BAB 4 – Kematian Pertama

1503 Kata
Tiga tahun sudah umur Gaven kini, dan bocah laki-laki itu tumbuh normal tanpa ada kendala. Matheo dan Anna bahkan sudah lupa dengan kejadian aneh yang dialami Gaven tiga tahun yang lalu. Kampung Ujung Kulok, juga aman sentosa. Beberapa anak-anak bermain dengan riang gembira di sebuah lapangan bola. Lapangan bola yang penuh denga genangan lumpur karena semalam desa ini baru saja diguyur hujan lebat. “Hahaha ... Gaven, ayo lempar bolanya ke sini.” “Gaven jangan ke dia, lempar kepadaku saja.” “Ayo Gaven, cepat lempar bolanya ....” Teman-teman Gaven tengah menunggu bocah kecil itu mengoper bolanya. Bocah yang terlihat berbeda dari yang lainnya. Bocah paling tampan dengan netra cokelat terang. “Gaven ayo dong ....” Salah satu temannya yang lain sudah tidak sabar ingin bola yang tengah berada di tangan Gaven. “Siap-siap ya ....” Gaven mulai membuat ancang-ancang. Kaki kecilnya terlihat kuat dan seolah-olah akan memberikan sebuah tendakan mematikan. Sebelum menendang kuat bola itu, Gaven memberikan senyum kecut seraya memainkan ujung hidung mancungnya dengan ujung jempol kanannya. “HIYAAA ....!!” suara teriakan Gaven lepas seiringan dengan lepasnya tendangan bocah tiga tahun itu. Tanpa bisa dicegah, bola itu bukannya masuk ke dalam gawang, malah mendarat di wajah seorang bocah enam tahun. Bocah itu sangat marah, ia menghampiri Gaven dan mendorong Gaven dengan kasar. Gaven tersungkur, sikunya mengenai sebuah batu runcing dan terluka. “Kak, maaf ... Gaven tidak sengaja.” “Tidak sengaja bagaimana? Sudah jelas kamu mengarahkan bola itu kepadaku.” Bocah itu memukul dàda Gaven dengan kuat, Gaven kesakitan. Gaven kecil tersulut emosi, ia bangkit seraya memegang sikunya yang berdarah. Untuk pertama kalinya, Gaven benar-benar marah. Ia berdiri dengan kaku dengan ke dua tangan mengepal kuat. Ia terus menatap bocah enam tahun yang ada di hadapannya. Bocah itu bersama teman-temannya malah menertawakan sikap Gaven. Gaven kecil terus menatap bocah itu dengan perasaan marah yang memuncak. Perlahan-perlahan, manik cokelat terang itu berubah menjadi merah pekat seperti darah. Tidak hanya berubah merah, tapi juga bersinar. Beberapa orang teman-teman Gaven merasa takut dan pergi meninggalkan lapangan bola itu. Tidak lama, Gaven pun pergi meninggalkan lapangan bola itu, berlari menuju rumahnya. Dengan napas tersengal-sengal, Gaven mengambil secarik kertas dan sebuah pensil, lalu ia bawa ke kamarnya. Gaven dengan posisi tengkurap,  mulai melukis sesuatu di atas kertas itu menggunakan pensil yang ada di tangan kanannya. Perlahan, gambar yang ia hasilkan semakin jelas dan detail. Tangan kecil itu terus dan terus menggambar. Entah dari mana Gaven mendapatkan keahlian menggambar seperti itu. Padahal sebelumnya ia tidak pernah belajar atau menggambar apa pun. Gambar itu itu pun selesai. Luar biasa, Gaven yang masih berusia tiga tahun sudah bisa membuat gambar yang begitu detail dan sangat jelas. Sebuah lukisan wajah anak berusia enam tahun yang sudah membuatnya terluka, terpampang di depan mata Gaven. Gaven menatap gambar itu dengan penuh amarah. Terus dan terus hingga manik cokelat terang itu berubah menjadi merah semerah darah. Netra Merah Gaven menatap tajam gambar sepasang mata yang baru saja ia lukis. Sesaat kemudian, Gaven memukulkan ujung pensilnya ke bagian bawah mata kanan lukisan itu sebanyak tiga kali seraya tersenyum kecut. Mati kau!! Gumam Gaven dalam hatinya. Gaven segera melipat kembali gambar itu dan menyimpannya ke dalam sebuah kotak yang sudah ia buat sebelumnya. Kota persegi yang terbuat dari kardus tebal. Gaven menyimpan gambar itu dengan baik di dalamnya. Setelah semuanya beres, Gaven menyimpan kotak itu ke dalam lemari kayu tak berpintu. Ia menyimpannya di bagian paling bawah dan bagian terdalam. Ia tersenyum sesaat lalu kembali meninggalkan kamarnya untuk menemui teman-temannya. Bocah tiga tahun itu kembali berkumpul kembali bersama teman-temannya. Ia bersikap biasa seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Kembali bermain bola dan riang gembira. Tidak lama, warga kampung ujung kulok dikejutkan dengan berita meninggalnya salah seorang bocah lelaki berusia enam tahun. Bocah itu meninggal secara mendadak. Tidak ada tanda-tanda sakit atau tanda aneh sebelumnya. "Huwaaa ... Deno, mengapa kau tinggalkan ibu secepat ini, Nak ...." Ibu bocah yang bernama Deno itu pun meraung-raung menangisi jasad putranya. "Ada apa dengan Deno, Bu? Apa yang terjadi dengannya?" tanya warga yang lainnya. "Ndak tahu, Mbak ... Tiba-tiba saja Deno pingsan dan meninggal, huwaaa ...." Ibu Deno terus saja histeris menghadapi kepergian anaknya. Semua orang memperhatikan Deno, ada yang janggal dengan kematian bocah itu. Mana mungkin anak usia enam tahun sudah kena serangan jantung? Akan tetapi, kuat dugaan bahwa Deno memang meninggal karena serangan jantung. Berita meninggalnya Deno, sampai juga ke telinga Anna dan Matheo. Anna dengan cepat, pergi melayat ke rumah duka. Ia memperhatikan semua yang dibicarakan oleh warga. Bahkan Anna melihat ada tanda yang tidak biasa pada bawah mata kanan bocah itu. Ada tiga buah titik biru yang tidak biasa. Anna hanya menyimak tanpa berkomentar. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Namun, mendengar desas desus keanehan akan kematian Deno, tiba-tiba Anna merasa khawatir.  "Tadi kami lihat mata Gaven merah seperti darah, hiii seram."  "Iya, aku juga lihat, kok bisa begitu ya?" Anna mendengar beberapa anak-anak tengah membicarakan putranya di depan halaman rumah Deno. Kekhawatirannya semakin beralasan. Tanpa berlama-lama, Anna segera meninggalkan rumah Deno dan berlalu menuju rumahnya. Ia harus segera mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. "Pak ... Pak ...." Anna segera menghampiri suaminya sesaat setelah sampai di rumah. "Ada apa, Bu? Mengapa kamu panik sekali?" "Kamu tahu'kan kalau Deno, anaknya Ratih, yang baru berusia enam tahun itu meninggal mendadak. Aku dengar kematiannya janggal, Pak. Terus aku dengar anak-anak mengatakan kalau mereka melihat mata Gaven kita berubah menjadi warna merah." "APA?!” Matheo segera menutup mulut Anna dengan tangannya. Netranya terlihat awas seraya memperhatikan sekitar. Ia khawatir jika ada yang mendengar apa yang sudah keluar dari mulut Anna. “Pak?” Anna mulai memelankan suaranya. “Sstt ... kita bicarakan ini di rumah, tapi jangan keras-keras,” bisik Matheo seraya menarik lengan istrinya menuju kamar mereka. “Pak?” “Sekarang ceritakan, apa yang sudah terjadi.” “Deno, Pak. Deno anaknya Ratih, baru saja meninggal dunia secara mendadak. Warga menduga Deno meninggal