Warga kampung Ujung Kulok (bukan nama sebenarnya), heboh dan bertanya-tanya. Semua masyarakat kampung itu dibuat heran dengan kejadian aneh yang melanda kampung mereka.
Mereka berkumpul, saling bercerita dan bertanya-tanya.
“Kok aneh ya? Padahal semalam hujan sangat deras serta petir menyambar-nyambar, tapi pagi ini tanah sangat kering seakan tidak ada apa-apa semalam.”
“Iya ... kalau tidak salah kemarin malam juga ada pohon tumbang, tapi pagi ini kok tidak ada?”
“Benar-benar aneh. Ada apa ya dengan kampung kita ini?”
“Entahlah ... semoga saja ini bukan pertanda buruk.”
Begitulah obrolan warga kampung. Mereka semua saling melempar tanya dan menduga-duga. Tidak sedikit yang menyangkut pautkan dengan hal mistik. Bahkan ada beberapa yang mengarang cerita tentang pertemuannya dengan dewa dan dewi atau leluhur yang sudah mati.
“Semua ini pasti karena semalam kampung kita kedatangan roh leluhur. Atau juga mungkin ada Dewa atau Dewi yang turun ke bumi.”
“Mungkin saja, atau jangan-jangan ada alien yang datang?”
“Mana ada alien, itu hanya ada dalam film ... aku tidak yakin jika ada alien.”
“Iya, aku yakin pasti ada roh leluhur atau Dewa yang datang, tapi siapa ya dan untuk apa?”
“Mungkin saja alien, ini’kan tahun 2020, bisa jadi alien datang untuk menghancurkan bumi.”
“Ah kamu, jangan mengada-ngada. Ngayalmu ketinggian.”
Di sudut lain, obrolan seperti itu terdengar membuat gelak tawa renyah menghiasi obrolan mereka.
Memang, tidak satu pun warga yang mengetahui penyebab pasti keanehan yang terjadi di kampung mereka. Para petinggi kampung juga sudah mengumpulkan beberapa saksi dan informasi mengenai hal yang tiba-tiba membuat heboh kampungnya.
Namun Nihil, mereka belum mendapatkan jawaban apa pun. Semua hanya bisa menduga-duga.
Matheo dan Anna sudah memasuki lingkungan tempat tinggal mereka. Pasangan suami istri itu dibuat heran oleh banyaknya warga yang berkumpul di beberapa titik di kampung itu.
“Bu, turun dulu sebentar ya. Bapak penasaran, mengapa warga tiba-tiba ramai begini. Memangnya mereka tidak pergi bekerja?” Matheo menghentikan motornya setelah Anna turun dari kendaraan roda dua itu.
“Iya, Pak. Ibu tunggu di sini ya, Pak.” Anna duduk di atas batu besar di samping sebuah rumah warga. Wanita itu kemudian membuka kancing bajunya dan mulai menyusui Gaven.
“Maaf bapak-bapak dan ibu-ibu, ini ada apa ya? Mengapa semua berkumpul seperti ini?” Matheo masuk ke dalam kerumunan dan bertanya-tanya.
“Pak Theo ... dari mana saja? Ini lho pak, semalam’kan hujan deras disertai angin kencang. Banyak warga yang melihat kalau semalam pohon ini tumbang. Tapi pagi ini tiba-tiba pohon ini kembali kokoh berdiri. Jalanan juga sangat kering, tidak ada bekas hujan sedikit pun.” Owen—salah seorang tetangga Matheo—memberikan penjelasan.
“Yang benar? Aneh sekali?” Matheo keheranan.
“Iya, bapak dari mana saja? Kami lihat rumah bapak sepi?”
“Semalam istri saya mau melahirkan, jadi saya bawa ke rumah nini yang ada di tepi hutan sana. Sebab kalau di bawa ke bidan, terlalu jauh dari sini.” Matheo menjelaskan.
“Melahirkan? Bukannya ibu Anna baru hamil enam bulan?” tanya Mune—istri Owen.
“Iya, bayi kami lahir prematur.”
“Sekarang di mana ibu Anna?”
“Ada, itu dia di sana. Anna sedang menyusui bayinya.”
Semua mata tertuju pada Anna. Puluhan mata itu menatap Anna dengan tatapan penuh tanda tanya. Anna melahirkan di usia kandungan enam bulan? Lalu ia sudah bisa pulang tanpa terlihat sedikit pun rasa kesakitan?
Mereka semua berjalan mendekati Anna. Anna yang tengah menyusui bayinya jadi salah tingkah.
“Anna, benar kamu sudah melahirkan? Ini bayimu?” seorang warga lain bertanya.
“Iya, Pak. Namanya Gaven, semalam lahir di rumah nini. Tuh lihat, cakep’kan?” Anna melepaskan payudaranya dari mulut Gaven.
Semua mata warga menatap kagum bayi Anna. Bayi itu sangat tampan memesona. Tidak seperti bayi Indonesia pada umumnya.
Anna sendiri berkulit putih bersih dan berwajah Indo. Tubuhnya tinggi dan langsing. Namun, karena faktor ekonomi dan tinggal di desa, wajah cantik itu tersembunyi di balik kesederhanaan dan pakaian seadanya.
Matheo juga demikian, sekilas wajahnya cukup tampan. Campuran Indonesia dan Belanda. Tapi karena pekerjaan keras yang ia miliki, membuat tubuhnya kasar dan sedikit hitam.
“Iya, bayi kalian sangat tampan. Mirip dengan kalian berdua. Sudah besar nanti, pasti akan jadi primadona di kampung ini.” Mune mengusap lembut puncak kepala Geven yang masih tertutup kain bedung.
“Oiya, maaf ... Anna sepertinya harus banyak istirahat. Saya akan mengantarkan Anna pulang terlebih dahulu. Setelah itu saya akan kembali ke sini.” Matheo segera membawa istrinya menjauhi kerumunan warga. Ia tidak ingin warga sampai melihat pancaran sinar merah yang keluar dari netra Gaven.
Sesampai di rumah mereka, Anna langsung menuju kamar dan meletakkan bayinya di atas ranjang sederhana yang ia punya. Matheo sendiri mulai mengemasi rumah dan barang-barangnya.
“Pak ....” Anna menghampiri Matheo yang tengah memanaskan air untuk membuat minuman hangat.
“Hhmm ... ada apa, Bu?”
“Apa mungkin keanehan yang terjadi di kampung ini karena Gaven?” Anna menatap suaminya, dahinya mengernyit.
“Apa yang ibu katakan?” Matheo balik menatap istrinya.
“Bapak lupa dengan apa yang nini itu katakan?”
“Sudahlah, Bu. Tidak perlu dipikirkan. Ingat satu hal lagi, jangan bicara yang bukan-bukan pada warga. Nanti mereka malah berpikiran buruk dan kita bisa diusir dari kampung ini. Kita lihat saja bagaimana perkembangan Gaven.” Matheo menggenggam lembut bahu Anna.
“Iya, Pak.”
“Ibu duduk saja dulu. Bapak akan buatkan minuman dan makanan. Ibu tidak perlu bekerja dulu beberapa hari ini, semua biar bapak yang kerjakan. Ibu cukup menjaga Gaven saja dan memulihkan kesehatan ibu.” Matheo membelai lembut puncak kepala istrinya.
“Tapi aku sehat kok, Pak? Lihat, tidak ada masalah apa-apa pada diriku. Bahkan darah nifasku sudah kering.” Anna berdiri dan memperlihatkan tubuhnya yang segar bugar.
“Sssttt ... Ibu jangan bicara seperti itu, nanti ada yang mendengar. Kampung kita sedang dihebohkan oleh sebuah kejadian aneh. Kalau ada yang mengetahui apa yang terjadi pada dirimu, semua akan tambah ribut.” Matheo meletakkan telunjuknya di puncak bibir Anna untuk menyuruh wanita itu diam.
“I—iya, Pak. Maaf ....”
“Baiklah, sekarang temani saja Gaven atau kemasi pakaian Gaven. Biar bapak yang menyiapkan makanan dan minuman. Pakaian juga nanti biar bapak yang cuci. Pergilah!” Matheo memerintah Anna untuk segera masuk ke dalam kamar.
“Baik, Pak.” Anna menurut, wanita itu melangkah masuk menuju kamarnya dan mulai berbaring di sebelah Gaven. Perlahan, Anna pun terlelap di samping putranya yang begitu istimewa.
Matheo menyusul ke dalam kamar seraya membawa secangkir teh hangat untuk Anna. Namun, istrinya sudah terlelap di sebelah putranya. Matheo hanya bisa menarik napas, ia begitu bahagia tapi juga khawatir. Sebab, ia belum tahu, kekuatan besar seperti apa yang kini ada dalam tubuh putranya.