•||•
Daffa menggeliat kekanan. Matanya menyipit ketika melihat sinar matahari menerobos masuk melalui kaca jendela di kamarnya.
Daffa bangun dari tidurnya. Matanya melirik ke arah jarum jam yang menunjukan pukul setengah 7. Daffa menghela napas. Ia baru tidur pukul setengah 5 pagi tadi. Jangan salahkan Daffa, salahkan saja Raka yang sengaja mengajaknya 'berdiskusi' hingga dini hari.
Tring!
Daffa mengambil ponselnya lalu melihat chat masuk melalui jendela notifikasi nya.
Freya Binar : pagiii Daffa!
Freya Binar : have a nice day ya ganteng
Daffa berdecak. Apaansi ni orang. Jarinya dengan sigap langsung menghapus notifikasi itu. Daffa bangkit dari tidurnya lalu berjalan ke arah kamar mandi.
Daffa melihat pantulan bayangannya di cermin kamar mandi. Ia memegang rahangnya lalu membolak-balikannya.
Kenapa mirip ayah ha-ha-ha
Daffa menyisir rambutnya menggunakan jari jemarinya dengan lihai. Ia benci seperti ini. Ia benci ketika dirinya harus memiliki kesamaan dengan sang ayah. Daffa menghela napasnya lagi, lelah bercampur dengan gondok sudah menguasainya pagi ini.
"Aa!" Daffa menarik alis hingga membentuk lengkungan ketika tahu siapa pemilik suara cempreng itu.
Pintu dibuka paksa dari luar membuat Daffa menghadapkan tubuhnya menjadi kearah pintu. Dilihatnya Nara sudah berkacak pinggang dengan rambut yang di cepol keatas. "Kamu lama banget sih A! bunda udah manggil kamu dari tadi juga!" Daffa hanya memberikan cengiran kudanya kepada sang ibu.
"Nyengir lagi kamu! udah buruan pakai baju terus sarapan."
"Iya iya bun, iya."
Nara menutup kembali pintu kamar mandi dikamar Daffa tersebut. Daffa hanya menggedikan bahunya. Ia berlalu ke arah lemari pakaiannya.
Hari ini hari Rabu. Ia mengambil seragam putih dan celana putih. Setelah memakai pakaiannya, Daffa menyisir rambutnya di depan cermin. Sekali lagi. Daffa seperti melihat seseorang di dalam cermin sana.
Ck, apaan sih.
Daffa memilih mengabaikan perihal 'seseorang' didalam cermin tadi. Ia segera mengambil jaket bomber hitam beserta kunci motor dan dompetnya.
"Selamat pagi semuaaaa!" Sapa Daffa. Ia menyalimi Nara juga Raka yang sedari tadi sudah stay di meja makan.
"Kamu kesiangan juga, A?"
Daffa tertawa. "Iya. Ayah sih ajak aku diskusi sampe malem!"
Raka mengambil rotinya, lalu melahapnya. "Ya maaf A. Abis kemaren kopi sama cerita kamu menarik banget."
Nara menatap ke arah anak-anaknya yang sedang anteng dengan sarapan mereka. Daffa, Diffa, dan juga Rayyan. Eh, omong-omong perihal Rayyan, hanya dia pagi ini yang berani memakan ice cream vanillanya.
"Dek, kan Bubun udah bilang jangan makan es krim pagi-pagi. Ya Allah!"
"Maaf Bun, adek Pengen hehehehehe." Katanya sembari memamerkan giginya yang putih itu.
Nara hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mengerti kenapa anak bungsunya itu suka sekali es krim.
Daffa menarik kursi ke belakang sambil meminum s**u putihnya. "Aa duduk atuh kalo minum s**u!" Kata Nara sambil menatap tajam Daffa.
Daffa hanya menyengir kuda lalu mengambil kunci motor di sakunya. "Buru-buru Bun. Maaf ya. Yah, Bun semuanya aku berangkat ya!" Ucap Daffa sambil melambaikan tangannya pada semua orang yang ada dimeja makan.
***
Daffa memarkirkan motornya di parkiran. Tangannya sibuk membenarkan letak rambutnya yang masih acak-acakan. Tangannya meraih ponsel ketika dirasakannya ponsel itu bergetar karna ada notifikasi.
+628217845××××
Daffa? Apa kabar, Nak?
Daffa mengerutkan keningnya. Dari mana orang ini bisa mendapatkan nomor ponselnya?
"Ck," tangannya dengan sigap langsung menghapus sms itu tanpa membacanya. Daffa terlampau malas.
Daffa turun dari motor dan berjalan ke kelasnya. Setelah sampai kelas ia langsung duduk di bangkunya tanpa mau pusing oleh Rika -si ketua- yang dari tadi sudah ngamuk-ngamuk tidak jelas karna anak anak yang tidak mau melaksanakan piket.
Daffa menyumpal earphone ditelinganya. Sungguh, sms yang baru masuk di ponselnya sukses membuat ia kehilangan moodnya pagi ini.
Sial.
***
Farhan memandang ponselnya dengan mata sendu. Daffa tak membalas SMS-nya. Padahal ia sudah susah payah meminta nomor ini dari Freya. Tapi yang di dapat Farhan adalah sms yang teronggok begitu saja tak dibalas.
"Huft. Maaf Daffa." Farhan memegang dadanya yang terasa nyeri. Nyeri sekali. Dulu dia yang mengabaikan Daffa. Lalu kini, dirinya lah yang diabaikan oleh Daffa.
Tuhan memang adil.
Tuhan tidak mengizinkan pengkhianat seperti Farhan bisa hidup dengan tenang tanpa hambatan. Karena nyatanya, hidup Farhan memang tak pernah di sebut layak semenjak ia kehilangan anak-anak juga istri istrinya.
Maafin ayah, nak.
****