Bel rumahku berbunyi saat aku baru saja selesai mandi. Tiba-tiba aku merasa ketakutan. Lagi-lagi, bayang-bayang perbuatan Pak Rendra dua malam lalu muncul setiap kali ada yang datang ke rumah.
Dengan hati-hati aku mengintip dari lubang kecil di pintu untuk melihat siapa yang datang. Aku tak ingin jika ternyata itu adalah manajer monster dan ia kembali menerobos masuk ke dalam.
Aku bisa bernapas lega setelah tahu kalau Lesti yang berdiri di depan pintu. Segera kubuka pintu dan menariknya ke dalam.
“Eh, main tarik aja lo, Ay! Kayak orang ketakutan gitu,” protes sahabatku itu setelah aku mengunci pintu.
“Gue takut orang gila yang sering muncul di sini lewat lagi,” jawabku asal.
“Orang gila? Kok bisa orang gila masuk ke sini? Bukannya ada sekuriti di bawah?”
Aku hanya mengedikkan kedua bahu untuk merespons pertanyaan-pertanyaan Lesti.
“Ada-ada aja lo, Ay!” gerutunya.
“Lo kenapa cepat banget jemput gue? Gue masih baru selesai mandi, nih.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Biasaa ... gue pengen elo yang make-up-in gue,” jawabnya sambil cengengesan.
Lesti memang kerap kali minta aku yang mendandaninya setiap kali kami akan mendatangi suatu acara. Katanya, aku pintar menggunakan make-up.
“Ya udah. Ayo ke kamar gue.”
Aku dan Lesti pun ke kamar dan mulai memoles kosmetik di wajah oval sahabatku itu.
“Eh, Ay, Pak Rendra tinggal di lantai berapa?” tanya Lesti tiba-tiba, membuatku tak sengaja menjatuhkan kuas.
“Gak tahu. Lo tanya aja sendiri,” jawabku sambil mengambil kembali kuas yang akan kugunakan untuk memoleskan blush-on di pelipis Lesti.
“Yaah, masa, sih, lo gak tau?”
“Kenapa gue harus tau?”
“Ya, seenggaknya lo pasti ketemu dia, kan? Terus ngobrol bentar.”
“Ngeliat tampangnya aja udah bikin gue pengen kabur!” kesalku.
Lesti tertawa mendengarnya.
“Segitu nyebelinnya manajer ganteng itu di mata lo, ya, Ay?”
Bukan menyebalkan lagi, Les. Tapi Pak Rendra itu sudah keterlaluan sekali padaku. Dia bahkan tega melecehkanku.
Ingin kuungkapkan semua itu pada Lesti, sahabat yang selalu setia di saat suka dan duka. Namun, aku masih tak bisa mengutarakannya. Aku takut semuanya akan semakin runyam.
“Kenapa bengong, Ay? Tampang lo kenapa sedih gitu?” Lesti menatapku penuh tanya.
“Gue cuma lagi mikir, di umur gue yang udah 28 tahun ini, kenapa gak ada satu pun cowok yang ngelamar gue?” jawabku dengan tampang memelas.
Lesti tiba-tiba berdiri dan memelukku dengan erat.
“Kita senasib, Ay ...!” ucapnya dengan tangis yang dibuat-buat.
Aku pikir dia memelukku karena iba padaku, ternyata karena nasibnya juga begitu. Aku tersenyum geli melihat tingkah sahabatku ini.
“Kurang apa coba kita ini? Cantik, berkarir pula. Tapi nasib cintaku selalu mengenaskan. Huuhuu ...,” rengeknya setelah melepas pelukannya.
Lesti yang seusia denganku, memang tidak pernah lama berpacaran dengan mantan-mantannya. Tidak pernah sampai dalam hitungan tahun.
Ada saja hal yang membuat mereka putus. Ada yang selingkuh di belakangnya, pergi tanpa kabar, hanya menganggap Lesti sebagai pelarian, hingga lelaki b******k yang mendekati Lesti hanya untuk mendekatiku.
Hal itu membuat hubungan persahabatanku dengan Lesti sempat merenggang. Namun, kami kembali bersahabat seperti dulu setelah menyadari kesalahan masing-masing.
“Semoga gue ketemu jodoh yang klik di pestanya Pak Devian!” ujarnya kemudian.
Aku hanya mengaminkan, lalu memintanya kembali duduk agar bisa melanjutkan proses make-up yang tertunda.
“Ngomong-ngomong, Ay, apa gak ada laki-laki yang menarik hati lo? Udah berapa tahun ini lo gak pernah cerita tentang cowok. Masa iya gak ada yang lo sukai?”
Bawelnya Lesti kembali lagi. Sahabatku ini memang ceriwis dan selalu ingin tahu tentang hubungan percintaanku. Selama ini, aku hanya menjawab ingin berfokus pada karier jika dia menanyakan hal yang sama.
“Jangan bilang lo gila kerja!” cecarnya tanpa menunggu jawabanku.
Aku hanya tersenyum, dan terus mengoles wajahnya dengan bedak.
“Elo ... masih normal, kan, Ay?” ujarnya penuh kehati-hatian.
Aku menghentikan gerakan tangan dan menatap kedua matanya.
“Eh, sorry, Ay. Gue gak maksud—“
Aku pun tertawa lepas melihat ekspresinya yang penuh dengan rasa bersalah.
“Tampang lo lucu banget kalau lagi ngerasa bersalah gitu,” ledekku diiringi tawa yang belum bisa berhenti.
“Ih! Lo nakutin gue aja, Ay! Gue kira lo marah banget sama gue sampai natap mata gue kayak gitu.”
“Iya! Gue emang marah sama lo!” balasku berpura-pura marah dengan melipat kedua tangan di d**a dan memalingkan wajah darinya. Tak lupa kubuat ekspresi cemberut untuk menguatkan aktingku.
“Sorry, Ay. Gue salah nanya kayak gitu. Gue minta maaf. Jangan marah lagi, donk. Entar siapa yang make-up-in gue?”
Tawaku pun kembali lepas mendengar ocehannya.
“Asem lo! Minta maaf cuma biar bisa gue make-up-in,” gerutuku.
Kami pun tertawa bersama dan melanjutkan aktivitas memoles wajah.
“Tapi beneran, Ay. Kenapa lo kayak selalu menghindar setiap kali gue tanya tentang cowok?” tanyanya. Kali ini dengan tampang serius.
Aku menghela napas.
“Ada laki-laki yang gue sukai, Les. Gue cintai. Bahkan, melebihi cinta gue ke diri gue sendiri,” tuturku lesu.
“Serius, Ay? Sejak kapan? Kenapa lo selama ini gak pernah cerita sama gue?” cecarnya dengan berderet pertanyaan.
“Udah enam tahun.”
“Apa?! Udah selama itu?”
Aku mengangguk.
“Gue gak pernah cerita karena dia gak mau hubungan kami diketahui orang lain.” Akhirnya aku ceritakan juga kisah cintaku pada sahabatku itu, meski tidak semuanya.
“Kenapa gitu?”
“Mungkin ... karena dia malu punya pasangan kayak gue.”
Luka di hatiku kembali terasa menganga. Sakit. Kedua mataku pun mulai terasa panas.
Lesti langsung memelukku dan mengusap-usap punggungku.
“Jangan ditahan, Ay. Nangis aja biar lo lega,” ucapnya.
Aku pun tak mampu lagi membendung air mata. Aku menangis sesenggukan di pundak Lesti, mengeluarkan semua yang membuat dadaku sesak selama ini.
Setelah beberapa saat menangis hingga membasahi baju bagian bahu sahabatku, aku pun melepas pelukannya dan mengusap air mata dengan tisu. Aku merasa sedikit lebih tenang sekarang. Selama ini, aku hanya menyimpannya sendiri dan menahan di d**a hingga sakit yang membuat hidupku terasa menyesakkan.
“Memangnya dia siapa, Ay? Sampai harus ngerasa malu pacaran sama lo?”
Aku tak bisa menjawab pertanyaan Lesti. Tak mungkin kuberitahu dia bahwa selama ini aku menjalin cinta dengan direktur keuangan di tempat kami bekerja.
“Ya udah. Gak apa-apa kalau lo masih belum bisa ngasih tau gue. Terus, sekarang lo masih cinta sama dia?”
Aku mengangguk.
“Jadi, hubungan kalian gimana sekarang?”
“Gak tau, Les. Dia akan menikah sama cewek yang dijodohkan orang tuanya. Tapi dia gak mau ngelepasin gue,” terangku.
“OMG, Ay ...! Egois banget cowok lo!”
Air mataku kembali mengalir. Bukan karena ucapan Lesti tentang Devian, tetapi sikap Devian yang memang selalu ingin menang sendiri dan membuat hubungan kami jadi tidak jelas juntrungannya.
“Ay, maaf kalau gue salah ngomong.” Lesti menggenggam tanganku dengan lembut. Lagi-lagi aki melihat ada rasa bersalah di matanya.
“Lo gak salah apa-apa, Les. Dia memang egois. Gue gak pernah dikenalkan kepada siapa pun, tapi dia gak mau ngelepasin gue,” tuturku diiringi isak tangis.
“Ya elo tinggalin aja dia, Ay! Lupain dia.”
“Gak semudah itu, Lesti. Lo tau gimana kehidupan gue sejak kecil. Dialah yang membuat gue merasa dicintai, dimanja. Selama enam tahun gue dapetin kenyamanan dan cinta dari dia. Sulit bagi gue juga ngelepasin dia gitu aja, Les.”
“Ya terus lo maunya gimana, Ay? Tadi lo bilang dia udah mau nikah. Masa lo mau ngehalangi pernikahannya atau jadi orang ketiga dalam rumah tangga mereka?”
Kalimat terakhir Lesti membuatku sedikit tersinggung.
“Bukan gue yang harusnya dicap orang ketiga, Les. Tapi cewek itu!” jawabku dengan sedikit emosi.
Lesti langsung memelukku.
“Sorry, Ay. Gue tahu ini pasti berat banget buat lo.”
Aku melepaskan pelukannya dan mengusap air mata di pipi.
“Makasih lo udah ngertiin gue, Les.”
“Kita udah temenan lama, Ay. Gue harap lo bisa percaya sama gue dan berbagi apa yang jadi beban pikiran lo.”
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Makasih, Bestie. Gue jadi lebih tenang setelah cerita sama lo.”
“Plis, jangan sungkan-sungkan sama gue.”
Aku mengangguk lagi.
“Ya udah, jangan sedih lagi.”
“Iya. Ini make-up lo dah mau selesai.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Lesti langsung menoleh ke cermin dan melihat pantulan wajahnya di sana.
“Waah, memang jago lo ngerias, Ay. Bisa nih lo kerja sampingan jadi MUA,” ucapnya diiringi tawa.
“Bisa aja lo!” jawabku sambil menyelesaikan sisanya.
Selesai merias wajah Lesti, aku merias wajahku sendiri. Tak ingin terlihat menor, hanya riasan natural yang menutupi wajahku yang sembab dan tampak sedikit pucat.
Selesai dengan semua persiapan wanita, aku dan Lesti pun gegas keluar. Tak lupa kuambil kado yang kuletakkan di meja.
Sesampainya si gedung pernikahan Devian dan Bella, suasana sudah sangat ramai. Kakiku terasa gemetar saat keluar dari mobil hingga berjalan di depan pintu masuk.
Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan lututku lemas. Aku nyaris terjatuh. Namun, seseorang menahan tubuhku dari belakang.
Aku langsung menoleh untuk mengucapkan terima kasih. Begitu juga dengan Lesti yang berdiri di sampingku.
“Terima ka—“ Ucapannya sontak terhenti manakala melihat sosok yang membantuku agar tidak terjatuh di tempat ramai ini.