BAB 3: SANG DUDA

1978 Kata
Jakarta, dua tahun kemudian. “Jo, serius sih! Kapan lo flight? Gue udah ngosongin posisi psikolog tiga bulan ini! Gila ya lo tuh ngeselin banget tau ga!” omel Della pada Jondy di ujung telpon sana. “Udah, Del. Lusa gue berangkat! Santai sih!” “Santai? What the hell! Pasien gue banyak di sini! Enak aja lo bilang santai.” “Pacaran sana! Make love biar ga ngomel melulu lo!” balas Jondy lagi. “s**t!” Jondy malah tertawa mendengar umpatan Della. “Ya udah ya, gue masih ada pasien nih. Terakhir sebelum gue berangkat lusa,” ujar Jondy masih dengan kekehannya. “Hmm.” “See you, Miss bawel!” ledek Jondy. “See you, Miss jutek!” kekeh Della. Della menutup panggilannya, tersenyum simpul membayangkan lusa ia tak akan sendiri lagi mengelola usahanya; sebuah tempat terapi untuk anak-anak berkebutuhan khusus, yang Della rintis sejak sekembalinya ia dari Melbourne dua tahun yang lalu. “Miss Della?” panggil Flo, admin Wonderland, nama tempat usaha yang Della dirikan. “Masuk.” Flo membuka pintu di hadapannya, menyelipkan kepala di antara daun pintu dan bingkainya. “Kimi sudah datang Miss,” “Oh, oke!” Della beranjak dari tempatnya duduk, melangkah keluar menemui pasiennya siang itu. Gadis kecil itu mengenakan gaun hijau kebiruan selutut berlengan panjang. Rambut ikal panjangnya diikat sebagian dan dipermanis dengan jepitan pita besar yang berwarna sama dengan gaunnya. Kaki mungilnya tertutupi kaos kaki yang juga menyembunyikan seluruh betis. Sementara sang Ayah yang menemani bersimpuh di sampingnya, mengamati puteri mungilnya yang tengah sibuk bermain kuda-kudaan kayu. ‘Ya ampun lucu banget!’ Della turut bersimpuh, di hadapan Kimi. “Hai Kimi,” sapa Della hangat. Kimi justru menghambur ke pelukan sang Ayah, menenggelamkan wajah mungilnya di d**a pria yang tak jauh berbeda umur dengan Della. Kimi tersenyum, malu-malu. Della terus melakukan kontak mata dengan Kimi, mensejajarkan manik mata mereka, lalu tersenyum hangat seraya mengulurkan tangannya. Sementara Ayah Kimi memperhatikan interaksi keduanya. “Miss Della punya banyak mainan lho... yuk kita main?” ajak Della. Kimi menatap Ayahnya, seolah bertanya bolehkah ia bermain? Della mengangguk pada gadis kecil itu, mengajaknya kembali. Sepertinya Kimi tertarik dengan ajakan Della, tetapi bukannya menyambut uluran tangan Della, Kimi justru menarik-narik sang Ayah, meminta pria itu bangkit dari posisi bersimpuh, mencari mainan yang dimaksud oleh Della. “Mari, Ayah,” ujar Della lembut setelah berdiri tegak dari posisi sebelumnya. Pria itu tersenyum, mengangguk, mengikuti langkah kaki Della. Tiba di lantai dua, Della membuka pintu geser di hadapan mereka, dan Kimi langsung berlari riang memasuki ruangan di hadapannya. Ruangan yang cukup besar yang ternyata adalah sebuah playground, lengkap dengan banyak permainan. “Ini ruang terapi Sensori Integrasi, Ayah,” ujar Della. “Kita bicara di sini sambil saya bermain dengan Kimi, boleh?” “Iya Miss, boleh.” Ayah Kimi duduk di tengah medan permainan itu, memperhatikan permainan yang dipimpin oleh Della. Puteri kecilnya terlihat sangat bahagia. Permainan dimulai dengan melewati halang rintang sederhana yang sudah didesain sedemikian rupa untuk merangsang motorik kasar anak-anak yang melakukan terapi di sana. Lalu berlanjut dengan permainan dengan instruksi sederhana. Di sesi akhir assessment, Della melakukan role play dan pretend play dengan Kimi. Rangkaian permainan sebagai media uji memakan waktu sekitar 30 menit. Usai menyelesaikan permainan, Della melangkah mendekat pada Ayah Kimi, duduk berhadapan dengan pria itu, dipisahkan sebuah meja lipat. “Kita belum kenalan ya Ayah?” ujar Della ramah. Ayah Kimi mengulurkan tangannya lebih dulu. Della tersenyum hangat seraya menyambut genggamannya. “Fadell,” ujar Ayah Kimi. “Saya Della, psikolog di sini.” “Ya, saya cukup sering mendengar tentang Miss Della.” “Dari Dokternya Kimi?” “Salah satunya dari beliau Miss. Tapi ada anak rekan kerja juga yang terapi di sini.” “Oh, siapa Ayah?” “Nama anaknya Zahra.” “I see. Ya, Zahra perkembangannya bagus sekali.” “Iya, Miss.” “Oke, bisa Ayah ceritakan bagaimana Kimi di rumah?” tanya Della. “Ga banyak bicara, Miss. Jika menginginkan sesuatu selalu menggunakan gestur tubuh, tidak mau bicara. Kalau saya, Ibu saya atau yang membantu mengasuh tak paham, Kimi malah menangis.” “Kalau dipanggil selalu merespon, menoleh?” “Iya, selalu merespon.” “Terbiasa bermain gadget?” “Kalau dibilang terbiasa sih ngga ya Miss. Ibu saya kebetulan ga begitu suka menonton dan main gadget, jadi praktis sehari-harinya memang bermain atau jalan-jalan sama Kimi.” “I see.” “Bahasa yang digunakan di rumah apa Ayah?” “Sama saya bahasa Inggris, Miss. Tapi pengasuhnya pakai bahasa Indonesia. Harusnya ga boleh bicara dalam bahasa Inggris ya Miss?” “Oh, bukan itu maksud saya. Boleh kok Ayah, tetapi untuk anak-anak seperti Kimi lebih baik diperkenalkan dengan satu bahasa dulu.” “Oh begitu. Oke Miss.” “Baik, Ayah. Saya jelaskan sedikit apa yang dapat saya simpulkan dari permainan saya dan Kimi tadi. “Selama bermain, Kimi selalu menoleh setiap kali saya memanggilnya. Kontak matanya saat kami bicara dengannya pun bagus. “Untuk instruksi dengan satu tahap seperti naik, turun, lari, Kimi sudah cukup paham. Tetapi begitu masuk ke instruksi bertahap sederhana Kimi mulai bingung. Seperti tadi saya minta lingkaran kuning, Kimi hanya mengambil apapun yang berwarna kuning, padahal jika diberi single instruction terpisah Kimi cukup paham. “Membedakan rasa, bau, ukuran juga Kimi belum paham. Dan vocabnya juga masih kurang ya Ayah?” “Iya, Miss,” lirih Fadell. “Ayah bawa diagnosa dari Dokter Ayas?” “Oh iya, maaf saya lupa.” Fadell merogoh sling bag-nya, mengambil hasil diagnosa tumbuh kembang Kimi. “Ini, Miss. Diagnosa awalnya delay speech.” “Memang ada kecenderungan ke sana. Tapi ada beberapa perkembangan yang masih perlu kita kejar juga Ayah.” “Perkembangan lainnya ada yang terlambat juga Miss?” Della mengangguk. “Apa puteri saya....” “Sejauh pengamatan saya hanya delay. Jika Ayah menanyakan apakah Kimi ada spektrum? Saya rasa tidak ada.” “Oh.” Jeda, Fadell menahan getir yang dirasanya lebih dulu. “Apa perkembangannya bisa normal Miss?” tanya Fadell lagi. Della tersenyum hangat. “Bisa. yakin bisa, Ayah. Yang spektrumpun banyak yang sembuh karena terapi sejak dini. Di masa anak-anak otak kiri, tengah dan kanannya masih terus berkembang. Otak tengahnya akan berkembang hingga umur lima tahun. Jadi, jika kita memaksimalkan potensi ini, inshaaAllah Kimi bisa mengejar keterlambatannya.” Hati Fadell serasa diremas. Pilu. “Lalu bagaimana Miss?” “Untuk saat ini saya menyarankan untuk memberikan Kimi tiga terapi. Terapi wicara satu sesi per minggu, sensori integrasi dua sesi per minggu, dan untuk mengasah fokusnya dengan terapi okupasi satu kali per minggu.” “Harus sebanyak itu ya Miss?” “Ayah ada kendala?” “Saya kerja Miss. Kalau sebanyak itu, khawatir Ibu saya terlalu letih mengantar Kimi.” “Mamanya Kimi?” “Sudah ga ada saat melahirkan Kimi.” Kedua manik mata Della membelalak. Respon yang selalu Fadell terima kala memberitahukan keadaannya pada orang-orang yang belum lama ia kenal. Bahkan Fadell sudah sangat terbiasa dengan respon tersebut dan pertanyaan lanjutan bertema ‘kenapa?’ dan ‘kapan?’ yang biasanya membuntuti. “Maaf, Ayah,” lirih Della. “Ga apa-apa, Miss.” “Atau begini, jika Ayah berkenan mengikutkan Kimi terapi seperti yang saya usulkan, bagaimana jika untuk satu kali terapi SI dan OT kita lakukan di rumah, dua sesi lainnya kita coba cari jadwal yang bisa nyambung, jadi cukup datang sekali seminggu ke sini.” “Ah iya, jika bisa seperti itu, boleh Miss.” *** Fadell menyapukan pandangannya ke setiap sisi ballroom, hanya sekedar memperhatikan para tamu yang datang ke pesta pernikahan putera seorang pebisnis handal di kota ini. Terlihat jelas jika pesta ini tak hanya untuk bersenang-senang atau sebagai ungkapan turut berbahagia dengan bersatunya dua insan yang kini berdiri di pelaminan. Pesta ini juga merupakan ajang memperbanyak relasi, bahkan presentasi proyek bisnis dadakan baik itu terang-terangan ataupun terselubung. Fadell menyesap kembali iced lemon soda yang digenggamnya, lalu menyuap strawberry, chocolate and marshmallow satay seraya menyapukan pandangannya kembali. Kunyahan Fadell seketika terhenti kala menatap seorang perempuan yang baru saja masuk ke ballroom itu. Perempuan itu menggunakan backless Greek goddesses' off-white long evening dress dengan aplikasi bunga-bunga kecil yang menghiasi d**a kanan atas hingga ke tengah punggungnya. Rambut ikal sebahunya berhiaskan Greek headpiece goddesses, simple namun mampu membuat perempuan itu terlihat begitu anggun dan elegan. Fadell tak mampu memalingkan tatapannya, entah karena kecantikan perempuan itu yang menghipnotis, atau karena ia mengenalinya? Fadell terus saja mengunci pandang, memperhatikan gerak gemulai saat sang wanita berjalan, menaiki tangga pelaminan, memberi selamat pada kedua mempelai, hingga kemudian turun kembali dari singgasana raja dan ratu. Ia menatap lurus, berjalan anggun, hingga saat sosoknya melewati Fadell, Fadell tertawa pelan. “Miss Della!” tegur Fadell. Della berhenti melangkah. Menoleh, lalu membalik tubuhnya agar bersitatap dengan Fadell. Della, tersenyum hangat, yang entah mengapa senyuman itu membuat jantung Fadell berdetak lebih cepat. “Ayah Kimi?” “Fadell. Just Fadell, please. Lagipula Kimi ga ikut.” Della pun mengikis jarak. Bergabung di meja yang sama dengan Fadell. “Miss Della sama siapa?” tanya Fadell lagi. “Panggil aku Della aja. Aku sendiri. Gantiin Papa.” “Oh?” “Orang tua mempelai perempuan kebetulan relasi bisnisnya Papa.” “I see.” “Kalau Fadell?” “Mempelai cowok sahabat saya.” “Oh ya?’ “Iya.” “Terus kenapa sendirian di sini?” “Belum datang aja teman-teman yang lain. Saya datang kecepatan!” “Takut makanannya habis ya?” Fadell tertawa renyah mendengar candaan Della. “Saya ambil minuman dulu ya?” ujar Della kemudian. “Saya aja yang ambilin. Saya kepingin iced americano, jarang-jarang kan ada di acara begini. Della mau apa?” “Iced americano juga deh.” “Oke.” Fadell beranjak, melangkah ke salah satu stand yang khusus menyediakan aneka beverage pilihan termasuk minuman bersoda dan aneka kopi dingin. Seraya mengantri, ia menolehkan kembali pandangannya, menatap Della yang baru saja kembali dari mengambil seporsi strawberry shortcake dan fruit dip. Della tersenyum padanya, menaikkan sedikit kedua piring dessert yang ia bawa, menawarkan pada Fadell tanpa kata. Fadell balas tersenyum dan mengangguk. Baru saja Fadell berbalik, hendak kembali ke mejanya setelah mendapatkan dua gelas minuman, pemandangan yang terlihat getir menyapanya. Entah siapa pasangan yang berdiri di hadapan Della, yang pasti Fadell tau keduanya membuat Della merasa tak nyaman. Fadell bersegera, melangkah cepat mendekati Della. “Della,” tegur Fadell. Della dan pasangan itu menoleh padanya. Della memaksakan senyumnya, sementara pasangan yang tak Fadell kenal mengerutkan keningnya. “Panjang ya antriannya?” tanya Della. “Lumayan,” jawab Fadell. “Aku ngambil strawberry shortcake dan strawberry chocolate dip.” “All about strawberry.” “Iya, kesukaan kamu.” ‘Kok dia tau?’ “Ehem!” Perempuan yang berdiri tepat di depan Della berdehem, memecah kebingungan Fadell. “Siapa Kak?” Fadell memasang senyum termanisnya pada Della, sementara Della mengalami pergolakan batin. Haruskah ia memanfaatkan keadaan ini? Fadell mengulurkan tangan lebih dulu, perempuan itu menyambutnya hangat. “Ariana. Panggil saja Ari. Sepupunya Kak Della.” “I see. Saya Fadell.” “Siapanya Kak Della?” “Pacar gue,” potong Della cepat. Fadell terdiam kala mendengar pernyataan Della. Sementara Ari yang masih menggenggam tangan Fadell menaikkan alis kirinya, menunggu Fadell mengkonfirmasi pernyataan Della barusan. Fadell sadar, ada yang tidak beres di antara keduanya. “Maaf, sepertinya Della belum sempat cerita tentang Anda,” ujar Fadell seraya melepaskan genggaman tangannya dan Ari. Della membeku. ‘Ya ga mungkinlah dia mau ngakuin sebagai pacar pura-pura lo, Del!’ Fadell kembali mengulurkan tangannya pada pria di samping Ari. Pria itu menyambutnya. “Fadell.” “Haven.” “Pacar aku!” ujar Ari, sumringah. Fadell hanya tersenyum. Sementara raut wajah Della seperti menunggu eksekusi hukuman mati, dan Fadell sangat menyadari itu. “Ga diminum kopinya sayang? Sampai pegal lho aku antrinya!” ujar Fadell lembut setelah menguraikan genggamannya dengan Haven.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN