaknya, sekuno apapun, setiap orang di dunia ini pasti memilikinya. Itu seperti barang wajib yang harus dimiliki saat ini. Dan dia bilang tak punya.
Bagaimana caranya berkomunikasi dengan orang - orang selama ini?
“Baiklah. Aku sudah selesai.”
Katanya singkat sebelum beranjak pergi dari sana.
***
Karena hari ini turun salju, dia membawa peralatan menulisnya ke perpustakaan. Dia bisa menulis di mana saja, asal jangan di kamar tidur. Sebagian besar penulis di muka bumi ini tidak akan setuju dengannya, tapi dia tidak bisa memikirkan apapun saat berada di kamar tidur.
Sebelumnya, dia menghabiskan paginya dengan menelpon dan menerima telepon dari beberapa orang. Louisa lagi, dari Pak Tua bre**sek itu, beberapa temannya seperti Phillip, dan dari salah satu wartawan yang sering sekali menerornya.
Tidak banyak yang tahu tentang identitasnya. Sebenarnya, orang ini juga sama, masih mengira - ngira dan berasumsi apakah benar dia adalah Lucifer. Dia tentu saja selalu mengabaikannya dan tidak pernah memberikan pernyataan ataupun konfimasi dalam bentuk apapun. Berkali - kali dia memblokir nomornya, tapi dia selalu mendapatkan cara untuk kembali menghubunginya.
Dari mana dia tau bahwa dia adalah wartawan? Tidak. Dia tidak tahu. Hanya tebakannya saja. Kalau bukan wartawan, mungkin dia adalah fans fanatiknya yang mengetahui nyaris semua seluk beluk tentang dirinya. Termasuk skandal yang saat ini sedang menimpanya. Tetap saja dia tidak boleh lengah. Fans atau bukan, dia tidak ingin identitasnya terkuak.
Saat dia sedang memindahkan perlengkapan menulisya dari kamar ke perpustakaan di lantai bawah, dia bertemu dengan Candice yang sedang membawa peralatan bersih - bersihnya di tangga terbawah. Dia membungkuk saat dia berjalan melewatinya.
Gadis itu terlalu sopan. Bukan hal yang buruk sebenarnya. Hanya saja, dia belum pernah bertemu dengan orang yang seperti ini. Orang - orang yang berlaku seperti ini, biasanya berakhir dengan menjilatnya. Tidak mungkin ada orang yang berlaku baik pada orang lain tanpa menginginkan balasan, dalam bentuk apapun. Manusia tetaplah makhluk yang serakah. Bersedia melakukan apapun untuk kepentingannya.
“Bonjour, Monsieur (selamat Siang, Tuan).” Sapanya. “Mau saya bawakan?” Dia menawarkan diri, tapi dengan cepat dia menolaknya.
“Tidak usah. Kembalikah melakukan pekerjaanmu. Jangan bermalas - masalan dengan melihat salju. Kastil ini tidak akan mendadak bersih dengan sendirinya jika kau melakukan itu!” Tegurnya keras. Dia masih menunggu sifat asli gadis ini muncul ke permukaan. Tidak mungkin dia benar - benar sebodoh dan senaif ini.
“Baik, Tuan.”
Dia semakin kesal saat Candice masih menjawabnya dengan sopan setelah dia mengatakan kalimat teguran tersebut.
Gadis aneh! Batinnya sembari pergi dari sana.
***
Aneh, tapi ini benar - benar terjadi. Dia menulis dengan produktif selama berada di sini. Biasanya dalam sehari, dia bisa menghasilkan dua bab bersih tulisan, tapi di sini, dia bisa menghasilkan lima hingga tujuh Bab. Hari ini pun begitu. Padahal dia tidak memulai langsung di pagi hari seperti jadwalnya biasanya.
Ada sesuatu di kastil ini yang membuat kata - kata untuk novelnya langsung berdatangan tanpa dia harus berpikir. Mungkin dia terlalu cepat menyimpulkan, tapi itulah yang dia rasakan dua hari ini.
Sama seperti kemarin, dia melewatkan makan siang. Dia memang tipe orang yang bisa melupakan segalanya saat sedang bekerja. Dan sama seperti kemarin juga, dia berhenti saat matahari terbenam. Walaupun hari ini tidak ada matahari, tapi sekitar jam - jam tersebut.
Alasan dia memilih perpustakaan untuk bekerja adalah karena di ruangan ini ada jendela besar mirip seperti di aula depan. Dia suka bekerja di tempat terang dan sunyi. Dengan begitu, dia memiliki orientasi waktu kapan harus berhenti, yaitu saat hari mulai gelap. Dia selesai mengirimkan draft naskah yang dia ketik hari ini kepada Louise melalui surel pribadinya.
Setelahnya, dia mengemasi peralatannya, mengembalikannya ke dalam kamar, dan turun untuk makan malam. Dia akan menuju dapur saat dilihatnya Candice sudah menyiapkan meja utama untuknya.
“Bonsoir, Monsieur (selamat malam, Tuan). Mohon tunggu sebentar lagi, makan malam anda akan segera siap.” Sapanya.
Dia menurut, dan duduk di kepala meja yang ada di ujung, tempat Candice menyiapkan makan malamnya. Gadis itu masih mondar mandir sekitar dua kali sebelum akhirnya berkata.
“Bon Appetit, Monsieur (selamat makan, Tuan). Saya undur diri…”
Theodore buru - buru memotong perkataannya.
“Kau menyiapkan makanan terpisah untuk Lucas, Charles dan dirimu sendiri?” Dia mengangguk. Charles adalah nama supirnya. Pria paruh baya yang agak pincang itu sebenarnya ditugaskan pria tua itu untuk menjadi supirnya, tapi dia berencana untuk menyuruhnya pulang besok pagi. Dia tidak begitu dibutuhkan di sini. Jika perlu, dia bisa menyetir mobil sendiri, tidak perlu sampai disediakan supir segala. “Siapkan makanan kalian di sini juga dan temani aku makan.” Titahnya mulai mengiris steaknya. Hmm, gadis itu pintar memasak. Tidak mentah dan tidak terlalu matang. Teksturnya lembut dan tidak keras saat dikunyah. Cocok dengan seleranya.
“Tapi Tuan….”
“Ingat kalau aku tidak suka di bantah dan tidak suka mengulang kalimatku?”
“D’accord, Monsieur (baik tuan), mohon tunggu sebentar.”
Dia buru - buru undur diri. Sebentar kemudian, Lucas dan Charles sudah datang menghampirinya di meja makan.
“Anda memanggil kami, Tuan?”
“Duduklah.”
“Pardon?”
Dia menghela nafasnya. Semua yang ada di sini benar - benar menguji kesabarannya. Dia mendadak merindukan Rose. Perempuan yang tak seperti perempuan itu lebih unggul dari pada mereka yang ada disini dalam hal memahami perintahnya. Dia tidak pernah membuatnya mengulang perkataannya dan selalu sigap.
Lucas dan Charles saling pandang sebentar sebelum akhirnya duduk di sebelah kanannya saat dia menghela nafas sambil memejamkan matanya. Kentara sekali sedang mengendalikan dirinya agar tidak meledak. Bagus, setidaknya, mereka bisa membaca ekspresinya dan tidak ragu mengambil tindakan untuk mengantisipasinya.
Sebentar kemudian Candice datang membawa makan malam mereka. Melihat menunya, dia menyuruhnya untuk berhenti.
“Kalian makan menu yang sama denganku. Lagi pula ini terlalu banyak untukku.” Dia mlembai pada hidangan yang
“Pardon, Monsieur? (Ya, Tuan?)”
Astaga!!!
***
Selesai makan, setelah Candice menghilang kembali di dapur, dia menahan Lucas dan Charles.
“Besok, pakai mobil yang dibawa Charles, dan dapatkan ponsel yang mudah digunakan untuk perempuan itu.”
“Untuk Disa?”
“Ada perempuan lain di sini?” Dia bertanya kesal.
“Pardon (Maaf). Baik, Tuan. Saya mengerti.”
“Kau boleh pergi.” Dia menunjuk Lucas dan melambaikan tangannya. Pria itu membungkuk dan segera undur diri. “Kau.” Tunjuknya pada pria yang jauh lebih tua darinya itu.
“Oui, Monsieur (Ya, Tuan).” Charles menunduk.
“Besok pulanglah. Kau tidak dibutuhkan di sini. Aku tidak sering keluar. Minta Lucas mengantarmu sekalian saat dia pergi. Mobilnya biarkan berada di sini. Lucas bisa menjagaku sekaligus menjadi supirku jika mau. Lagipula, aku bisa menyetir sendiri.” Itu adalah kalimat terpanjang yang dia ucapkan hari ini
“Baik. Tuan.”
“Katakan hal yang sama pada orang tua itu jika dia bertanya padamu.”
“Baik, Tuan.”