DAFFA |11|

1395 Kata
==== Dipul A dimana? Daffa melempar ponselnya ke rumput dengan kencang. Membuat ponsel berlogo apel ke gigit itu menjadi sedikit gores pada bagian belakangnya karena Daffa tidak memakai case. Drttt Lagi, Daffa mengambil ponselnya. Ia melihat ada pesan lagi. Namun kali ini bukan dari Diffa melainkan dari nomor yang tidak dikenalnya. +628126674×××× Daffa? lo dimana? Diffa nyariin lo terus. —Caca thakiya. Daffa mengerutkan keningnya. Caca? Caca siapa? Pikirnya. Daffa mengetikan balasan kepada orang bernama Caca tadi. Daffa Ya. otw. Daffa memasukan ponselnya ke dalam saku celananya. Lalu menggapai tasnya dan memakainya. Mengambil topi, lalu mencabut kunci motor dari dalam saku seragamnya. Jangan tanyakan mengapa Daffa tidak tahu perihal siapa Caca tersebut. Karna jawabannya adalah, kemarin setelah Diffa selesai membersihkan luka pada cowok itu, cowok itu tetap saja tidak menanyakan perihal wanita cantik di depannya. Dan soal mengapa Daffa membalas pesannya, Daffa juga tidak tahu. Yang ia tahu ia hanya menuruti hatinya saja. *** Suasana sekolah sedang ramai saat ini. Tapi Daffa bebel karena tetap masuk kedalam gerbang dan memarkir motornya seenak jidat. Cowok itu terlihat melepas helmnya lalu menyugar rambutnya kebelakang. Daffa melihat ke arah sekitar lalu memperhatikan jam ditangannya. Pantes rame, istirahat sih. Daffa enjoy saja. Ia langsung melangkahkan kakinya menuju kantin. Setibanya di depan pintu kantin dia melambaikan tangan ke empat cowok yang duduk di belakang. "Wes berani bener lo dateng jam segini!" Kata Bani sambil melakukan high five ala cowok dengan Daffa. Daffa tersenyum kecil. "Nanti juga gue dihukum." "Ah iya! Lagian lo si, gegayaan sok cabut cabutan. Berasa sekolah milik nenek lo ya!" Kini gantian kakha yang menggeplak kepala Daffa dan ber-high five ria dengan cowok itu. Entah kenapa perkataan Kakha sedikit mengusik hati Daffa yang notabennya sedang tidak baik-baik saja saat ini. Omong omong soal sekolah, semua anak disana tidak tahu perihal bahwa bukan hanya Freya yang menjadi keponakan serta cucu dari pemilik sekolah. Tapi, bukan itu yang membuat Daffa sakit. Sikap Farhan yang tak berani mengakuinya juga mengakui Diffa di depan Freya adalah bukti nyata bahwa Farhan tidak pernah menyayangi mereka sedari dulu.  Bunda? Apa bunda merasa sakit dulu? *** Fathir mengetik sesuatu di dalam laptopnya. Didepannya ada ayah dan bundanya yang sedang berkunjung ke sekolah tersebut. "Fathir? Bagaimana?" Tanya bunda Fatma. Bunda Fatma dan ayah Rezaldi memang sengaja datang ke sekolah untuk menemui Daffa setelah mereka tahu apa yang terjadi kepada cucu mereka tersebut. "Ga ada Bun. Kayanya dia nggak masuk hari ini. Datanya nggak ada di sini," kata Fathir sembari mengecek satu satu daftar nama siswa atau siswi yang hadir dan tidak hadir di laptopnya. Fyi, sekolah mereka memang menggunakan akses sidik jari untuk absensi yang langsung bisa masuk ke pc/laptop di masing-masing guru. Fatma duduk dengan gelisah. Rezaldi yang melihat itu langsung menggenggam tangan istrinya dan mengusapnya lembut. Memberi ketenangan dengan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. "Anak itu dari dulu memang tidak pernah berubah. Ayah capek menghadapi kakak kamu, Fathir. Ayah ingin hidup tenang dengan cucu-cucu ayah. Tidakkah Farhan berpikir apa yang diperbuatnya itu bisa menjauhkannya dengan anak anaknya?" "Aku gatau ayah. Kak Farhan emang emosian. Aku minta maaf karena udah bikin ayah ngerasa nggak tenang." Meski Fathir tau ini bukanlah kesalahannya, namun tetap saja ia merasa bersalah karena mereka telah membuat ayahnya tidak merasa nyaman. "Bunda dari dulu udah mencoba sabar dan ikhlas ketika mengetahui bahwa Nara membawa pergi sebagian dari diri Farhan. Tapi kecewa bunda tidak lebih besar dari pada mengatahui bahwa Nara pergi karna Farhan tidak memilihnya," bunda Fatma berujar lirih. Matanya sendu sekali menatap case laptop milik Fathir. "Bunda gapernah minta banyak banyak ke Farhan. Dulu bunda menjodohkan mereka karna bunda tahu, Nara itu baik. Tapi kenapa Farhan seolah buta dan tetap memilih Nur?" Rezaldi mengusap-usap punggung istrinya yang bergetar. Ia jadi merasa bersalah karena membuat istrinya menangis. "Bunda tahu, yang dirasakan Nara pasti lebih pedih dari apa yang bunda bayangkan." *** Daffa masuk kedalam kelas. Membuat seisi kelas menatapnya horror. Pada kenapa sih? "Woi lo seenaknya dateng anjing!" Seorang cowok berbaju rapih yang sedang menghapus sisa spidol di papan tulis melemparkan penghapus tadi mengenai punggung tegap milik Daffa. Daffa bergeming. Menahan emosinya sebaik mungkin. "Anjing lo tuli ya!" Cowok itu mendekat ke arah Daffa. Tapi belum menarik kerah cowok itu. Daffa tetap tidak ingin balik badan. Ia tetap melangkahkan kakinya ke bangku tempatnya duduk. Cowok yang tadi melemparinya dengan penghapus papan tulis naik pitam karena Daffa tidak berbalik dan meladeninya. Cowok itu menarik kerah seragam milik Daffa dan langsung memukul rahang cowok itu. Darah segar mengalir dari ujung bibir Daffa. Tapi yang dilakukan Daffa hanya diam dan tidak membalas perlakuannya. Daffa hanya tersenyum kecil. Yang membuat si cowok di depannya naik pitam. "Gaya apaan si lo anjing! Dateng ke sekolah seenak jidat, lo pikir lo yang punya sekolah ini?!" Cowok itu kembali memukul Daffa. Tapi Daffa tetap diam. Daffa mendorong d**a cowok itu pelan. Memberi gestur untuk cowok itu agar menyingkir dari hadapannya. "Gausah kayak orang kesurupan gini lah, Do. Kayak nggak pernah bolos aja lo." Edo, lelaki yang tadi memukul Daffa semakin kesal karna Daffa menyekak nya dengan pernyataan tadi. Ia kembali melayangkan pukulannya pada pipi Daffa. Menendang ulu hatinya hingga membuat Daffa jatuh ke lantai. Suasana kelas menjadi gaduh. Murid cewek sibuk berteriak sedangkan murid lelaki sibuk menahan Edo yang masih diliputi emosi. Daffa tidak bangun dan tidak melawan. Di dalam kepalanya kalimat - kalimat Raka tetap berputar-putar layaknya sebuah kaset penenang alami. "A jangan pernah memakai emosi ketika kamu marah ya. Jangan terpengaruh sama ajakan syaitan. Tapi kalo orang itu memukul kamu dan kamu udah gabisa nahan lagi. Silahkan pukul balik sesuka kamu." Ketika Edo ingin menerjang kepalanya, Daffa bangun dan memukul balik cowok itu. Di dalam pandangannya, tidak ada sorot emosi sekalipun. Yang ada hanya sorot kosong serta sarat akan kepedihan yang mendalam. Edo ingin kembali menerjang Daffa sebelum akhirnya ia ditarik paksa oleh cowok-cowok disana. Daffa menarik napasnya sendiri. Kesal karena Edo masih saja ingin memukulnya. "Jadi ngelawan gitu lo b*****t! Gausah sosoan jadi orang anjing! lo gapunya ayah kan?! Semua orang juga tahu lo cuma anak tirinya Om Raka! Dasar anak haram!" Ucapan Edo mampu membangkitkan sisi lain Daffa. Daffa yang tadinya ingin pergi ke bangkunya, kembali melangkah maju meladeni Edo. Ia mencengkram kuat kerah baju Edo dan mengangkat cowok itu lalu memojokkannya di papan tulis.  "Lo bilang apa tadi?" Tanya Daffa dingin. Edo tersenyum miring. "Gue bilang lo anak haram!" "Apa? Yang keras!" "GUE BILANG LO SAMA KEMBARAN LO ITU ANAK HARAM! IBU LO DULUNYA p*****r KAN?" Edo tersenyum mengejek. Ketika Nara di bawa-bawa dalam situasi seperti ini. Maka Daffa sudah tidak bisa membendung lagi amarahnya. Ia memukuli Edo habis habisan. Menampar, lalu menonjoki pipi cowok itu dengan tangannya sendiri. Edo terjatuh. Ia menengadah menghadap Daffa. Daffa menendang rahangnya dengan keras. Membuat Edo terpelanting hingga punggungnya mengenai ujung meja guru. "s****n lo anak haram!" Teriak Edo. Daffa semakin emosi. Diambilnya bangku kayu lalu menjatuhkan kursi itu tepat di atas kepala Edo. Edo berhasil luluh lantak. Cowok itu mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Daffa membuang kursi itu ke sampingnya. Lalu menginjak injak kepala Edo dengan kakinya yang masih beralaskan sepatu. Membuat sepatunya menjadi tertutup warna merah darah. "Daffa stop!" Rifki tiba tiba datang ke kelas Daffa setelah mendapat laporan bahwa sahabatnya itu terlibat perkelahian dengan Edo. Rifki menarik Daffa yang masih menginjak injak kepala Edo dengan kasar. "Udah anjing udah nanti dia mati!" Daffa akhirnya berhenti. Ia menghempaskan tangan Rifki dengan kasar lalu mendekati Edo. "Jangan pernah lo bilang macem-macem tentang adek atau bunda gue. Sekali lagi lo berani ngomong tentang mereka, mati lo sama gue." Daffa menarik tasnya lalu melenggang keluar dari kelasnya. Ia menuju ke parkiran. Semua orang yang melihat itu hanya diam memperhatikan. Daffa membawa motornya keluar dari parkiran sekolah. Di jalan, ia kembali mengingat perkataan Edo. Anak haram Bukan. Daffa dan Diffa bukan anak haram. Mereka sah hasil pernikahan Farhan dan Nara. Ibu lo p*****r ya? Demi Tuhan, Daffa bisa bersumpah bahwa ibunya bukanlah seorang p*****r. Tubuh Daffa gemetar. Gelenyar panas itu kembali menetes melalui matanya. Mengalir deras di pipi. Dibalik helmnya, Daffa menyembunyikan air mata yang sedari tadi ditahannya. Di jalan yang lenggang ini, Daffa kembali menangis dalam diam. Hanya ada dia, dan Tuhan sekarang. Kuatkan hamba, ya Allah. Sakit sekali hati hamba. Batinnya Well, hari ini si cowok kalem dan juga pendiam dengan rubik yang selalu dibawanya itu menunjukan sisi kelam dan juga kesedihannya. Sungguh. Hanya Tuhannya lah yang mampu dan mengetahui segala yang dirasakannya hari ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN