“Udah dong sayang marahnya. Aku jangan dicemberutin terus,” ujar Fadell lagi. Manja.
Della mendengus, lalu memberengut, mengikuti permainan Fadell. Della paham, Fadell berusaha melindunginya dari segala praduga Ari dan Haven berhubung raut wajah Della terlihat tak bersahabat sedari tadi.
Fadell justru terkekeh.
“Mau jalan ke lobi? Kayaknya kamu perlu udara segar. Sekalian aku mau lihat anak-anak, kok belum pada sampai juga.”
“Oke,” jawab Della.
“Ari, Hav, kami ke lobi dulu ya,” ujar Fadel, sopan.
“Menunggu seseorang?” tanya Haven.
“Sahabat-sahabat saya.”
“Ah, I see.”
“Bawa aja kopinya sayang,”
Della mengangguk, sementara Fadell melingkarkan tangan kirinya di pinggang Della, mengajaknya menjauhi pasangan yang juga membuat Fadell tak nyaman.
“Are you ok?” tanya Fadell begitu ia dan Della melewati pintu keluar ballroom.
“Makasih, Dell.”
Fadell justru tertawa renyah.
“Kok ketawa?”
“Kamu sadar ga sih, panggilan kita tuh sama.”
Della ikut tertawa.
“Iya. Tapi namaku with double L.”
“Oh ya?”
“Iya.”
“Me either!”
“Serius?”
“Iya!”
Keduanya kembali tertawa bersama.
“WOY!” pekik seorang pria yang berjalan mendekati keduanya.
Fadell melambaikan tangan, ramah. Pria itu kian mendekat, memeluk Fadell hangat begitu mereka berdua tak berjarak.
“Siapa?” bisik pria itu tepat di telinga Fadell. Fadell malah tertawa.
“Geli bego!” umpat Fadell.
“Della, sebentar ya?” Fadell beralih pada Della begitu pelukannya dengan pria tadi terurai. Della mengangguk, sementara Fadell membawa pemuda tadi sedikit menjauh dari Della.
Della diam saja, memperhatikan keduanya seraya menyesap kopi dinginnya.
Tak lama, keduanya kembali mendekat.
Pria tadi mengulurkan tangan pada Della. Della menyambut hangat.
“Achraf,” ujarnya memperkenalkan diri.
“Della.”
“Yeah, kita tadi ngomongin lo,” ujar Achraf dengan wajah konyolnya.
“And?”
“Sebenarnya gue lebih suka kalau kalian ga pura-pura. Gimana kalau diresmiin aja sekalian?”
‘PLAK!’ Fadell menampar lengan Achraf, sementara Achraf justru tertawa geli.
“Kasian Del, udah mau tiga tahun dia jomblo!” sambung Achraf lagi.
Della justru terkekeh.
“Well, sebenarnya gue yang salah. Harusnya gue ga ngomong seenaknya,” lirih Della.
“Maaf ya, Fadell.”
“It’s ok,” ujar Fadell tulus.
“Mana si Henry?” tanya Fadell pada Achraf, mengacu pada seorang sahabatnya yang lain yang belum tampak kehadirannya.
“Ya lo maklumlah. Bini gue baru aja lahiran, bininya si Henry baru ketauan hamil. Yang satu kecapekan ditempelin newborn, yang satu teler karena muntah melulu,” jawab Achraf.
“Itu dia kenapa ga satupun dari kita yang jadi groomsmen! Bisa stress si Ethan nungguin kita!”
Achraf malah terbahak mendengar perkataan Fadell.
“Nah tuh dia!” ujar Fadell, riang.
Achraf berbalik, melompat-lompat dengan gerakan jumping jack, bertingkah riang menunggu Henry yang berlari kecil mendekati mereka. Tepat ketika pria berperut tambun itu mendekat, Achraf langsung memeluknya.
“Buset! Pelan-pelan, bro! Nyesak ini gue!”
“Lama banget lho!”
“Lah dia tuh yang tumben banget udah datang, biasanya udah mau bubar baru nongol,” ujar Henry, mengacu pada Fadell.
Achraf menguraikan pelukannya. Fadell mendekat, bergantian memeluk Henry.
“Bini lo yang hamil kenapa lo yang makin gede sih Hen?”
“Iya nih, musti ke dokter gizi gue. Makan apa aja jadi gede begini.”
“Kan udah gue bilang dari dulu! Lo malah bilang nunggu semua celana lo ga muat! Suka gila sih lo kadang-kadang!”
Henry justru tertawa renyah.
“Siapa?” tanya Henry seraya mendelik pada Della.
“Pacarnya Fadell!” Achraf yang menjawab.
“Puji Tuhan! Terima kasih Tuhan kau sisakan perempuan untuk sahabatku ini!”
“s**t!” umpat Fadell.
Achraf tertawa geli.
“Tapi boongan!” bisik Achraf di telinga Henry.
Henry terdiam, menatap lekat Fadell, menuntut penjelasan.
“Ada mantannya si cantik ini di salam sana. Complicated!” ujar Achraf lagi.
“Kenapa ga diresmiin aja sekalian?”
“Nah tadi gue juga bilang gitu!”
Henry mengulurkan tangannya pada Della, Della menyambut hangat.
“Henry. Kami berempat, sama Ethan, sahabatan. Ketemu di program start-up company empat tahun yang lalu.”
“Ah, I see. Aku, Della.”
Henry melepaskan genggamannya.
“Fadell, Della. Cocok tuh!”
“Iya kan! Gue juga bilang gitu tadi!” sambung Achraf lagi.
“Ikut-ikutan aja lo!” ketus Henry.
“Dih, beneran!”
“Terus, kita mau ngobrol di sini aja?”
“Masuk dong! Buset! Bisa dipecat jadi sobat sama si Ethan!” canda Achraf seraya merangkul Henry, mengajak sahabatnya itu masuk ke dalam ballroom, diikuti Fadell dan Della di belakang mereka.
***
“Jadi, kalian berempat semuanya punya usaha di bidang kuliner?” tanya Della.
Fadell, Achraf dan Henry sama-sama mengangguk.
“Fadell punya gerai kopi, Achraf punya resto khas nusantara, Henry punya cake and pastry café, dan Ethan punya restoran seafood?”
Ketiganya kembali mengangguk.
“Keren banget sih kalian!”
“Dan kamu pemilik Wonderland,” ujar Fadell.
Della terkekeh.
“Tau dari mana?”
“Flo.”
Della mengangguk.
“Siapa Flo?” tanya Achraf.
“Staf administrasinya Wonderland,” jawab Fadell.
“I see.”
“Mr. Fahar?” sapa seorang pria yang usianya sudah melewati paruh baya.
Fadell menoleh, tersenyum, lalu mendekati pria itu, mengulurkan tangannya sopan. Pria itu menyambutnya, menggenggam tangan Fadell hangat.
“Fadell Farzan Fahar, namanya cowok lo!” bisik Henry di telinga Della. Della mengangguk.
Di samping pria itu, Haven berdiri menemani.
“Mr. Patch, it’s nice to see you. How do you do?”
“Great! Dan bagaimana kabar Anda?”
“Saya juga baik, Pak.”
“Selamat atas investasi yang perusahaanmu dapatkan. Kalian memang luar biasa. Saya sangat menyukai konsep heritage café yang Anda masukkan ke dalam company future plan. Apa itu café yang belum lama kamu launch bersama ketiga sahabatmu ini?”
“Yes, Sir. Benar sekali.”
“Saat kami meeting, tak satupun dari kami yang tak berdecak kagum dengan proposal Anda. Ide-ide Anda dan team benar-benar segar!”
“Terima kasih, Pak.”
“Kamu harus belajar banyak darinya, Hav. Dia benar-benar pria yang gigih. Ia membangun perusahaannya dari nol!” kali ini Teo, Ayah Haven, bicara padanya.
Haven diam saja. Tak mampu menjawab ucapan Teo.
“Dan kamu, cantik! Apa kamu tak ingin memelukku?”
Della tersenyum, lalu mengikis jarak, mendekat pada Teo, memeluk pria yang sudah ia anggap seperti Ayahnya sendiri.
“Maafkan dia, nak,” lirih Teo.
“Della ga apa-apa, Om.”
Teo mengurai pelukannya, masih mencengkram lembut lengan Della seraya menatap lekat.
“Kamu sudah punya pacar? Pria mana yang beruntung itu?”
Jantung Haven serasa diremas, sesak, pilu.
“Saya, Sir!” Fadell yang menjawab.
Semua yang berada di titik itu, terdiam. Menatap wajah Fadell yang tersenyum hangat, sementara wajah Haven berubah pias.
“Benar itu Della?” tanya Teo, mencoba menyakinkan dirinya jika ia tak salah dengar.
Della mengangguk tegas. Teo kehilangan kata-katanya.
“Della?” tegur seorang perempuan paruh baya yang berjalan mendekat, berdampingan dengan Ariana.
“Tante?”
Perempuan itu mendekat, langsung saja memeluk Della, hangat.
“Apa kabarmu sayang?”
“Della baik. Kabar Tante gimana?”
“Beginilah.”
“Tante sakit?”
“Ga tau, Del. Yang pasti, Tante kangen.”
Della terkekeh.
“Della juga, Tante.”
“Mana orang tuamu?”
“Mereka berhalangan, Tante. Papa kurang sehat.”
“Oh iya. Tante dengar tentang operasi Papamu. Bagaimana keadaannya?”
“Alhamdulillah, berangsur membaik.”
“Kamu sendiri, Nak?”
“Della sama Fadell, Tan.”
“Fadell?”
Della menoleh pada Fadell, memintanya mendekat.
“Pacarku,” ujar Della.
Ajeng terdiam. Rasa sedih di hatinya muncul begitu saja.
“Pacar?”
Della mengangguk, sementara Fadell mengulurkan tangannya pada Ajeng.
“Mr. Fahar?”
“Anda masih mengenali saya Mrs. Patch?”
“Pastinya, ga banyak anak muda seperti Anda.”
“Bagaimana kabar Anda?” tanya Fadell tanpa melepaskan genggamannya.
“Lumayan.”
Fadell bisa merasakan, ada sesuatu yang membuat atmosfer di sekitarnya berubah menjadi kelabu. Sepertinya rumitnya hubungan Della dan Haven tak sekedar dua sejoli yang memutuskan berpisah karena ketidakcocokan.
“Baiklah, kami belum mengucapkan selamat pada kedua mempelai,” ujar Teo, memecah kecanggungan.
Fadell dan Della mengangguk bersamaan.
“Della, nanti Tante kirim dm ya? Kita masih bisa ketemuan sebelum Tante kembali ke Melbourbe kan?”
“Oh, tentu saja bisa Tante.”
***
Haven berdiam diri di lorong toilet, berharap jika dirinya masih memiliki sedikit keberuntungan agar bisa bicara dengan Della malam ini. Ia hafal betul jika Della pasti menyisakan waktu untuk membersihkan diri di toilet sebelum meninggalkan suatu tempat.
Sudah lebih dari setengah jam Haven berdiam diri di sana, hingga kedua matanya menangkap sosok perempuan yang begitu ia rindukan.
“Hav?”
“Della.”
“Kamu ngapain?”
“Lelah aja. Kamu mau ke toilet?”
Della mengangguk, lalu melangkahkan kakinya ke bilik wanita.
Sekitar lima menit kemudian, Della kembali ke lorong. Langkahnya terhenti saat menatap punggung Haven yang masih berdiri di sana.
“Hav?”
Haven berbalik, berdiri berhadapan dengan Della.
“Della, I need to talk with you.”
“Soal apa?”
“Kita cari tempat?”
“Ga bisa Hav, Fadell nunggu aku.”
Haven mendengus.
“Kita duduk di sana? Sebentar aja, Del.”
Kini Della yang mendengus.
“Oke. Sebentar saja!”
“Oke!”
Haven berjalan lebih dulu, membawa Della ke selasar yang berada di sisi kiri toilet. Selasar itu berbatasan langsung dengan dinding kaca yang menampilkan keindahan kota Jakarta di malam hari.
“Della....”
“Apa?”
“Kamu bohong kan?”
“Soal?”
“Fadell?”
“Kenapa dengan Fadell?”
“Dia bukan pacar kamu kan?”
Della terkekeh, sinis.
“Dia duda, Del!”
“Terus kenapa?”
“Kamu tau?”
“Iya aku tau!”
“Dia bahkan sudah punya anak!”
Della mendengus lagi. Senyuman sinis masih terukir di wajahnya.
“Aku ga masalah dengan itu,” ujarnya kemudian.
“Oh ayolah, Della! Pakai akal sehatmu!”
“Apa kamu bilang? Kamu menceramahi aku tentang akal sehat? Apa kamu lupa berkaca Tuan Muda Patch?”
“Della!”
“Berhenti ikut campur urusanku! Kamu bukan siapa-siapaku lagi!”
“DELLA!”
“HEY, DUDE! WHAT’S YOUR PROBLEM?”