Chapter 39

1297 Kata
            Aku mengumpat dalam hati sambil terus menulis surat permohonan maaf yang baru. Sialan pak Arya! Kenapa sih harus dia ajukan langsung ke Kara? Kenapa tidak kirim saja ke pak Arya, toh bukannya sama saja? Pokoknya aku tidak akan minta maaf!             “Emoh banget gue minta maaf ke si Kara!” gerutuku. Aku menekan pulpen dengan keras hingga tintanya menembus ke belakang kertas. Argh, kesal!!             “Sialan!!” gerutuku. Aku menekan pulpen hingga robek. Aku menghela napas panjang dan melempar pelan pulpen ke atas meja. “Ah sudahlah!”             Aku melempar diriku ke atas kasur dan menarik selimut. Sudahlah, mendingan aku tidur saja. Malesin. Udah tidak sanggup lagi kerjainnya. Malah terbayang wajah si Kara nyebelin itu. ****             Badanku di guncang- guncangkan oleh seseorang. “Teh bangun Teh!” pinta orang tersebut. Masih setengah sadar, aku membuka mataku dan tampaklah mama sedang duduk di dekatku.             “Hah heh … kenapa ma?” tanyaku linglung.             “Nenek … nenek sakit Teh. Badannya panas,” jawab mama. Mendengar jawaban mama mataku langsung segar seketika.             “Hah? Nenek ma?” tanyaku tak percaya. Mama mengangguk.             “Badan nenek panas banget. Tiba- tiba aja begitu. Tadi sempat pingsan sebentar, terus demam. Udah mama kompres sih tapi agaknya gak ngaruh ke nenek. Jadi ini mama mau bawa nenek ke rumah sakit,” mama menjelaskan.             “Iya ma bawa ke rumah sakit aja sekarang!” ujarku mendukung keputusan.             “Kamu temenin mama ya. Mama gak bisa bopong nenek sendirian. Kamu cuci muka aja sana, pakai aja cardigan,” pinta mama. Aku mengangguk.             “Iya ma,” jawabku. Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan mencuci mukaku di kamar mandi, lalu sedikit menyisir rambut yang seperti singa dan mengikatnya, lalu mengenakan cardigan berwarna hitam.             “Sudah, ayo kita turun. Nenek udah tungguin di kamar. Kamu bantu bopong nenek masuk ke dalam mobil ya,” pinta mama. Aku mengangguk. Kami keluar kamar dan turun ke bawah. Sesampai di bawah aku langsung ke kamar tamu yang tak jauh dari kamar mama papa. Nenek tertidur di sana dengan wajahnya yang sangat merah. Aku memegang kening nenek. Panas sekali.             “Ya ampun nenek panas banget!” gumamku. “Nenek bisa berdiri? Kita ke rumah sakit sekarang ya nek,” tanyaku.             “Nak … Teh … jangan ….” Jawab nenek terbata- bata.             “Apanya yang jangan? Nenek udah panas banget gini! Udah deh sini nenek aku bantu jalan, kita ke rumah sakit sama mama,” ujarku. Pelan- pelan aku mengangkat badan nenek dari tidurnya dan membopong nenek hingga ke garasi. Mama membuka pintu mobil depan dan nenek duduk di sana. Mama memakaikan seatbelt untuk nenek dan segera masuk ke dalam mobil. Aku menyusul dengan duduk di bangku belakang.             “Map tunjukkan rumah sakit terdekat yang ada di sekitar sini,” pinta mama pada fitur map yang ada di mobil.  Tak lama, sudah tampak beberapa rumah sakit rekomendasi dari sebuah tab kecil di dashboard. Mama menekan salah satu lokasi rumah sakit dan menyalakan model auto pilot. Mobil pun melaju meninggalkan rumah. ****             Kami tiba di rumah sakit dan betapa kagetnya saat melihat rumah sakit sangat ramai. Banyak pasien dengan kursi roda lalu- lalang di sana. Pasien di ruang tunggu pun sudah mengantri cukup panjang. Mama segera mengambil kartu antrian sesuai dengan spesialis yang ada dan membawa nenek menunggu di kursi ruang tunggu.             “Duh rame banget ya rumah sakit ternyata,” gumam mama.             “Lagi musim sakit agaknya ma,” ujarku.             “Sepertinya begitu sih,” ujar mama.             Nenek di sebelahku hanya diam saja sambil meringkukkan badannya. Tampak nenek sangat menggigil, padahal badannya panas banget.             “Kalian kenapa gak pakai masker?” tanya seorang wanita yang duduk di sebelah kami.             “Ah iya, ya ampun maaf saya lupa. Saya buru- buru karena mertua saya sakit,” jawab mama. Wanita itu mangut- mangut.             “Memangnya harus pakai masker ya kak?” tanyaku penasaran.             “Ya, sebaiknya. Karena ini lagi musim sakit, dan katanya beberapa ada yang terjangkit penyakit misterius. Untuk antisipasi saja,” jawabnya. Aku mangut- mangut.             “Ibu mertua sakit apa bu?” tanya wanita itu lagi.             “Ini demam tinggi,” jawab mama. Mama menggoyang- goyangkan kakinya. Pasti mama sudah tidak sabar. Apalagi kondisi nenek sekarang yang semakin lemas saja. Nenek sedang bersandar di bahu mama dengan wajahnya yang semakin memerah dan napas beliau yang mulai terengah- engah. Aku memegang tangan nenek erat. Masih saja panas, tapi anehnya ada ruam- ruam merah di sana.             Mr. communicator-ku berbunyi. Aku segera bangkit dari duduk dan menjauh dari kerumunan. Ada sebuah telpon masuk. Tanpa melihat siapa nama si penelpon, aku langsung mengangkatnya.             “Ya, hallo ..” sapaku.             “Hallo. Tau gue kan?” tanya sebuah suara di ujung sana. Ah, sialan. Ternyata telpon dari seeorang yang kuharap tidak pernah ada dalam hidupku.             “Ada apa sih Kara?” tanyaku menahan kesal. Ini tempat umum, jangan sampai aku melampiaskan emosi dengan berteriak di sini. Malu nanti.             “Mana surat permintaan maaf buat aku? Pak Arya suruh kirim paling lambat siang ini kan?” tanya Kara. Aku melirik jam dinding di rumah sakit. Ah iya, ini sudah jam 1 siang ternyata.             “Masih aja lu nanya soal surat itu. Gatau, aku lagi di rumah sakit ini jangan kau tanya lagi soal itu surat,” jawabku ketus.             “Rumah sakit? Kamu udah di ujung ajal?” tanya Kara.             “Heh! Sembarangan! Aku bawa nenekku sakit! k*****t lu doain gue mati,” jawabku tak kalah ketus.             “Kirain. Nenek lu minum vitamin yang kemarin di kirim?” tanya Kara. Hah?             “Hah? Apa maksudnya? Lu kirim racun ya ke rumah gue?! Ya kagaklah di minum langsung di bakar kok! Hampir karena mirip ama vitamin yang nenek minum!” jawabku kesal. Apa sih maksud dia?             “Oh ya. Pantes. Menular,” gumam Kara di ujung sana. Aku mengernyitkan alis. Maksudnya ini apa sih?             “Hah? Maksud kamu apa menular?” tanyaku bingung.             “Gak, gak apa. Gak penting. Cuma bilang hati- hati aja. Aku udah yakin sih kalau bakal ada efeknya minum itu obat- obatan,” jawab Kara tidak menjelaskan sama sekali maksud dari perkataannya. “Ya udah deh, good luck. Semoga cepat membaik. Bye.”             “Eh tung …”             Belum juga aku selesai ngomong, telpon sudah di matikan. Aku menatap mr. communicator dan mengernyitkan alis. Maksudnya apa sih? Efek samping apa? Menular apanya? Baru saja aku hendak kembali ke ruang tunggu, mr. communicator kembali berdering. Aku langsung mengangkatnya tanpa melihat kontak si penelpon.             “Ya hallo? Siapa ya?” tanyaku langsung.             “Ini papa Teh,” jawab seseorang di ujung sana.             “Pa! Papa cepat kemari! Kami lagi di rumah sakit ini, nenek lagi demam tinggi!” pintaku.             “Apa? Mamak demam tinggi?!” tanya papa terdengar panik.             “Iya pa, baru aja. Ini lagi di rumah sakit deket rumah pa. Papa kemari ya, temenin nenek,” pintaku.             “Maaf nak, tapi papa gak bisa. Maaf. Maaf. Maaf papa udah nyusahin kalian …” jawab papa. Terdengar suara isak tangis di ujung sana.             “Pa, papa kenapa? Papa kok nangis?” tanyaku bingung. Tak ada jawaban di ujung sana. Hanya terdengar suara sesengukan. Sebentar, lalu telpon di matikan.             Aku menatap mr. communicator. Lah, ini papa kenapa ya? Entahlah, mungkin papa nanti akan menyusul. Ya semoga saja. Bisa jadi maksud papa minta maaf karena tidak bisa datang ke rumah sakit sekarang kan? Ya, aku tahu kok papa selalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku kembali ke ruang tunggu. Dari ruang tunggu ke tempatku yang tadi lumayan jauh juga. Sepanjang jalan aku melihat perawat dan pasien bolak- balik. Tiba- tiba seorang perawat berbaju putih batuk- batuk dan jatuh pingsan. Aku tersentak kaget. Perawat lain yang ikut datang membantunya juga terbatuk sebentar dan jatuh pingsan juga. Pasien yang kebetulan lewat melihat hal itu berteriak panik, semakin panic saat melihat darah mengalir dari kedua perawat itu. Ada apa ini? ****  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN