Suara teriakan Lea menggelegar hingga penjuru sudut rumah membuat Mami, Pade dan Budenya terkejut. Lea bergegas keluar kamar dan menuruni tangga terburu-buru begitupun juga dengan Mela dan kedua iparnya itu. Mereka bertiga buru-buru menaiki tangga dan bertemu dengan Lea di tengah-tengah, gadis kecil itu terlihat basah wajahnya dan kacau.
"Mami, hu hu hu!"
"Ada apa, Nak? Mana Kakak?"
"Kakak mati, Mi! Kakak mati!"
"A-apa?"
Fuad bergegas melanjutkan langkahnya ke atas dan masuk ke kamar Manda. Ia melihat gadis itu sudah tak sadarkan diri dengan darah yang lumayan banyak berceceran di lantai. Sigap, langsung menggendong Manda tanpa berpikir panjang lagi, keluar kamar dan kembali berpapasan dengan para wanita di tangga. Mela terkejut melihat keadaan Manda yang tak sadarkan diri dan tangan yang diikat oleh sesuatu oleh Fuad agar tak semakin banyak darah yang keluar.
"Manda!" pekik Mela dan Fitri.
Tiba-tiba lutut Mela bergetar hebat, kaki jenjangnya seakan tak mampu lagi untuk menahan beban tubuhnya. Mela hampir ikut tak sadarkan diri namun Fitri mengingatkan untuk tetap tenang dan sadar karena saat ini bukan waktu yang tepat untuk pingsan karena ada Gama dan Manda yang membutuhkannya dirinya.
Lea mengejar Fuad untuk menemani lelaki itu menuju mobil. Fitri dan Mela bergegas turun dengan terburu-buru dan mengekor dibelakang Fuad dan Lea. Mela tak lupa mengunci pintunya namun tak juga terkunci, tangannya bergetar hebat. Pikirannya mulai melalang buana, ia merasa takut jika kehilangan anaknya itu. Fitri membantu mengambil alih kunci tersebut dan langsung menguncinya dan menarik tangan Mela untuk segera masuk ke dalam mobil.
Mobil yang dikendarai oleh Fuad melaju dengan kecepatan cukup kencang menuju salah satu rumah sakit yang tak jauh dari rumah. Ia membawanya ke rumah sakit dimana Gama juga dirawat agar Mela tidak harus bolak-balik nantinya karena mengurus anak sekaligus suami yang kena musibah. Sesampainya di IGD, Ibu terkejut melihat Fuad yang menggendong Manda dalam keadaan tak sadarkan diri.
"Mela, ada apa ini? Kenapa Manda jadi tak sadarkan diri dan kenapa tangannya?"
"Bu, jangan banyak tanya dulu, ya! Mela juga bingung kenapa bisa jadi seperti ini! Mela … Mela … gak tahu harus melakukan apa, Bu! Mela takut! Takut kehilangan Manda, hu hu hu," tangisnya tiba-tiba pecah.
Mela sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menahan diri agar tidak menangis. Berusaha kuat untuk kejadian Gama tapi tiba-tiba ia seperti dihantam badai yang cukup besar dengan melihat Manda yang tidak sadarkan diri dengan tangan diperban dan masih banyak darah. Lea yang masih bingung tapi seakan mengerti apa yang terjadi ikut menangis histeris dan memeluk erat Maminya.
Tubuh Mela luruh ke bawah, ia sudah tak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Satu hal yang memenuhi pikirannya adalah ia takut kehilangan Manda. Jika kehilangan Gama itu tak terlalu membuat hatinya sakit, tapi jika kehilangan Manda? Entah apa yang akan terjadi padanya nanti. Mela tak akan sanggup membayangkan hal buruk itu.
"Mela, tenang! Hei, jangan menangis histeris seperti ini! Manda pasti baik-baik saja, Mel! Tenang," ucap Fitri menenangkan Mela yang tampak kacau.
"Manda, Mbak. Manda, hu hu hu."
"Mami, kakak kenapa? Apa kakak mati?" tanya Lea polos.
Ibu mengambil alih Lea untuk menenangkannya sebab untuk saat ini tak mungkin juga Lea dibiarkan begitu saja dikala Mela sedang kacau. Ibu khawatir justru nantinya Lea akan menjadi korban dari amarah Mela. Ibu menenangkan Lea dengan caranya sendiri. Perlahan gadis itu mulai tenang dan berhenti menangis di dalam pelukan sang Nenek. Begitu pun juga dengan Mela yang mulai tenang setelah usaha Fitri yang luar biasa. Sekarang, mereka menunggu kabar dari Fuad yang masih berada di dalam ruang tindakan.
Mereka berempat berdoa untuk keselamatan Manda. Dipikiran mereka saat ini hanya ada Manda. Gama mulai dikesampingkan dulu untuk saat ini, padahal kondisi lelaki itu pun tak jauh beda dengan Manda. Tapi, karena rasa kesal yang menyelimuti mereka semua maka pikiran hanya fokus pada satu tujuan, Manda.
Satu jam berlalu, Fuad keluar dengan wajah yang mulai tenang, tidak seperti sebelumnya sangat panik karena takut terjadi sesuatu pada Manda. Mela dan Fitri bangkit langsung mendekati Fuad dan menanyakan bagaimana keadaan Manda. Fuad memilih duduk untuk menjelaskan semuanya.
"Gimana, Mas? Manda baik-baik saja, 'kan?"
"Alhamdulillah, baik. Manda sempat kekurangan darah tadi, tapi stok darah di rumah sakit masih ada jadi cepat tertolong. Kita berdoa saja ya, semoga Manda cepat membaik."
"Alhamdulillah. Aku sudah tak bisa berpikir jernih lagi, Mas! Benar-benar merasa takut jika terjadi sesuatu pada gadis itu. Manda dan Lea adalah hidupku dan juga nyawaku, Mas! Aku tak sanggup jika kehilangan keduanya. Jangankan kehilangan, melihat mereka sakit saja aku ikut merasakan sakitnya."
"Iya Mas paham akan hal itu. Kamu tenang saja, Manda baik-baik saja! Dia itu anak yang kuat!"
"Iya, Mas."
"Mel, sepertinya Manda depresi," celetuk Fitri tiba-tiba.
"Maksud, Mbak?"
"Ini masih dugaan sementara saja ya. Tadi, aku gak sengaja mendengar obrolan Lea dan Ibu. Lea bercerita sebelumnya mereka berdua itu menangis bersama. Manda pun mengatakan bahwa Papinya sudah jahat padamu dan mereka. Papinya sudah tak sayang lagi pada mereka, itu membuat Lea semakin ikut menangis."
"Saat Lea melihat Gama di bawa ambulans dari jendela kamar mereka, Manda mengatakan biarkan saja Papinya dibawa pergi, kalau perlu mati saja. Lea tidak terima dan mereka bertengkar. Manda langsung mengambil vas bunga dan memecahkannya, ia meminta Lea untuk memilih antara kamu dan Manda atau Papinya. Tapi, namanya juga Lea masih kecil ya, gak paham juga kalau disuruh milih dan dia mengatakan bahwa tak bisa memilih."
"Mendengar jawaban yang tidak memuaskan hati dari Lea itu justru membuat Manda tak terima dan semakin marah. Ia langsung menyayat tangannya dan ya terjadilah seperti itu, Mel."
"Ya Allah … Manda … apakah dia seperti ini karena Papinya, Mbak?"
"Mungkin bisa saja, Mel. Ia selalu mengidolakan Papinya, tapi saat ini justru hatinya dihancurkan oleh Papinya hingga berkeping-keping dan itu membuat Manda semakin tidak berdaya. Ia tak bisa mengekspresikan rasa sakit dan kecewanya dalam hal yang baik, maka memilih hal yang salah."
"Astaghfirullah … astaghfirullah … astaghfirullah … lalu sekarang kita harus melakukan apa, Mas, Mbak?"
"Kamu tenang ya, Mel. Kita lihat dulu kondisi Manda setelah dia sadar. Jika ini masih rasa depresi awal, aku yakin masih bisa di sembuhkan. Nanti, kita cari psikolog terbaik untuk Manda, ya. Semua ini kita lakukan demi kesehatan hati, mental dan pikirannya," jawab Fuad tenang.
"Mas, Mbak, tolong bantu aku. Aku tak sanggup mengurus semua ini sendirian. Aku tak tahu harus melangkahkan kaki ini ke arah yang mana. Kejadian ini, sungguh membuat aku bimbang."
"Tenang, kamu harus tenang. Aku dan Mas Fuad pasti akan membantu ya."
"Makasih ya, Mas, Mbak. Maaf karena aku sudah merepotkan."
"Jangan bicara seperti itu, Mela! Kita semua ini keluarga, sudah sepatutnya saling menjaga dan membantu satu sama lainnya," jawab Fuad tegas. "Sudah, kamu tenangkan dirimu dulu ya. Biar Fitri yang menemani. Aku mau hubungi Mbak Salma lalu ke ruangan Gama."
"Iya, Mas. Terima kasih."
***
Fuad melangkahkan kakinya menuju ruang perawatan Gama. Disana ada Ibu dan Lea yang menunggu Gama sadar, tepat sekali ketika Fuad masuk ke dalam lelaki itu sudah sadar. Ia menerjapkan matanya berkali-kali demi menormalkan penglihatannya lalu menatap Ibu dan Lea berganti. Ia mencari seseorang namun justru terkejut karena kedatangan seseorang.
"M-Mas Fuad!" pekiknya dengan suara tertahan.
"Iya, ini aku! Kenapa kok terkejut? Kamu seperti habis melihat setan saja, Gam! Santai sajalah, aku tidak akan memakan kamu, kok," selorohnya namun sikap Mas Fuad justru membuat Gama kaku dan takut.
Jika salah satu keluarga sudah ada yang datang menemui dirinya dan Mela itu artinya ada sesuatu yang tidak baik. Ya, seperti sekarang ini. Keadaannya sedang tidak baik dan semua itu salahnya, ulahnya sendiri sehingga bisa membuatnya berada di rumah sakit. Semua itu karena amarah Manda untuk membela Maminya.
"Lea, boleh kalau Pade bicara sama Papi?" tanya Fuad pada gadis kecil itu.
"Oke, Pade. Ayo, Nek," ajak Lea menarik lembut tangan Neneknya.
"Nak Fuad, jangan terlalu kasar," bisik Ibu.
"Tenang saja, Bu. Fuad tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan."
"Ibu percaya sama kamu, Nak."
Ibu dan Lea meninggalkan ruang perawatan dan membiarkan Fuad berdua saja dengan Gama. Lelaki tidak berdaya itu sedang merasa harap-harap cemas karena jika Mas Fuad sudah datang menemuinya, itu artinya masalah yang saat ini sedang ia hadapi sudah sampai ke telinganya. Sebentar lagi, pasti Mbak Salma pun akan ikut datang menemuinya. Entah bagaimana nasibnya nanti setelah semua keluarga datang dan menghakiminya.
Gama sebenarnya sadar akan kesalahannya itu, tapi ia enggan mengakui karena merasa memang punya hak untuk memiliki istri lebih satu. Ia memang ingin memiliki seorang anak laki-laki tapi tak pernah terpikirkan olehnya bahwa akan terjebak dalam masalah rumit ini. Awalnya hanya ingin menghilangkan penat tapi justru ia terjebak di dalamnya.
Dulu, sebelum mengetahui Mawar hamil, ia benar-benar menyesal. Tapi, ia juga tak mungkin membiarkan wanita itu menggugurkan darah dagingnya, maka dari itu ia menawarkan untuk menikah siri dan Mawar menyetujuinya. Menurutnya tak masalah, ia berhasil menutupi semuanya hingga saat ini. Sialnya, ia terlalu ceroboh menyimpan ponsel sehingga membuat kacau segalanya.
Memang yang namanya bangkai, ditutup serapat apapun pasti akan ketahuan. Sudah berusaha menutupi semuanya cukup lama tapi aroma busuk dari bangkai tersebut pasti tercium. Gama terlalu terlena dengan permainannya sendiri hingga terjebak terlalu dalam. Apalagi, Mawar yang menurutnya pintar dalam memainkan sebuah rasa sehingga rasa terlena itu berubah menjadi rasa nyaman.
"Bagaimana? Enak dihajar oleh anak sendiri?" seloroh Fuad menyadarkan Gama dari lamunannya itu.
"Ma-maksud Mas, apa?"
"Maksudku apa? Aku rasa, tanpa kuberitahu pun kau lebih tahu akan semuanya," jawab Fuad memandang sinis ke arah Gama.
"A-aku tak paham maksudmu, Mas!" elaknya.
"Jangan kau pikir, aku tidak tahu apa yang terjadi, Gama!" jawabnya dingin.
Suara Fuad membuat Gama ketar-ketir, benar dugaannya bahwa kakaknya itu sudah mengetahui segalanya dan itu pasti karena ulah Mela. Gama yakin betul bahwa istrinya itu yang sudah menceritakan semua yang terjadi dalam rumah tangga mereka. Mela memang sangat dekat dengan keluarganya, bahkan bisa dibilang mereka semua lebih menyayangi Mela daripada Gama.
"Halah, Mas, paling juga Mela mengarang cerita!"
"Mengarang cerita bahwa kamu menikah lagi dengan seorang wanita malam? Dengan dalih seorang suami boleh memiliki lebih dari satu? Cih! Menjijikan, Gama!" sentak Fuad berusaha tetap tenang menahan amarahnya.
"Loh? Memang betul begitu 'kan, Mas? Suami boleh poligami!" jawabnya tegas.
"Poligami? Haha, hanya kata itu yang kamu pahami tanpa tahu artinya lebih dalam? Miris, Gama! Ilmu dari mana yang kau dapatkan itu!"
"Lelaki memang diperbolehkan poligami tapi dengan banyak syarat. Salah satunya adil! Manusia tidak akan ada yang bisa adil, termasuk kamu! Pasti akan timpang sebelah!"
"Kata siapa, Mas? Aku bisa adil!"
"Apa buktinya? Waktumu lebih banyak disana, sikapmu berubah pada anak dan istri sah-mu. Lalu, kamu bisa bilang bahwa dirimu sudah adil? Bodoh kamu, Gama! t***l!" maki Fuad tak sanggup lagi menaham emosinya.
"Sikapmu itu berhasil membuat pribadi baru untuk kedua anakmu! Mereka menjadi pribadi yang lebih pendiam bahkan tertutup! Kamu berhasil membuat hati mereka patah! Kamu sukses membuat hati mereka hancur hingga berkeping-keping! Kamu tahu? Kamu adalah panutan untuk mereka! Kamu adalah idola mereka! Tapi, kamu juga yang mematahkan hati dan kehidupan mereka!"
"Jika terjadi sesuatu pada kedua gadis kecil yang tak berdosa itu, maka kamu yang akan aku cari, Gama! Aku akan membuat perhitungan denganmu!"
"Hari ini, Manda berhasil melumpuhkanmu! Manda berhasil membuatmu tidak berdaya hingga harus berada di rumah sakit ini! Dan kamu pun berhasil membuat gadis yang sedang tumbuh dewasa itu depresi dan hampir mati bunuh diri! Itu semua karena ulahmu!" teriak Fuad.
Semua kata-kata yang dilontarkan oleh lelaki itu membuat Gama bungkam, matanya membesar. Ia merasa tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh kakaknya itu. Manda hampir mati bunuh diri karena ulahnya? Manda, anak gadisnya hampir kehilangan nyawa? Manda, anak gadisnya yang membuat dirinya tak berdaya berakhir juga di rumah sakit yang sama.
"Jangan bicara omong kosong, Mas!" sergah Gama tak terima dengan semua perkataan Fuad. "Manda itu anak pintar! Dia tak mungkin melakukan hal itu! Kamu berbohong!"
"Aku tidak berbohong! Manda benar-benar melalukan tindakan bunuh diri karena rasa kecewanya yang terlalu besar padamu, Gama!"
"Tidak, Mas! Itu tidak mungkin! Manda tidak mungkin melakukan hal itu!"
"Tidak ada yang tidak mungkin, Gama! Lihat pakaianku! Ini adalah darah Manda! Darah anakmu! Darah anak gadis yang aku selamatkan! Gadis yang hampir meregang nyawa karena ulah Papinya yang t***l!"
"Tidak, Mas! Tidak! Manda tidak mungkin melakukan semua itu! Manda tidak mungkin bersikap bodoh! Manda itu kebanggaanku! Manda itu anak gadisku yang baik! Tidak! Itu tidak mungkin!"
"Sayangnya, anak gadis yang baik itu berubah menjadi pribadi yang lain karena ini semua ulah Papinya yang durjana!"