karena serangan jantung. Tapi, apa mungkin anak umur enam tahun sudah kena serangan jantung?” “Entahlah, mungkin saja, Bu” “Tapi di bagian bawah matanya ada tiga buah titik kecil berwarna biru. Tanda itu terlihat tidak biasa, Pak.” “Atau mungkin anak itu sudah tersengat bisa hewan tertentu. “Tapi di luar, aku mendengar anak-anak membicarakan anak kita. Mereka mengatakan jika mereka semua melihat mata Gaven berubah menjadi merah semerah darah.” “APA?!” Kali ini Matheo tidak mampu mengendalikan volume suaranya. “Pak, tahan suaramu.” “Bu, ayo kita lihat isi kamar Gaven.” Pasangan suami istri itu sama-sama khawatir dan berdebar. Mereka pun masuk ke dalam kamar putra semata wayangnya. Kamar sederhana dengan perabotan seadanya. Matheo mulai mencari-mencari  petunjuk di kamar itu. Kasur tak berdipan milik Gaven, dibolak balik oleh Matheo. Lemari pakaian, kolong meja bahkan semua baju-baju bocah tiga tahun itu, tak luput dari pemeriksaan. Nihil, Matheo dan Anna tidak menemukan petunjuk apa pun untuk kecurigaan mereka. “Pak, kotak apa itu?” Anna melihat sebuah kotak yang terbuat dari kardus tebal terletak di dalam lemari kayu tak berpintu paling bawah. “Entahlah, mari kita lihat.” Matheo dan Anna mendekati kotak itu dengan perasaan berdebar. Tiba-tiba kamar Gaven berubah menjadi suasana mencekam. Derap langkah Matheo dan Anna seolah akan menemukan sebuah misteri atas kematian Deno. “Kotak ini sangat rapi, apa Gaven yang membuatnya sendiri?” Matheo mengambil kotak itu dan memperhatikan setiap detailnya. “Entahlah, Pak. Bukankah kamu yang sudah membawa kardus ini ke rumah seminggu yang lalu? Apa kamu tidak membuatkan kotak ini untuk putra kita?” Anna pun bertanya-tanya. “Tidak, Bu. Aku tidak pernah membuatkan apa pun untuk anak kita. Lihatlah, ia menjahit tepiannya dengan sangat rapi menggunakan benang kain dan jarum tangan.” “Iya, Pak. Ini dijahit, bukan dilem.” Anna dan Matheo semakin berdebar dan bertanya-tanya. Selama ini mereka memang tidak terlalu memperhatikan kamar Gaven. Mereka lupa, banyak keanehan terjadi di kamar itu. Banyak keahlian yang tidak biasa untuk anak usia tiga tahun seperti Gaven. Mereka luput memperhatikan hal itu. “Pak, ayo buka kotaknya. Mudah-mudahan kita menemukan petunjuk di dalamnya.” Anna sudah tidak sabar. “Iya, ayo.” Anna dan Matheo duduk di lantai kamar itu. Perlahan, mereka mulai membuka kotak itu. Kotak yang bagian tutupnya di kaitkan oleh seutas tali layang-layang. “Pak, ada kertas.” Annak melihat ada sebuah kertas yang dilipat dengan sangat amat rapi di dalam kotak itu. “Ada pensil juga.” Matheo mengambil pensil itu dan mengeluarkan pensil terlebih dahulu. “Pak, ayo lihat, apa yang ada dalam kertas itu.” Matheo mengangguk. Pria itu mengambil kertas itu dan mulai membukanya. Anna dan Mateho terperanjat. Mereka melihat lukisan wajah Deno tergambar dengan sangat jelas dan detail. Bahkan ada tanda titik tiga yang terdapat di bawah mata kanan gambar itu, persis dengan tanda yang terdapat pada wajah Deno. Anna seketika menutup mulutnya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia tidak menyangka jika putranya adalah seorang pembunuh. Putranya, Gaven Althair yang baru berusia tiga tahun, sudah memakan korban pertama atas keganasan kekuatan yang ia miliki.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN