DAFFA |03|

828 Kata
•||• Daffa menggeser kursor keatas dan kebawah. Jarinya terlihat lihai menekan tuts keyboard. Malam ini, dia sedang mengerjakan tugas makalah biologi yang diberikan oleh pak Maman siang tadi. Daffa mengklik tombol save lalu menenggelamkan kepalanya pada meja belajar tanpa menutup laptop terlebih dahulu. Laki-laki itu memejamkan mata. Memutar mutar memori lamanya. "Kak?" Panggilan tersebut berhasil menarik Daffa kembali ke alamnya. Matanya menyipit ketika melihat Rayyan---adiknya--- berdiri diambang pintu lengkap dengan piyama spidermannya. "Ada apa?" "Lo dipanggil bunda sama ayah." "Mau ngapain?" "Gak tau, turun aja kebawah," Kata Rayyan. Daffa menghela napas lalu membalikan badan membelakangi Rayyan. "KAK!" "Ck apaan si?" Rayyan memutar bola matanya malas. "Lo disuruh kebawah." Rayyan jadi gemas sendiri. Kakak nya ini budeg atau bagaimana? "Iyaiya! Udah sana turun duluan." Pun Rayyan segera berbalik badan dan pergi meninggalkan kamar si sulung. Daffa menghela napas sambil menatap foto berukuran sedang yang menampilkan potret dirinya dan Diffa sewaktu kecil. Daffa memikirkan seseorang. Bukan gebetan, bukan. Tetapi seseorang yang telah merubah hidupnya dan hidup adik serta bundanya. *** "Ada apa Yah, Bun?" tanya Daffa. Laki-laki itu duduk dikursi ruang kerja milik Raka. Raka tersenyum sembari menyeruput kopi buatan Nara. "Sini A minum kopi dulu sama ayah," tawar Raka. Raka memang sering sekali membawa kopi kedalam obrolan mereka. Bagi Raka, Kopi bisa menjadi penenang. Daffa mendekatkan dirinya pada meja kerja Raka. Lalu mengambil kopi hitam dan menyeruputnya. Nara memperhatikan dua orang di depannya ini. Nara tak enak, dia merasa bahwa anak dan suaminya memang butuh waktu berdua. "Yah, bunda keluar ya?" Pamit Nara kepada Raka. Raka tersenyum lalu mencium punggung tangan Nara. "Hati-hati ya." "Iyaaa," Nara tersenyum. Lalu Nara mendekat ke arah Daffa. Menepuk bahu laki-laki itu. "Bunda keluar ya sayang," kata Nara, sementara Daffa hanya mengangguk. Bukan bermaksud songong, hanya saja pikiran remaja 17 tahun itu memang sedang berkelumit. Raka bangkit dari duduknya, lalu menghampiri anak sulungnya. "Aa," panggil Raka. "Aa ada masalah apa?" Tanyanya. Daffa menghela napas. Sebenarnya laki-laki itu tidak mau memberi tahu keluarganya perihal ini. "Gak papa, Yah." Raka tertawa kecil, "Kok gapapa? Kamu mau jadi cewek ya, A?" "Ya enggak lah." Daffa sedikit sentimen. "Hahaha! Lagian jawab gak papa. Kamu tau gak? Dulu bunda kalo ditanya sama ayah gapernah jawab dengan baik. Selalu dengan 'aku gapapa, aku gapapa' padahal bunda lagi kenapa-kenapa." Jelas Raka. Daffa menggeleng pelan. Ia tak habis pikir. Mengapa ayahnya ini sangat peka sekali? "Ayah samain aku sama bunda?" Raka mengakat bahunya, "Kamu ngerasa?" "Enggak juga." Raka tertawa kecil. "Yaudah Aa mau cerita? Jangan dipendem, A. Ini ayah udah siapin kopi buat dengerin cerita Aa." Daffa membalikan badannya menjadi ke arah pintu kaca yang ada diruang kerja milik Raka. Ia mengembuskan napas pelan. "Anak itu ada, Yah." Raka mengerutkan alisnya, masih tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini. "Maksudnya?" "Freya. Freya kembali, Yah. Dia ada. Dia ngejar-ngejar Daffa disekolah." "Hah?" Beo Raka. "Iya Yah," Daffa menaruh cangkir kopi diatas nakas yang ada disana. "Dia gak tau kamu saudaranya?" Tanya Raka. Daffa menggeleng lalu sedetik kemudian dia tertawa sinis. "Mana mungkin tau? Ayah ngarepnya om itu ngasih tau, ya?" "Enggak A, maksud ayah-" "Iya yah aku tau maksud ayah. Tapi rasa-rasanya gak mungkin om itu ngakuin adanya aku sama Diffa," Daffa mengusap wajah tampannya. "Sedangkan dulu aja om itu gak pernah jenguk kita berdua." Raka menghela napas. Ia membuka kacamata bacanya lalu berjalan semakin mendekat ke arah sulungnya tersebut. Raka paham apa yang dirasakan Daffa dan Diffa. Raka paham mereka sudah dewasa sekarang. Meski nyatanya Daffa sudah paham lebih dulu ketimbang Diffa. "Aa marah sama om itu?" "Banget." "Aa kecewa?" "Iya." "Kenapa A?" "Dia udah nyakitin bunda yah. Aku gak suka. Dia nyakitin Diffa." "A, kita gak bisa mengukur kesalahan seseorang hanya dari yang terlihat aja." "Maksudnya?" Raka tersenyum kecil. "Kamu tau? Ayah malah makasih banget sama om itu." "Kenapa?" "Kalau om itu gak ngelepas kamu, bunda dan Diffa ayah gak akan sama kalian sampe sekarang," jelas Raka sambil tersenyum lebar. "Iya sih. Tapi tetap aja yah. Rasanya, beda. Meski aku tau ayah adalah ayah terbaik punyaku." "Tapi aku gak bisa bohong kalo aku rindu om Farhan. " Dan detik itu juga Raka sadar bahwa Daffa benar-benar kosong selama ini. Karna sebaik-baik ayah penyambung ayah kandung lah yang paling unggul. *** Farhan menatap kasur yang ditempatinya seorang diri. Banyak sekali yang terjadi disini selama 7 tahun ini. Menjadi single Father bukan lah hal yang mudah bagi seorang Muhammad Farhan. Dia menghela napas lalu menyugar rambutnya ke belakang. Tangannya menggapai selembar foto berisi dua orang anak. Satu perempuan, dan satu lainnya adalah laki-laki. Farhan tersenyum. "Pasti kamu sudah sebesar Freya." "Kamu pasti jadi anak yang tanpan," katanya ketika jarinya menunjuk ke arah potret bocah kecil laki-laki. Lalu tangannya menggapai wajah anak perempuan disampingnya. "Kamu." "Kamu apa kabar? Ayah minta maaf ya, ayah belum bisa jadi ayah yang baik buat kalian. Ayah minta maaf pernah hina kamu. Ayah jahat ya?" Tanyanya kepada diri sendiri. "Maaf..." lirih Farhan. Farhan menghapus air mata yang kembali mengalir dari sudut matanya. Ia menyesal. Berat sekali kesendirian ini, Tuhan.. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN