DAFFA |10|

1075 Kata
=== Daffa berdiri di depan balkon di kamarnya. Tangannya masuk ke dalam saku celana sambil yang satunya lagi memegang sudut bibirnya yang masih terasa sakit. Matanya menerawang ke depan. Sekilas bayangan tadi siang memenuhi otak dan pikirannya. "Hufttt," Daffa memejamkan mata guna menetralkan kembali hatinya yang berdenyut sakit. Ingatannya melayang saat tadi siang mendapati Nara dan Raka yang baru saja pulang dari Bandung menatap luka-lukanya dengan khawatir. Flashback "Awwsh pelan-pelan, dip." kata Daffa. Setelah Daffa menarik tangan Diffa dan diikuti oleh Caca, kini ketiganya sedang duduk bertiga sambil berhadapan. "Iyaa, maaf A gara-gara Diffa Aa jadi gini." Kata Diffa pelan. Daffa menyingkirkan tangan Diffa lalu menatap dalam-dalam mata adiknya. "Gausah minta maaf dip. Lo adek gue, udah jadi tanggung jawab gue buat jagain lo dari siapapun." Daffa hanya mengerjapkan matanya. Sekilas bayangan Farhan menarik rambut Daffa tadi membuatnya sakit hati. Hei bagaimana tidak? Diffa adalah kembaran Daffa, apa yang menyakiti nya menyakiti Diffa juga. Pintu dibuka pelan oleh seorang anggota PMR yang kebetulan bertugas hari itu. Tatapan lembutnya mengarah kepada mereka bertiga. "Daffa kamu dipanggil kepala sekolah." Kata orang itu. Daffa membuang napas. Jaddah, pikirnya. Pun kesal Daffa tetap bangkit dari duduknya dan melenggang pergi ke arah ruang kepala sekolah. Di koridor terlihat sepi. Dari matanya ia bisa melihat bahwa ada mobil ayah dan ibunya. Jadi orang itu benar memanggil mereka ya? Daffa mendorong pintu kepala sekolah lalu mendapati Nara yang langsung memeluk tubuh jangkungnya. "Aa kenapa?!" Tanya Nara setengah berteriak. Memegang pipi Daffa lalu bibirnya yang masih menyisakan sedikit darah. Daffa tersenyum lalu memegang punggung tangan Nara. "Gapapa Bun, Daffa tadi abis kena angin." Raka bangkit dari duduknya lalu menghampiri Daffa dan Nara. "Hei jagoan kenapa?" Daffa tersenyum, masih belum sadar bahwa di ruang kepala sekolah bukan hanya ada Fathir, om-nya saja. Melainkan ada orang lain disana juga. "Gapapa, Yah. Biasa, diserang angin," jawabnya asal. Fathir berdiri dari kursi nya lalu menghampiri orang itu. "Daffa Om minta maaf sama kamu." Daffa menaikan alisnya, "Gapapa Om. Udah lupain aja masalahnya." "Om juga minta  maaf atas nama ayah kamu." Kali ini alis Daffa naik satu tingkat lebih ke atas. "Ayah? Siapa? Ayah Raka nggak pernah pukul Daffa Om, jadi Om tenang aja." "Daffa," panggil orang itu. Dari gesturnya Farhan terlihat ingin menghampiri Daffa namun cowok itu lebih dulu menahannya. "Gausah deket-deket, Om. Kita bukan siapa-siapa." Entah Daffa yang terlalu dingin atau perasaan Farhan saja. Yang jelas saat ini Farhan sangat gugup dan takut. "Daffa aku ini ayahmu." "Bukan Om. Aku anak bunda Nara, dan ayah Raka. Aku nggak peduli Om mau bilang apapun. Yang jelas aku tetap bukan siapa-siapa bagi om." ucap Daffa. Daffa ingin keluar tapi Raka menahan tangannya. "Jagoan? Jangan lari dari masalah, okaay?" "Aku bukan bermaksud untuk lari dari masalah, Yah. Tapi orang ini, yang mengaku sebagai ayahku ini, nggak tahu rasanya menjadi aku dan Diffa itu seperti apa," ucap Daffa. Lelaki itu kini menatap sebentar kearah Raka lalu menatap Farhan. "Orang yang ada di depan aku sekarang, yang mengaku bahwa aku adalah anaknya dialah orang yang beberapa tahun kebelakang menyakiti kami, Yah. Aku nggak bisa. Maaf." setelah selesai mengatakan hal itu Daffa keluar dan langsung kembali ke kelasnya. Farhan menunduk untuk menutupi kebodohannya. Sungguh, moodnya hancur hari ini. Flashback end "Maaf, Om. " Ucapnya dalam hati sembari terus memandangi langit malam yang gelap karena tidak ada bintang malam ini. *** Freya memandangi ayahnya yang sedang berada di kamar rahasianya. Sehabis memukuli Daffa tadi, ayahnya terlihat sangat kacau dan masuk ke sana. "Kenapa ya?" Ucapnya pada diri sendiri. Dari dulu ia ingin sekali menanyakan perihal itu. Keinginannya untuk mengetahui siapa dan apa yang ada dibalik pintu kamar berwarna cokelat tua itu, membuat Freya nekat walau tak berani untuk sekarang sekarang. Jujur saja, Freya takut hal yang akan diketahuinya nanti akan menghancurkan hatinya. "Mama.. aku butuh Mama...." lirihnya. Siapa sangka bahwa selama ini Freya juga menyimpan luka itu sendirian? *** Raka memeluk Nara dari belakang. Istrinya itu terlihat gusar malam ini. Terlihat dari pancaran mata serta sikapnya malam ini pada Raka. "Kamu kenapa sayang?" Tanya Raka sambil mencium bahu Nara. Wangi, seperti mawar. Wangi kesukaan Raka. "Aku takut ka," lirih nara. Ia membalikan badannya untuk melihat wajah damai Raka. Nara mengusap pipi Raka dengan lembut. Raka tersenyum lembut lalu menyelipkan jari-arinya ke jari-jari milik nara. Mengecupnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Kamu gausah khawatir kalau itu tentang Daffa. Aku akan bicara sama dia, sayang." "Bukan itu maksudku." "Hhm? Terus apaa?" "Aku takut kamu—" Raka buru buru membungkam bibir Nara dengan bibirnya. Mengecupnya dengan lembut lalu mengisapnya. "Jangan bilang kayak gitu Nara. Aku nggak papa." kata Raka. Ia mengusap bibir Nara yang memerah dengan jempolnya. "Aku terlalu takut Raka. Aku takut," mata Nara berkaca kaca. Membuat Raka merasa bersalah karena sudah membuat wanitanya menangis. "Sutss jangan nangis, aku bakalan baik-baik aja. Kita usaha bareng-bareng yaaa." Dan dengan itu mereka berpelukan. Dengan Nara yang masih tetap menangis di dalam pelukan Raka. *** Daffa bersandar di kepala ranjang dengan tubuh yang sakit. Ia segera beranjak dari ranjang dan mandi. Walaupun tubuh juga wajah tampannya masih menampakan 'tidak baik-baik saja' ia tetap melangkahkan kakinya untuk menuju kamar mandi dan mandi. Daffa keluar dari kamar mandi dengan seragam putih dengan celana hitam. Daffa memakai dasinya. Setelahnya ia menggaet tasnya dan turun kebawah. "A?" Panggil nara ketika dilihatnya Daffa turun dari kamarnya. Daffa melihat Nara dan menghampirinya. Memberi ciuman di pipi dan kening. "Daffa berangkat ya Bun. Titip salam buat ayah, Rayyan sama Diffa ya." Katanya. Daffa langsung melenggang pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Nara. Nara tak mengomentari apapun. Ia yakin Daffa bersikap seperti ini karna ada yang sedang menggangu sulungnya tersebut. Semoga aja gapapa.. *** Daffa menghentikan motornya di depan sebuah danau tua yang sepertinya sudah lama tidak lagi dipakai. Terlihat dari banyaknya tumbuhan yang tumbuh disekitaran air danau tersebut. Daffa melemparkan tasnya kearah rumput. Menendang nendang batu dengan sepatu Adidas nmd R1 miliknya. "b*****t!" Daffa menendang pohon tua yang letaknya dekat dengan danau tadi. Membuat pohon itu sedikit goyang akibat tendangannya. "Anjing! b*****t! Enyah aja s****n! Enyah!" Daffa meremas rambutnya yang tadi tertutup oleh topi dengan kencang. Hari ini ia tidak akan pergi ke sekolah. Ia hanya ingin disini dan meluapkan semua emosinya yang terpendam. Bukan, Daffa bukan belum memaafkan kejadian kemarin. Hanya saja kejadian kemarin membuatnya seolah sedang membuka luka lama yang bahkan tidak ingin ia ingat sama sekali. Daffa kembali meremas rambutnya. Lututnya jauh ke tanah, lalu kepalanya menunduk. Setetes air mata meluncur dengan hebat di pipinya. Lelaki boleh menangis kan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN