7. Pujian Davka

2245 Kata
Wangi khas Pak Davka langsung tercium begitu aku masuk ke mobilnya. Awalnya aku ragu apakah harus naik di depan atau belakang, tetapi ternyata Pak Davka lebih dulu membukakan pintu bagian depan. Aku benar-benar tidak menyangka kalau hari ini aku akan naik mobil yang harganya milyaran. Beberapa menit setelah naik mobil Pak Davka, aku tidak bisa konsentrasi karena perutku mulai terasa perih. “Perut kamu kenapa, Ra?” tanya Pak Davka tepat ketika mobilnya berhenti di lampu merah. “Saya belum makan siang, Pak.” “Di jam segini belum makan siang?” Aku meringis. “Tadi saya menyelesaikan tugas dari Bu Ema dulu, Pak. Tugas koreksi asistensi praktikum.” Aku reflek mundur ketika Pak Davka tiba-tiba mencondongkan badannya ke kiri. Ternyata dia membuka laci yang ada di depanku, dan aku cukup terkejut begitu melihat ada banyak roti di sana. “Ambil beberapa buat ganjal.” “Kalau saya ambil tiga ... boleh, Pak?” “Kamu selapar itu?” Aku mengangguk, dan demi apa pun akhirnya aku lihat Pak Davka tersenyum. Kuulangi sekali lagi, Pak Davka TERSENYUM! Ini jelas momen langka! Selama ini bukannya aku tidak pernah melihat Pak Davka tersenyum, jelas pernah. Hanya saja senyumnya itu sangat jarang dia tunjukkan ke mahasiswa, atau kalau misal iya, itu hanya ditunjukkan sebagai formalitas saja. Sedangkan kali ini? “Boleh, kan, Pak?” tanyaku lagi. “Kalau perut kamu muat, semua kamu ambil juga boleh.” “Hehe, tidak, Pak. Tiga saja cukup.” Mobil kembali jalan tepat setelah aku mengambil tiga roti dari laci mobil. Aku bawa minum di tas, jadi aku tidak akan terlalu serakah sampai merampas air mineral yang hanya tinggal satu. “Pak, sebenarnya ini mau ke mana, ya?” tanyaku setelah menghabiskan dua bungkus roti dan sedang membuka bungkus ketiga. Roti ini agak kecil, jadi makan satu atau dua bungkus saja, bagiku jelas tidak cukup. “Hotel.” “HEEE? HOTEL?” praktis mataku melebar kaget. Roti yang akan kumakan bahkan sampai jatuh ke pangkuan. “Apa hotel selalu membawa konotasi negatif buatmu?” “Ya tidak selalu, Pak. Tapi kan ini posisinya—“ “Kamu hanya perlu temani saya kondangan satu jam di Solo, setelah itu selesai.” Aku terdiam selama beberapa saat, mencoba mencerna ucapan Pak Davka. “Kenapa kondangan harus minta ditemani?” “Karena ini menyangkut masa depan saya.” “Tapi kalau kondangan ...” aku menjeda kalimatku sembari menatap ke bawah, lebih tepatnya ke arah pakaianku. “Baju saya begini, Pak.” “Makanya sebelum ke lokasi acara, saya harus bawa kamu ke rumah teman saya untuk ganti baju. Dia perempuan, dan sudah punya suami.” “Wait, wait!” Aku mendadak menangkap situasi janggal. “Kok ini jadi seperti di drama yang pernah saya tonton, ya, Pak? Jangan bilang, saya harus berpura-pura jadi pacar Pak Davka? Iya?” “Oh, ternyata ada gunanya juga kamu nonton drama. Saya jadi tidak perlu repot-repot menjelaskan detailnya padamu.” “Benar kaya gitu, Pak?” Pak Davka tidak langsung menjawab, karena tiba-tiba mobilnya masuk ke pelataran rumah putih berlantai dua yang tampak sangat megah. “Pak? Tolong jawab—” “Tidak sepenuhnya begitu, Ra.” “Tidak sepenuhnya begitu? Itu artinya tetap iya, kan? Saya tidak jadi mau kalau gitu, Pak. Saya mau pulang saja—“ “Ra, dengarkan saya dulu.” Pak Davka menahan tanganku dan melepasnya kembali. “Mungkin istilah pacar pura-pura ada benarnya, tapi ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Maksud saya, kamu hanya perlu terlihat seperti pacar saya, tidak perlu sampai bertindak jauh.” “Itu sama saja, Pak. Kalau di drama yang saya tonton, si perempuan dikenalkan ke orang tua si laki-laki, terus orang tua laki-laki jadi salah paham dikiranya beneran. Terus habis itu si laki-laki disuruh nikahin si perempuan. Saya tidak mau kalau kaya gitu!“ Pak Davka tampak menghela napas panjang. “Sepertinya drama yang kamu tonton itu bagus, tapi saya bukan si laki-laki yang akan mengenalkan kamu ke orang tua sebagai pacar pura-pura.” “Terus, Pak?” “Ini jauh lebih sederhana dari itu. Kamu hanya perlu menemani saya kondangan, dan selama kondangan kita harus terlihat seperti pasangan. Itu saja.” “Saya tetap tidak mau—“ “Tapi tadi kamu sudah setuju. Oke, begini, mungkin ini memang menyangkut masa depan saya, tapi karena kamu adalah mahasiswa bimbingan saya, ini bisa berefek ke kamu juga, Ra.” “Maksudnya, Pak?” “Apa saya perlu menjelaskan semua masalah pribadi saya sekarang?” “Ya harus, dong, Pak. Saya enggak mau kalau tiba-tiba terlibat gitu aja.” Tanpa sadar, cara bicaraku dengan Pak Davka tidak seformal biasanya. Rasanya sulit sekali kalau harus bicara formal sepanjang waktu. “Oke, nanti saya jelaskan setelah kondangan. Ini sudah sore, dan tempat acaranya masih jauh. Belum kalau kita terjebak macet.” “Kalau dijelaskan setelah kondangan, sama aja saya seperti dipaksa nyebur kolam dengan iming-iming yang masih abu-abu. Iya kalau iming-imingnya bagus buat saya? Kalau enggak? Baju saya sudah terlanjur basah, masih tidak untung pula.” “Bukannya sudah jelas iming-imingnya? Acc proposal kan jelas menguntungkanmu?” “Tapi tanpa saya ikut hari ini, Bapak pasti Acc juga, kan? Hanya saja mungkin waktunya lebih lama.” “Tapi tetap saja menguntungkanmu.” “Tapi belum tentu sebanding dengan apa yang harus saya lakukan malam ini—“ “Ara, dengarkan saya.” Aku langsung diam ketika Pak Davka menatapku lurus-lurus. Nyaliku seketika ciut ditatap seperti itu. “Selama kamu kuliah dan tahu nama saya, pernah atau tidak, sekali saja kamu dengar rumor buruk tentang saya? Seperti misal, saya orangnya suka semaunya sendiri atau tidak tanggungjawab?” Aku terdiam selama beberapa detik, lalu menggeleng. “Enggak pernah.” “Itu sudah cukup atau belum bikin kamu percaya kalau saya tidak mungkin memanfaatkanmu semau saya sendiri? Saya pasti kasih timbal balik yang sepadan, atau minimal cukup.” Aku diam. “Saya hanya butuh ditemani kondangan selama kurang lebih satu jam, dan selama kondangan kamu hanya perlu berdiri di sebelah saya dan menjawab seperlunya jika ditanya. Apa itu terlalu berat buat kamu?” “Tapi saya enggak paham kenapa harus saya dan—“ “Nanti saya jelaskan setelah acara selesai.” “Oh iya, Pak. Tapi seharian ini aktifitas saya full. Pasti keringetan. Masa iya kondangan bau keringat?” Aku pura-pura mengendus ketiak untuk berdalih. “Saya sudah memperhitungkan itu. Di rumah teman saya, kamu bisa mandi. Bilang saja sama dia kamu butuh apa, dia pasti sedia. Dan di sini bukan hanya kamu yang butuh mandi, saya pun sama.” “Kalau begitu, kenapa enggak pulang ke rumah dulu—“ “Kamu sendiri kan tahu rumah saya di mana, dan kamu juga tahu betapa macetnya jalan raya di sore hari.” Oh, iya juga. Tahu sendiri kan, jam limaan itu adalah jam orang-orang dalam perjalanan pulang. “Ra?” Aku menatap Pak Davka sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. “Ya sudah.” Oke, ini itung-itung membalas kebaikan Pak Davka karena sudah memberiku secara cuma-cuma tas harga sembilan juta. *** “Dipta berulah lagi ya, Dav?” tanya Kak Kinan, perempuan yang saat ini sedang mendandaniku. Kata Pak Davka, Kak Kinan ini adalah teman kuliahnya dulu. Aku tidak bertanya lebih lanjut, bahkan Dipta itu siapa, aku juga tidak tahu. “Anak itu lagi balas dendam kayaknya, Kin. Entah, dia ngomong apa sama Papa, tapi Papa langsung kasih aku ultimatum.” “Ribet bener kalian ini. Enggak ada yang mau ngalah.” “Dipta yang enggak pegang janji, tapi aku juga yang ujungnya kena.” “Si Abang harusnya ngalah sama adeknya.” “Ngalah sama Dipta? Enggak ada dalam kamusku.” Kak Kinan tertawa kecil, dan dia tiba-tiba minta maaf ketika lipstiknya tak sengaja mencoret sudut bibirku. Kisaran sepuluh menit kemudian, Kak Kinan mengajakku masuk ke sebuah kamar untuk ganti baju. Dia menunjukkan sebuah dress cantik berwarna light grey, juga memberiku heels lima centi berwarna hitam. Kak Kinan keluar sebentar dan masuk lagi setelah aku selesai. “Dek, Davka nakutin atau enggak kalau lagi bimbingan?” tanya Kak Kinan ketika dia membantuku memasang kalung. Tidak hanya kalung, aku juga mengenakan cincin dan anting emas putih. “Galak, Kak.” Kak Kinan tertawa pelan. “Jangan tertipu sama ekspresi ngeselinnya, ya? Dia aslinya enggak segalak itu, kok.” “Saya enggak percaya, Kak. Udah galak, mana kalau kasih kritikan itu pedes banget.” “Pedes, atau terlalu jujur?” Ah, iya juga. Selalu saja aku sulit sekali mengakui yang satu ini. “Hehe, iya, sih. Terlalu jujur sampai bikin sakit hati.” “Davka itu emang gitu orangnya, dan kamu enggak usah terlalu mikirin omongannya. Omongannya emang nyelekit karena dia orangnya terlalu jujur dan enggak pandai basa-basi. Tapi kamu harus percaya, Davka itu aslinya orang baik.” Aku tidak tahu kenapa Kak Kinan harus memberi tahuku tentang hal ini, padahal dia tahu aku hanyalah mahasiswa bimbingan yang dimintai tolong. “Hehe, iya, Kak.” Setelah semua selesai, aku disuruh berputar sekali. Aku tidak tahu ini tujuannya apa, tetapi tetap kuturuti. “Perfecto! Enggak akan ada yang curiga kalau kalian sebenarnya bukan pasangan, soalnya kalian serasi.” Aku buru-buru menggeleng. “Ini hanya akting, Kak. Jangan terlalu serius begitu. Merinding, saya dengernya.” Kaka Kinan tertawa agak keras. “Nanti kamu jatuh ke pesona Davka, lho, Dek.” “Enggak mau ah, Kak. Makasih.” Tiba-tiba aku mendengar Pak Davka berteriak dari luar. “Kin, udah atau belum?” “Iya, ini udah siap!” Kak Kinan balik berteriak, lalu menatapku sambil tersenyum. “Ayo keluar, sebelum si Singa ngamuk.” Ketika keluar kamar, aku menutup wajahku dengan tas. Demi apa pun, tiba-tiba aku merasa malu berdandan seperti ini di depan Pak Davka. “Kamu harus bayar mahal buat jasaku kali ini ya, Dav!” ucap Kak Kinan begitu aku melangkah keluar. Aku langsung nyengir ketika akhirnya Pak Davka menatapku. Dia menatapku dari atas sampai bawah, lalu mengangguk. “Oke, not bad. Ayo keluar.” “Dav, kamu ini keterlaluan! Ara cantik begini, dibilang not bad, not bad!” “Aku enggak ada waktu buat berdebat denganmu, Kin. Thanks, ya.” “Pokoknya awas aja kalau kamu enggak bayar yang sepadan!” teriak Kak Kinan karena saat ini Pak Davka sudah keluar rumah. Detik berikutnya, Kak Kinan menoleh ke arahku lalu tersenyum. “Selamat berkencan, Ara.” “Kak! Ini bukan kencan—“ “Aihhh, enggak usah malu-malu. Udah sana, susul Davka sebelum dia marah-marah.” “Hehe, Iya, Kak.” Aku bergegas keluar menyusul Pak Davka yang saat ini sudah standby di dalam mobil. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lebih, dan kata Pak Davka acaranya mulai jam setengah delapan. “Ra, kenapa bengong di situ? Ayo naik!” “Iya, Pak.” Setelah aku naik mobil, aku baru sadar kalau kemeja yang Pak Davka pakai warnanya senada dengan dress-ku. Wah, ini sih niat sekali! “Hafalkan ini untuk jaga-jaga.” Tiba-tiba saja Pak Davka menyerahkan selembar kertas padaku. “Apa ini, Pak?” “Kamu bisa baca sendiri.” Aku segera membaca tulisan demi tulisan yang tertera di kertas itu. Aku melirik Pak Davka dan aku lihat dia tampak mulai fokus melihat jalanan. “Kita pacaran baru tiga bulan yang lalu, saya yang jatuh cinta lebih dulu sama Pak Davka, alasan jatuh cinta karena sering terlibat bersama.” Aku membaca beberapa poin penting di kertas itu, lalu melirik Pak Davka kesal. “Kenapa harus saya yang jatuh cinta lebih dulu?” “Bukannya memang begitu biasanya? Mahasiswa suka dosennya dulu, bukan sebaliknya. Mahasiswa cenderung bisa fokus mengamati dosen yang menarik perhatian, sementara dosen jarang yang bisa karena dia mengajar banyak mahasiswa.” “Tapi kalau kaya gini kesannya saya ini mahasiswa tukang caper, Pak.” “Ya sudah, kamu boleh ubah. Saya jatuh cinta padamu lebih dulu.” Deg! Dengan begitu lancangnya, tiba-tiba jantungku berdebar hanya karena mendengar Pak Davka mengatakan ‘saya jatuh cinta padamu lebih dulu.’ Ini tidak benar. Apa-apaan aku, ini! “Tapi, Pak, kalau dipikir-pikir lagi, bukannya ini enggak perlu, ya? Siapa pula tamu undangan yang mau tanya hubungan orang sampai sedetail itu? Apa ada yang peduli siapa yang jatuh cinta lebih dulu? Kurang kerjaan sekali.” “Sudah saya bilang, itu hanya untuk jaga-jaga saja.” “Ya sudah.” Aku memasukkan kertas ke dalam tas, lalu duduk bersandar sambil menatap luar jendela. Aku tidak tahu yang aku lakukan ini apakah benar atau salah, tetapi entah kenapa perasaanku mendadak tidak enak. Tidak enak di sini lebih karena aku takut kalau membuat kesalahan. Belum lagi, komentar Pak Davka sebelum keluar tadi membuatku mendadak kurang percaya diri. Apa dia menyesal sudah meminta bantuanku? “Kamu ada masalah, sampai murung terus begitu?” suara Pak Davka memecah keheningan. “Pak Davka enggak menyesal kah, sudah minta bantuan saya?” Pak Davka menoleh sesaat dengan alis yang menekuk samar. “Kenapa tiba-tiba nanya itu?” “Ya secara, saya sudah didandanin begini masih dibilang not bad. Bukannya saya haus dipuji, tapi apa Pak Davka enggak malu, sih, pasangan kondangannya itu saya?” “Not bad kan artinya tidak buruk—“ “Ya tahu, Pak, tapi dua kata itu biasanya diungkapkan ketika merasa kurang sesuai harapan, tapi masih bisa diterima.” Pak Davka menghentikan mobilnya ketika tiba di lampu merah, lalu dia menoleh ke arahku. “Apa sekarang saya harus jujur supaya kamu percaya diri?” “Maksudnya, Pak?” Tiba-tiba saja, aku menangkap sorot mata Pak Davka terlihat lebih lembut dari biasanya. “Kamu itu cantik, Ara.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN