Makan Malam Yang Kacau

1030 Kata
Bingung. Mau hadir atau nggak di acara undangan makan malam Subandi dengan Ratna. "Hira, pasti bakal diundang juga di acara itu," pikirku dalam hati. Seumur-umur, baru kali ini aku menghadiri acara makan malam. Kuakui, aku memang kurang pergaulan. Untuk hadir di acara-acara sosialita seperti itu, memang benar-benar aku hindari. Maklum, aku selalu merasa canggung berada di keramaian banyak orang. Mau hadir juga bingung, karena tak punya baju yang layak untuk acara-acara makan malam. Acara makan malam itu, bukankah untuk orang-orang berkelas. Ah! Sudahlah. Aku nggak usah datang! "Dreeettt...dreeettt.....dretttt" Ponselku bergetar. Ada pesan masuk w******p dari Subandi. "Mas Bro. Jangan lupa ya. Malam ini, jam sembilan belas ya" Oalah. Niatku nggak hadir. Eh. Subandi chat ke aku. Gimana ini. Lama, aku berpikir. Kualihkan aktifitasku melukis. Sepintas aku membayangkan seraut wajah Hira. Tapi, sampai detik ini, aku belum ingin mengenal dia lebih jauh. Karena, aku masih trauma dengan masa laluku bersama Sabrina. *** Di ruang makan rumah aku, aku teringat Sabrina. Di sana, aku pernah mengajaknya makan malam. Janji tak akan meninggalkan, satu sama lainnya. Bahkan, janji itu disaksikan Mama. Ya itu janji terkonyol yang pernah diucapkan dua anak manusia yang berlainan jenis. Dia jenis setan. Aku jenis malaikat. Hahahaha! Betapa tidak, karena dia yang menghianati aku. Di sini, aku korban. Tersakiti tanpa jeda. Sungguh aku bodoh waktu itu, karena percaya begitu saja, akan janji manisnya. Ah! Perempuan itu, sama saja. Mahkluk penggoda yang juga suka menyakiti. Tapi, sudahlah. Dasar aku yang bego. Di ruang makan itu, mama juga pernah menaruh harap pada Sabrina, kelak ia bakal jadi menantu kebanggaannya. Sejak itu, Mama selalu berbaik hati sama Sabrina. Dianggapnya Sabrina sudah jadi menantunya. Kemana-mana, Mama selalu minta antar Sabrina. Masak-masak enak, pasti yang diingatnya Sabrina. Lebaran, buat kue, sampai Mama mau pingsan karena kelelahan, kuenya kalau sudah jadi, diantar ke rumah Sabrina. Jahanam! Ya. Dia perempuan j*****m yang sudah memporak-porandakan impian-impian indah Mama dan aku. Kenapa sampai sekarang tak kudengar kabarmu, mati Sabrina! Karena, dengan seperti itu, aku bisa bebas melanjutkan hidupku, dengan suka cita. Sekarang, kamu membelenggu perasaanku. Sungguh Sabrina, aku ingin mendengar kabar kamu mati. *** Suara ketukan pintu ruang tamu, membuyarkan lamunanku. *Dog dog dog dog dog!* Aku bergegas menuju ruang tamu. Kulihat dari tirai tipis ruang tamu, yang datang Subandi. Aku terkekeh sendiri menyaksikan dia datang. Kubuka pintu ruang tamu, sambil pasang wajah orang ngantuk. "Maaf ya aku nggak bisa hadir. Karena ngantuk berat tadi. Sekarang jam berapa ya," kataku pura-pura linglung. "Baru jam 19 Mas Bro. Makanya aku tadi izin sama Ratna, untuk jemput Mas Bro," kata Subandi. "Tanpa Mas Bro, Ratna nggak mau mulai acara makan malamnya," imbuh Subandi. "Loh. Kok bisa sih. Jangan ngelucu kamu," celetukku, sembari tertawa lepas. "Si Mas Bro ini nggak percaya lho sama orang hidup," katanya sambil garuk-garuk kepala. Itu, ciri khas Subandi, kalau ngobrol sama aku. Pasti ada adegan garuk-garuk kepala. Padahal, aku nggak pernah tahu dia itu garuk-garuk karena ketombean atau ada kutunya. Hahahahaha! "Bro. Aku mau tanya nih. Kenapa setiap ngomong sama aku, pasti ada adegan garuk-garuk kepalanya," tanyaku. Eh baru selesai ngomong, dia garuk-garuk kepalanya lagi. "Hahahahahahah!" Subandi tertawa ngakak. "Mas Bro, plisssss dong. Ikut sama aku malam ini. Biar aku nggak diamuk sama Ratna. Bisa hancur dunia persilatan kalau Mas Bro nggak membantuku malam ini," pinta Subandi memelas. Terpaksa aku ikut. Minta izin mandi sebentar. Karena dari pagi, sengaja nggak mau mandi. Soalnya lagi malas. "Tunggu ya lima menit, aku mandi bebek," kataku sembari langsung ngeloyor ke kamar mandi. "Oke Pak Bos," sahut Subandi. *** Aku melangkah ke arah meja dimana Ratna, istri Subandi menunggu kami berdua. Tapi, aku, tak mau melanjutkan acara makan malam itu. Aku langsung kabur, meski Subandi meneriaki aku, untuk meminta penjelasan. "Mas Bro tunggu," kata Subandi terlihat seperti orang bingung. Ah! Perempuan sama saja. b******k! Lebih b******k dari seorang b******n. Dalam hitungan detik, aku melesat bareng motor tigerku, meninggalkan restauran, tempat Subandi dan Ratna mengundang aku makan malam. Sepanjang perjalanan pulang. Aku mengutuk diri sendiri. Kenapa aku mengulang kebodohan aku! Jangan pernah percaya sama perempuan. Mereka b******k! Ponselku bergetar. Pasti Subandi ingin membujukku. Lagian, kenapa sih, ngundang aku, Hira dan cowok itu. Itu cowok sialan Hira, pasti! Subandi ini punya perasaan nggak sih, mengundangku, mengundang Hira dan lelakinya. Memang, aku dan Hira, bukan sepasang kekasih. Tapi, bukankah Subandi berusaha menyatukan aku dengan Hira. Lalu, kenapa harus ada laki-laki diantara aku dan Hira. Ah! Ini cerita konyol makan malam yang pernah kuhadiri. Aku langsung memblokir nomor ponsel dan nomor w******p Subandi. Sekali lagi, aku mau lagi terlibat dalam sandiwara yang disetting Subandi. Nggak! Aku nggak boleh jadi laki-laki bodoh seperti kemarin! Cukup Sabrina yang membuat aku jadi laki-laki bodoh. Aku tadi kan memang nggak niat datang. Kenapa aku jadi bodoh, dijemput langsung mau. Seharusnya aku tolak, tadi. Kukunci rapat rumahku. Semua lampu aku matikan. Kecuali lampu teras. Masuk kamar. Lalu kunyalakan lilin. Duduk bersila di atas karpet bulu, berbentuk bulat. Ya aku mencoba ingin merenungi diri. Duh Gusti...... Kenapa hidup aku berantakan seperti sekarang. Beri aku kebahagiaan, yang selama ini tak pernah aku rasakan. Sedikit saja ya Allah. Biarkan aku merasakannya. Kupejamkan mata ini. Tak kuasa, aku meneteskan air mata. Ya Allah, selemah inikah aku, hingga direndahkan perempuan? *** Kudengar suara ketukan pintu ruang tamu, diketuk berulang kali. Kupastikan itu, Subandi. Meski dari dalam kamar, aku hafal suaranya. Logat Jawanya, samar-samar aku dengar, dan kupastikan dia adalah Subandi. "Assallamualaikum Mas! Dog dog.....dog dog dog....! "Mas Budiman, ini aku Subandi. Mas. Tolong buka sebentar Mas!" teriaknya lagi, kudengar dari kamar. Aku sengaja nggak mau buka pintu untuk dia. Aku ingin memberi dia pelajaran. Tidak semua orang bisa dipermainkan seperti aku. Aku punya harga diri. "Mas.....Mas Bro.....tolong bukain pintunya, sebentar Mas Bro," pinta Subandi berulang. Jujur, aku sebenarnya nggak mau ini terjadi. Sebab, aku memang bersahabat dengan Subandi. Dia sahabat terbaik yang aku punya. Semoga, marahku ini, hanya sebentar. Aku nggak ingin bermusuhan dengan Subandi. Tapi, sekali lagi, aku hanya ingin memberi dia pelajaran, agar dia bisa menghargai persahabatan. "Mas, bukain pintunya sebentar," terdengar suara seorang perempuan berteriak dari luar sana. Suara siapa itu. Suara Ratna, bukan? Ah nggak. Aku hafal suara Ratna. Jadi, itu suara siapa. Hmm. Tapi sudahlah. Aku nggak peduli mau suara siapa itu. Aku nggak mau buka pintu, ketemu mereka.(***)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN