Lesti sudah membeli sebuah benda untuk dijadikan kado pernikahan Devian. Satu set peralatan makan yang cukup mewah. Sementara, aku sejak tadi hanya berputar-putar di mal ini tanpa membeli sesuatu apa pun.
Aku bingung harus memberikan kado apa untuk lelaki yang kucintai, yang menikahi wanita lain. Untuk datang ke pernikahan mereka saja rasanya hatiku sudah terlalu hancur. Apalagi harus berpura-pura bahagia dengan memberikan hadiah.
“Ay, lo mikirin apa, sih? Dari tadi gue liat cuma muter-muter sambil bengong! Buruan, gih! Udah sore, nih,” gerutu Lesti.
“Gue bingung mau ngasih kado apa buat si bos,” jawabku.
“Ah elah, segini banyaknya yang bisa lo pilih buat jadi kado, pake bingung segala.” Lesti membentangkan kedua tangannya untuk menunjukkan semua benda yang ada di dalam toko gift ini.
“Gue dateng tangan kosong aja, lah,” celetukku asal.
“Apa? Gile lo! Mending lo kasih lingerie aja noh buat si bos. Kali aja dipakai malam pertama sama bininya,” ujar Lesti yang sangat blak-blakan.
Sarannya itu tiba-tiba membuat hatiku yang terluka, kembali terasa nyeri. Malam pertama? Apakah Devian akan melakukan hal itu pertama kali dengan Bella?
Lalu, bagaimana denganku? Apakah aku juga bisa mendapatkan hal itu darinya?
“Ay!” tegur Lesti, membuatku terkejut dari lamunan.
“Lo kenapa, sih? Masih sakit?” Sahabatku ini mendadak tampak khawatir.
Aku menggeleng lemah.
“Ya udah. Jadi lo mau beli apa buat si bos?”
Aku berpikir sejenak. Meski membuatku sakit, tetapi sepertinya saran Lesti cukup menarik.
“Lingerie!”
“Apa? Lo mau ngasih lingerie ke si bos?”
Aku mengangguk. “Makasih saran lo,” ucapku tersenyum.
“Eh, gue cuma ngasal, Ay. Masa lo beneran mau ngasih itu, sih?”
Tak perlu menjawab pertanyaannya, segera kutarik tangan Lesti menuju ke tempat khusus pakaian suami-istri itu.
Lesti Cuma bengong melihatku memilah-milah lingerie mana yang akan kuberikan sebagai kado pernikahan direktur keuangan kami itu.
Setelah mengitari beberapa pajangan, akhirnya pilihanku jatuh pada satu set lingerie seksi berwarna merah, lengkap dengan stoking dan pernak-perniknya.
Aku tersenyum geli saat memegang pakaian dalam yang hanya berbentuk seutas tali itu.
“Gila lo, Ay! Gak habis pikir gue,” kata Lesti sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Salah sendiri lo ngasih ide itu ke gue!” balasku.
Sahabatku itu hanya mendesah mendengar jawabanku.
Setelah pakaian itu dibungkus rapi dengan kertas kado, aku menyerahkan uang kepada kasir.
“Nah, ini akan jadi kado yang lain daripada yang lain,” ucapku sambil mengangkat paper bag berisi benda pembelianku.
“Iya. Habis itu bonus lo dipotong sama si bos!”
“Bodo amat!”
Kami pun tertawa bersama, lalu berjalan keluar.
“Besok lo jemput gue lagi, ya. Gue masih males bawa mobil sendiri,” pintaku ke Lesti.
“Siap, Ndoro Nyai,” jawabnya, membuatku tertawa. “By the way, lo masih trauma bawa mobil sejak kecelakaan itu?” tanyanya kemudian.
“Enggak, sih. Gue Cuma pengen ngerasain aja punya sopir pribadi.”
“Asem lo!”
Kami kembali tertawa. Selain Devian, seseorang yang memberikan warna dan bisa membuatku tertawa adalah Lesti, sahabat yang kukenal sejak duduk di bangku kuliah.
Ia tahu semua kehidupan yang kujalani. Namun, ia masih tidak pernah tahu tentang hubunganku dengan Devian. Sebab, lelaki itu yang memintaku menyembunyikan hubungan kami dari siapa pun, termasuk sahabatku sendiri.
Demi cinta, aku menurut saja apa yang Devian pinta. Meski kini baru kusadari, mungkin aku termasuk wanita bodoh yang dibutakan oleh cinta.
Beruntungnya, Devian tak pernah memaksaku untuk memberikan harta paling berharga dalam diriku, yang kujaga sampai aku benar-benar menjadi istrinya. Namun, entah kapan hal itu terjadi. Bahkan, aku nyaris kehilangan mahkotaku semalam oleh si monster Ruri Narendra.
Mobil Lesti terus melaju menembus jalanan ibukota yang cukup sepi ketika akhir pekan.
“Ay, gue langsung pulang aja, ya. Capek banget keliling-keliling tadi,” ucap Lesti setelah menepikan mobilnya tepat di depan gedung apartemen.
Sejujurnya aku ingin Lesti mengantarku hingga ke apartemenku. Aku masih takut jika bertemu dengan Pak Rendra. Namun, aku tak mungkin menyusahkan Lesti lagi dengan hal itu.
“Iya, Les. Makasih, ya,” balasku.
Aku pun turun dari mobil dan bergegas masuk ke gedung berlantai sepuluh itu. Detak jantungku berdegup lebih cepat seiring langkahku yang juga nyaris berlari. Kuharap aku tidak bertemu atau berpapasan dengan Pak Rendra.
Selama perjalanan dari bawah menuju lift, hatiku terus merasa tidak tenang. Hingga keluar dari lift dan menuju apartemenku, aku semakin merasa tidak tenang. Apalagi ketika melihat pintu apartemen Pak Rendra.
Dengan cepat tanganku membuka pintu dan segera masuk. Langsung aku mengunci pintu kembali dan bersandar di baliknya. Barulah aku merasa tenang saat ini karena sudah masuk ke dalam rumah dan tidak bertemu dengan lelaki monster itu.
Napasku masih terengah-engah karena sejak dari depan gedung sudah berjalan dengan cepat diiringi rasa khawatir yang besar. Mau sampai kapan aku ketakutan seperti ini?
Apakah dia masih akan melakukan hal buruk padaku setelah aku berjanji padanya akan meninggalkan Devian? Kenapa aku harus melakukan itu demi orang yang baru saja kukenal?
Rasanya kehidupanku rumit sekali. Aku merasa sangat lelah. Lelah fisik dan hati. Kurebahkan tubuh di kasur dan menutup wajah dengan bantal.
Tuhan ... kuharap setelah membuka mata, kehidupanku berubah.
***
Sinar matahari menerobos masuk ke kamarku setelah tirai dibuka. Pagi ini tampak begitu cerah. Suara burung dan ayam berkokok masih menghiasi pagi yang indah ini.
Namun, suasana alam pagi ini tak sebanding dengan suasana hatiku yang dirundung pilu. Hari ini adalah hari di mana Devian telah resmi menjadi suami dari wanita lain. Sedangkan aku, hanyalah wanita yang hanya bisa bermimpi berada di posisi itu.
Sulit bagiku untuk menghadiri pernikahannya. Namun, aku tak ingin menimbulkan banyak tanya dari rekan-rekan di kantor.
Aku mengambil sebuah foto yang kusimpan di dalam laci. Di foto itu, aku dan Devian tersenyum lebar. Devian merangkul pundakku dengan mesra.
Sebuah foto yang diambil di Pulau Dewata, saat kami berlibur ke Bali dua tahun lalu. Devian mengajakku berlibur saat akhir tahun waktu itu dan memintaku memilih tempat wisata yang kuinginkan. Dia bahkan menawariku berlibur keluar negeri. Namun, aku hanya memilih pantai, dan Bali menjadi pilihan kala itu.
Aku tersenyum menatap foto itu. Namun, air mataku perlahan mengalir di kedua pipi. Hatiku benar-benar sakit hari ini.
Akankah kisah cintaku dengan Devian berakhir begitu saja? Tidak adakah harapan untukku dengannya?