Chapter 40

1231 Kata
            Aku langsung berlari ke ruang tunggu. Berusaha mengabaikan sekitar yang ramai dengan orang yang tumbang tanpa alasan yang jelas. Bahkan tenaga kesehatan tumbang, pasti ada yang tidak beres! Aku tiba di ruang tunggu yang sudah ramai dengan kondisi pasien yang semakin parah. Suara batuk terdengar dari seluruh penjuru ruang tunggu. Bolak- balik perawat berseliweran dengan tandu darurat yang membawa pasien. Aku mencari nenek dan mama di tengah keributan.             Akhirnya mataku tertuju pada sebuah tas merah yang biasa mama bawa. Mama di sana, bersama dengan nenek. Aku segera menghampiri mama.             “Ma, mama! Ini kenapa ma? Kenapa tiba- tiba banyak orang pingsan?” tanyaku pada mama. Mama diam tidak menjawab. Mama bernapas tersengal- sengal. Badan mama berkeringat basah.             “Ma, mama kenapa? Nek! Nenek!” Aku mengguncang badan mama dan nenek. Nenek sudah jatuh pingsan di pangkuan mama. Aku mengguncangkan badan nenek pelan.             “Nek! Nenek! Ya ampun nenek!” Aku panik. Aku melihat sekeliling. Bahkan wanita yang tadi duduk di sebelah mama juga sama kondisinya dengan mama.             “Tolong sus! Tolong ini nenek dan mama saya!” pintaku sedikit terisak. Tak ada yang peduli. Perawat bolak- balik lewat membawa pasien. Aku menundukkan kepala dan menangis sesengukan. Kenapa jadi begini? Kenapa bisa mama dan nenek ..?  Aku menjambak rambutku. Aku menyumpahi diriku sendiri. Aku gagal menjaga mama dan nenek!             “Dik, dik, kenapa dik?” tanya seseorang yang memegang pundakku. Aku menoleh. Seorang wanita berpakaian perawat berparas cantik duduk jongkok di belakangku.             “Sus! Tolong saya sus! Mama … nenek …” Aku terisak. Air mataku banjir. Suster itu melirik mama yang napasnya sudah tersengal dan nenek yang pingsan di pangkuannya.             “Darurat di sini! Bawakan tandu!” perintah suster itu kepada suster lainnya. Tak lama, tandu darurat tiba bersamaan dengan 3 perawat lainnya. Mereka mengangkat nenek naik ke atas tandu dan membawa nenek ke ruang gawat darurat. Tandu yang lain datang menyusul dan mengangkat mama. Aku hendak menyusul ke ruang gawat darurat tapi keburu di cegat oleh seorang suster.             “Dik, jangan masuk dulu ya. Di dalam sedang ramai pasien lain,” pinta suster itu.             “Tapi saya mau lihat kondisi nenek dan mama saya sus …” ujarku.             “Tidak bisa masuk dik. Keadaan di dalam lagi ramai. Nanti jika sudah agak tenang kamu masuk ya. Kamu tunggu saja dulu di luar,” jawab suster tersebut.             “Tapi sus …”             “Nanti saya akan memanggil adik untuk memberitahu kondisi nenek dan mamamu. Siapa namamu?” tanya suster tersebut.             “Althea …” jawabku pelan.             “Baik, dik Althea. Nanti akan saya panggilkan kamu, oke? Kamu mau kan tunggu di luar?” pinta suster itu lembut. Aku mengangguk pelan.             “Terima kasih nak. Kamu boleh ke kantin jika lapar,” saran suster tersebut. Ia masuk kembali ke dalam unit gawat darurat. Aku duduk termangu di ruang tunggu. Aku menundukkan kepala dan menangis sejadi- jadinya. Sela tangis, aku teringat akan papa. Ah, papa harus tahu kondisi keluarganya. Aku mengeluarkan mr. communicator dan menelpon papa.             “Halo … papa …” sapaku sedikit sesengukan.             “Iya nak. Kamu kenapa nak? Kamu nangis?” tanya papa khawatir. Aku terdiam. Tangisku semakin pecah.             “Papa … mama … nenek … hiks …” jawabku terbata- bata. Aku menangis semakin menjadi.             “Kenapa kenapa? Kenapa mama dan nenek? Kenapa dengan mereka?” tanya papa khawatir.             “Mama … nenek … hiks … masuk UGD pa … hiks … tadi, mama … pingsan …” jawabku terbata di sela isak tangis. Lalu aku menangis semakin kencang. “Papa … kemari ya …” pintaku. Please pa kemari, aku takut sendiri pintaku dalam hati.             “Sayang maafin papa … maafin papa … papa … gak bisa ada di sana …” jawab papa.             “Pa … kenapa papa? Papa kenapa minta maaf? Kenapa papa gabisa kemari?”” tanyaku bertubi- tubi. Aku tahu papa ini gila kerja, tapi papa tidak segila kerja itu kan, sampai ibu dan istirnya tumbang di rumah sakit pun dia tidak ingin datang menjenguk?             “Maaf Teh tapi … papa gak bisa nak,” jawab papa.             “Ya kenapa gak bisa pa? Pa, ini mama dan nenek pa yang sakit …” tanyaku lagi. Tak ada jawaban, malah berganti dengan nada telpon terputus.             “Ini papa kenapa?! Papa tega! Papa b*****t!” Aku memaki papa. Aku hendak melempar mr. communicator, tapi nada dering yang nyaring menyadarkanku. Sebuah telpon masuk. Tanpa melihat siapa penelpon, aku langsung mengangkatnya.             “Halo …” sapaku menahan sesengukan.             “Halo Teh. Ini gue,” ujar seseorang di ujung sana. Ah, aku sudah tahu ini siapa. Aku mendengus.             “Kenapa? Ada perlu apa nelpon gue hah? Jangan ganggu gue deh,” tanyaku ketus. Ini anak nelpon suka gak tau situasi ya?             “Heh lu kenapa kok suaranya bindeng begitu? Kesumbat hidungnya?” tanya Kara di ujung sana. Ah, benar juga. Kayaknya ini karena aku menangis sejadi- jadinya tadi.             “Bukan urusan lu!” jawabku ketus.             “Lu dimana?” tanyanya. Hah? Tumben nih anak nanya begini.             “Lu gak perlu tahu! Lu cari tahu aja sendiri. Kan lu itu GPS! Tau dimana aja aku berada,” jawabku ketus.             “Dih. Rame bener itu agaknya di sana ya,” ujar Kara. Hening sesaat tidak ada suara. “Kamu lagi di rumah sakit ya?” tanya Kara. Aku terbelak kaget. Gimana dia bisa tahu?             “Gimana kamu bisa …” Belum juga aku selesai bertanya, Kara sudah lebih dulu menjawabnya.             “Di sana berisik, dan ada suara orang suruh ambil tandu dan kursi roda. Dimana lagi kalau bukan di rumah sakit” jawabnya penuh analisa. “Lu jangan di sana. Bahaya. Tunggu di sana biar gue jemput,” pinta Kara. Aku melongo.             “Hah? Maksudmu apa?” tanyaku bingung.             “Bahaya. Rumah sakit, lagi berbahaya,” jawab Kara singkat. “Aku akan jemput. Turuti saja kataku kalau kamu ingin selamat. Di sana tempat semuanya berasal, kau tahu,” jawab Kara. Hah? Apa maksud Kara?             “Apa sih maksudmu?” tanyaku bingung.             “Sudah, nanti juga kau tahu sendiri. Tunggu di sana. Aku segera menyusul,” ****             Benar saja. Kara benar- benar tiba di rumah sakit setengah jam kemudian. Hebat sekali, padahal aku tidak memberitahunya aku berada di rumah sakit mana. Kara memperhatikan sekitar untuk mencariku. Setelah menemukanku, Kara menghampiri.             “Untung gue gak salah rumah sakit,” ujar Kara.             “Lu ngapain di sini?” tanyaku bingung.             “Jemput elu lah. Lu ngapain di sini, bahaya tau,” jawab Kara. Ia menarik tanganku. “Ayo kita keluar dari sini!” ajaknya.             “Heh tunggu! Apa- apaan ini! Mana bisa aku keluar begitu aja!” Aku menepis tangan Kara. Kara mengernyitkan alisnya.             “Kamu nunggu siapa di sini?” tanyanya lagi.             “Nenek, sama mama. Mereka pingsan tadi di rumah sakit. Nenek udah gak enak badan dari awal,” jawabku. Kara geleng- geleng kepala dan menghela napas.             “Apa nenekmu minum vitamin yang sama dengan yang aku kirim paketnya ke rumahmu?” tanya Kara. Ah, mengingat paket terkutuk itu cukup menyebalkan. Aku mengangguk. Kara menghela napas semakin panjang.             “Ah, pantas saja. Mamamu juga meminumnya?” tanya Kara lagi.             “Sesekali,” jawabku. “Memang kenapa sih?” tanyaku penasaran.             “Sudahlah. Kamu hanya bisa mendoakan semoga mereka baik- baik saja. Ya, kuharap begitu,” jawab Kara. Kara kembali meraih tanganku. Ia menariknya hingga aku bangkit dari duduk.             “Ayo kita pergi dari sini. Ada seseorang yang harus kamu temui.” ****  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN